Terkait kesimpulan suvei ini, Letjen TNI (Purn) TB Silalahi, dosen senior Lemhannas yang saat ini menjadi Utusan Khusus PresiÂden RI, teringat akan sebuah diÂalog dengan Presiden Soeharto, saat dirinya menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara di kabinet Pembangunan VI.
Dia menuturkan, suatu hari menÂdekati akhir masa bhakti Kabinet Pembangunan VI tahun 1997, Soeharto memanggilnya. “Pada saat itu suasana hati Pak Harto sangat ceria sehingga perÂtemuan itu sangat santai. MungÂkin karena akan ada pergantian Kabinet, beliau memberi penceÂraÂhan kepada saya soal kepemimÂpinan,†kata TB Silalahi.
Berikut kutipan selengkapnya:Apa yang disampaikan SoeÂharto?
Beliau menekankan bahwa motiÂvasi dari sumber daya manuÂsia yang dipimpin akan menentuÂkan berhasil tidaknya kepemimÂpinan. Kalau motivasi itu sudah ada dalam dirinya (built in) maka pemimpin akan mudah memÂbawa mereka untuk mencapai tujuan. Sebaliknya jika motivasi itu rendah, maka tugas pemimÂpinlah untuk meningkatkannya. Itulah sebabnya mengapa meÂmimÂpin bangsa kita pada periode revolusi kemerdekaan jauh lebih mudah karena pada masa itu semua rakyat Indonesia bertekad untuk merdeka, bersedia menÂderita sampai mati sekalipun. Tujuan perjuangan pun hanya satu yakni mengusir penjajah.
Lalu?Pak Harto mengatakan, masa pasca revolusi sejak tahun 1950 jauh lebih sulit memimpin bangsa ini. Semua rakyat menuntut hakÂnya, ingin segera menikmati hasil kemerdekaan, sedangkan pemÂbangunan itu sangat komÂpleks. Hal itulah yang menyebabÂkan Bung Karno gagal sebagai PreÂsiden pada masa mengisi kemerÂdekaan dan jatuh sesudah G30 S PKI tahun 1965. Gagalnya Bung Karno untuk mengisi keÂmerdeÂkaan membuktikan teori bahwa pemimpin adalah milik suatu masa tertentu. Bung Karno itu seorang revolusioner dan libeÂrator, sehingga berhasil membeÂsarkan negeri ini dengan cara revolusi. Jiwa revolusioner dan libarator itu terus dilaksanaÂkanÂnya bukan saja terhadap IndoÂnesia, malah untuk seluruh dunia. Mengisi kemerÂdekaan jadi terluÂpakan. SeharusÂnya mengisi kemerÂdekaan diterusÂkan kepada orang lain, umpanya Bung Hatta atau tokoh-tokoh lain. Bung Karno adalah pemimpin milik masa revolusi.
Apa Soeharto juga bicara soal Orde Baru?Pak Harto mengatakan, masa Orde Baru jauh lebih sulit lagi karena rakyat menuntut saya (Pak Harto) lebih baik atau lebih berÂhasil dari Bung Karno. Di lain pihak, rakyat juga meminta kita segera memberlakukan sistem demokrasi. Menurut saya dalam situasi negara pasca G30 S diÂmana ancaman komunis masih di depan mata, tidak mungkin seÂkaliÂgus diberlakukan demokrasi dan pembangunan nasional seÂcara bersamaan. Sebagai penutup beliau mengatakan, “Suatu ketika apabila demokrasi itu diberlakuÂkan, maka siapapun pemimpin Indonesia ke depan akan jauh lebih sulit daripada masa saya dan Bung Karno memimpin, dan mungkin beberapa pemimpin akan gagal di tengah jalan.â€
Apa kesimpulan Anda dari dialog dengan Soeharto terÂsebut?Dari pembicaraan itu, saya menyimpulkan bahwa Pak Harto sudah meramalkan bahwa pada masa reformasi akan sangat sulit memimpin bangsa ini. Hal ini sudah terbukti dalam kurun waktu masa Pak Habibie, Gus Dur, Ibu Mega, dan masa sekaÂrang Pak SBY. Mayoritas masyaÂrakat kita itu awam karena tingkat penÂdidikan yang terbatas. Itulah maÂsalah utama kita sekarang meniru demokrasi
ala Barat. Demokrasi perlu keseimbangan antara hak (
right) dan kewajiban (
obligaÂtion). Untuk itu dibutuhÂkan standar pendidikan tertentu bagi keseluruhan bangsa kita yang belum kita capai hingga saat ini.
Jadi?Tidaklah heran kalau ada pendapat dari masyarakat awam yang menyatakan, jika Pak Harto (sekiranya masih hidup) yang memimpin, bangsa ini sekarang akan lebih baik. Malah ada peÂtinggi suatu partai tertentu meÂnyaÂtakan, jika Bung Karno yang memimpin bangsa ini maka peristiwa Ambalat di perbatasan dengan Malaysia tidak akan terjadi, TNI dan 220 juta rakyat Indonesia akan langsung meÂnyerbu Malaysia.
Apa yang diramalkan SoeÂharto sudah jadi kenyataan?Tren yang dikatakan Pak Harto itu sudah terjadi dan benar. Bung Karno pada masa Orde Lama, Pak Harto pada masa Orde Baru dan sejak tahun 1998 masa ReforÂmasi. Tren dan kemajuan masa reformasi itupun sudah benar terÂjadi berkesinambungan dan meÂningkat. Dimulai pada awal yang sangat sulit Pak Habibie hanya bertahan 1 tahun 5 bulan, dilanÂjutÂkan Gus Dur masih sulit, berÂtahan 1 tahun 9 bulan, dan dilanÂjutkan Ibu Mega yang bertahan 3 tahun 3 bulan. Sejak tahun 2004-2010 pada periode pertama 5 tahun disempurnakan Pak SBY, akan tetapi masih belum sepenuhÂnya berhasil. Rakyat pun memÂpercayai beliau untuk menyemÂpurnakannya.
Tepatkah membandingkan Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi?Membandingkan kepemimÂpinan masa reformasi dengan masa Orde Lama atau Orde Baru tidaklah tepat karena parameterÂnya berbeda. Mari kita simulasiÂkan sejenak kalau kondisi masa Pak Harto diterapkan kepada Pak SBY. SBY jadi otoriter, diÂbentuk Kopkamtib dan diberlaÂkukan UU Subversi, demokrasi diharamkan. Setiap hari akan ada penangkapan tanpa proses hukum terhadap laskar-laskar, preman, NII, dan lain-lain yang vokal termasuk para demonsÂtran. Korupsi di atas 10 M dihuÂkum mati serta semua media cetak dan elektronik diÂkonÂtrol. Semua partai dilebur sehingga hanya ada 3 partai yakni satu partai Pemerintah, satu partai Nasionalis, dan satu lagi partai berbasis agama. Partai PemeÂrinÂtah harus mayoritas mutlak, dua partai lainnya hanya pelengkap “penderitaâ€. Anggota DPR dikuÂrangi drastis, karena cuma tuÂkang stempel sehingga tidak perlu pusing membangun geÂdung baru. Polri gabung dengan TNI dan TNI membawahi Polri. PemerinÂtah kembali sentralistik, pemeÂkaran wilayah dihentikan dan yang sudah terlanjur dimeÂkarkan disatukan kembali, dan seterusÂnya, dan seterusnya.
Sesudah beberapa lama dengan Pemerintahan seperti itu kemungÂkinan besar perekonomian kita akan lebih cepat maju. Lalu siapa yang akan jadi favorit? Pak Harto atau Pak SBY? Yang akan jadi favorit tetap Pak Harto karena responden adalah mereka yang relatif muda sekarang dan mereka masih anak-anak pada masa Pak Harto yang tidak merasakan pahitnya situasi politik pada masa itu. Di lain pihak, kalau itu terjadi dimana Pemerintah sekarang sangat represif, generasi mudaÂnya dan seluruh rakyat Indonesia akan menderita secara politik. Jadi SBY tetap disalahkan.
Pada masa sekarang dengan kemajuan teknoligi IT yang cepat sekali, kesadaran politik generasi muda mengikuti kemajuan IT. Walaupun rakyat kita relatif makÂmur seperti halnya di negara-negara Arab yang bergolak sekaÂrang, generasi muda justru akan mengobarkan revolusi untuk menuju demokrasi yang sekarang sudah mendunia. Dengan demiÂkian kita mulai lagi dari nol.
Jadi, tak bisa Soeharto dan SBY dibandingkan?Tidaklah relevan membandingÂkan Pak SBY dengan Pak Harto. Saya yakin Pak Harto sendiri pun tidak menginginkan hal seperti itu. Sebaliknya tidak etis juga Pak SBY dibandingkan dengan manÂtan Presiden sebelumnya walauÂpun pada masa yang sama (reÂformasi), karena proses demoÂkrasi itu berkesinambungan dan bertingkat. Walaupun Pak SBY mendapatkan rating tertinggi, kubu SBY pun tidak perlu meÂnonjol-nonjolkan hal itu.
Apakah hasil poling Indo BaroÂmeter itu harus dicampakÂkan bergitu saja? Kita harus mengakui hak meÂnyaÂtakan pendapat dari masyaÂrakat kita. Mereka (responden) tidak bisa disalahkan. Poling dan questioner itu adalah ciptaan sutraÂdara. Sebagai pemimpin yang bijak, seyogianya mengamÂbil manfaat dari hasil poling terÂsebut, yaitu untuk lebih memÂbulatÂkan tekad membangun bangsa ini sehingga tingkat keÂpuasan masyaÂrakat kembali tinggi. Kita sudah memilih demokrasi. DemoÂkrasi itu tidak akan memakmurkan suatu negara dalam waktu singkat, akan tetapi membutuhkan perjuaÂngan dan kesabaran rakyat untuk membangun bangsa dan negaraÂnya. Marilah kita memberi kesemÂpatan kepada Presiden SBY untuk bekerja dengan tenang, mengÂakhiri masa pengabdiannya sesuai dengan amanat rakyat demi keÂpenÂtingan kita semua.
[RM]
BERITA TERKAIT: