WAWANCARA

Najib Azca: Kelompok Islam Radikal Tidak Tunggal

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 17 Mei 2011, 08:05 WIB
Najib Azca: Kelompok Islam Radikal Tidak Tunggal
najib azca/ist
RMOL. Dalam forum terhormat, di aula Agnietenkapel Universitas Amsterdam (UvA), digelar sidang untuk mempertahankan disertasi tentang sekumpulan orang yang pernah terlibat dalam mobilisasi gerakan untuk berjihad di Ambon dan Poso ketika terjadi konflik komunal agama.

Dalam sidang yang digelar pada hari Jumat (13/5)  pukul 10.00 waktu setempat,  Muhammad Najib Azca mempertahankan disertasi dengan judul After Jihad: A Biographical Approach to Passionate Politics In Indonesia. Najib Azca berhasil  meraih predikat sangat memuaskan, dan memperoleh gelar PhD.

Pada hari Jumat itu juga, sekitar pukul 21.00 waktu setempat, Rakyat Merdeka Online berkesempatan mewawancari  Najib Azca. Berikut ini petikannya.

Tema disertasi Anda “Setelah Jihad” atau lengkapnya “AFTER  JIHAD - A Biographical approach to Passionate Politics in Indonesia.” Kenapa “Setelah Jihad”?

Jadi memang disertasi saya itu berjudul “After Jihad”, “Setelah Jihad”.  Saya meneliti sekumpulan orang yang pernah terlibat dalam mobilisasi gerakan untuk berjihad di Ambon dan Poso ketika terjadi konflik komunal agama di daerah itu.  Di Ambon  (Maluku) maupun di Poso (Sulawesi Tengah), pernah terjadi konflik yang berdimensi agama antara muslim dan Kristen. Lalu ada ribuan orang dari bebagai tempat, khususnya dari Jawa yang termobilisasi untuk ikut berparsitipasi  dalam konflik di sana. Mereka menganggap itu sebagai bagian dari jihad, karena yang berkonflik antara  muslim dan Kristen yang dianggap sebagai perang suci.

Tapi kemudian fokus saya bukan pada mobilisasi jihadnya itu saja, terutama yang saya ingin teliti adalah justru setelah ketika kemudian konflik sudah reda. Konflik itu kan terjadi kira-kira antara tahun 1999 sampai 2001 di Ambon dan Poso. Di Poso terjadi tahun 1998 awalnya kecil, lalu meletusnya tahun 2000. Lalu kalau di Ambon konflik terjadi pada tahun 1999 sampai 2001-2002.

Memang yang ingin saya teliti, yang jadi menarik bagi saya adalah ketika konflik sudah reda, sudah menurun, nah ribuan orang ini kan kemudian pulang kampung. Sebagian besar pulang kampung, meninggalkan lokasi lah. Meninggalkan lokasi konflik. Mereka sebagian besar kembali ke kampungnya. Atau sebagian pindah ke tempat lain. Ada sebagian kecil yang menetap di situ di Ambon dan Poso.

Tapi kemudian yang menjadi menarik bagi saya lalu setelah konflik selesai, lalu mereka ngapain nih kelompok orang-orang ini. Karena selama ini memang sebagian besar penelitian itu adalah penelitian mengenai gerakan mobilisasi jihad, yang sudah banyak penelitian mengenai itu. Penelitian mobilisasi jihad dari kelompok macam-macam yang termobilisasi. Tapi kemudian penelitian mengenai “setelah jihad” itu masih belum banyak dilakukan. Jadi orang masih belum banyak mengetahui, mereka yang dulu itu ikut berjihad itu sekarang di mana, ya? Mereka sekarang ini ngapain, ya? Apakah mereka sekarang masih beraktivitas melakukan, misalnya, kekerasan, peperangan atau mereka melakukan aktivitas seperti apa. Masih belum banyak pengetahuan mengenai itu. Saya ingin mencoba untuk mengisi kekosongan itu, kekosongan penelitian, kekosongan riset,  kekosongan studi mengenai periode pasca jihad itu. Lalu saya lakukan lah penelitian ini.

Untuk penelitian ini, tampaknya anda banyak terjun ke lapangan?

Ya, memang demikian. Lalu saya mencoba menemui orang-orang yang pernah terlibat di Ambon dan Poso, yang sekarang mempunyai aktivitas macam-macam. Mereka berada di berbagai tempat, maka saya pun juga berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sebagian dari mereka berada di Jogja, karena memang  Jogja merupakan salah satu titik mobilisasi yang penting. Dulu yang namanya laskar jihad itu markasnya di Jogja. Laskar jihad itu termasuk yang memobilisasi  terbesar, jadi ada kira-kira mungkin antara  5.000 sampai mendekati 10.000 orang ikut serta dalam konflik itu. Meskipun berangkat balik, dikirim lagi. Jadi jumlah sepuluh ribuan orang itu berganti-ganti, jadi bukan orang-orang yang sama.

Jadi, Jogja termasuk yang penting, banyak orang dari sini yang ikut berjihad. Tapi tentu saja ada yang dari Solo, Jakarta, Semarang, dan dari berbagai kota di Jawa. Karena itu, saya menemui mereka yang bisa saya temui dengan berbagai cara, termasuk di Pekalongan kota kelahiran saya sendiri, di Ambon, di Poso. Jadi saya memang penelitian saya adalah penelitian yang mengharuskan saya bergerak dari satu tepat ke tempat lain, di lapangan. Jadi mengikuti arus “aktor”. Jadi mereka itu ke mana, dan saya bergerak mengikuti arus mereka ke mana.

Kira-kira itu mungkin sederhannya yang bisa saya katakan mengenai penelitian ini. Tetapi selain itu hal yang penting juga yang ingin saya tambahkan dari riset ini adalah, bahwa sejauh ini, yang saya ketahui, masih jarang penelitian mengenai kelompok-kelompok yang bergerak ke jihad di Ambon atau Poso ini, yang  melakukan penelitian berbagai kelompok. Biasanya hanya meneliti satu kelompok saja. Misalnya, ada sebuah riset yang sangat bagus yang dilakukan Noorhaidi Hassan pernah melakukan penelitian di Leiden, dari Utrecht dia memperoleh gelar PhD nya, yang menulis mengenai Laskar Jihad. Riset Noorhaidi Hassan ini mendalam dan bagus sekali. Akan tetapi, dia tidak membandingkan bahwa meskipun Laskar Jihad merupakan gerakan penting dan terbesar, tetapi juga ada gerakan-gerakan lainnya yang tidak kalah pentingnya. Sebagian gerakan lain yang tidak kalah pentingnya, misalnya Laskar Mujahidin. Laskar Jihad dengan Laskar Mujahidin ini punya perbedaan. Mereka berbeda, jaringannya beda, ideologinya beda. Kadang-kadang di lapangan mereka gesekan juga.

Maksud ideologinya beda itu bagaimana, ideologinya apa, apa perbedaannya?

Ideologinya begini. Jadi Laskar Jihad itu pada dasarnya adalah kelompok Salafi. Kelompok Salafi ini kharasteristiknya adalah mereka ini cara hidupnya cenderung bersifat sangat eksklusif. Dalam soal eksklusivisme mereka hampir sama. Mereka cenderung menutup diri dari katakanlah komunitas luar. Mereka mencoba membangun benteng, katakanlah moralitas, dibanding dunia luar yang mereka anggap penuh dosa. Mereka (kelompok Salafi) menganggap, bahwa mereka hidup dalam dunia yang suci. Tetapi kelompok Salafi ini biasanya tidak menyetujui aksi-aksi terorisme. Mereka memang pada waktu itu melakukan aksi kekerasan jihad di Ambon dan Poso dalam pengertian mereka membela saudara mereka yang sedang diserang. Paling tidak hal itu  dalam pengertian mereka. Dalam pemahaman mereka, umat Muslim di Ambon dan Poso itu sedang dianiaya, sedang dibantai oleh Kristen. Oleh karena itu mereka bergerak untuk membela.

Sementara kelompok Mujahidin, terutama ini kelompok Mujahidin ini  juga variasiya macam-macam. Salah satunya kelompok Mujahidin ini, yaitu kelompok Jamaah Islamiah. Kelompok-kelompok NII, DI, TII termasuk dalam kelompok Mujahidin ini. Jadi ini bedanya  dengan kelompok yang Salafi Laskar Jihad ini, kelompok Mujahidin ini  lebih toleran dengan penggunaan kekerasan. Mereka lebih toleran terhadap penggunaan aksi-aksi terorisme dalam mencapai tujuan mereka. Jadi  ya sebagian dari mereka setelah jihad di Ambon dan di Poso juga meneruskan aktivitas gerakan perang atau terorisme. Misalnya aksi bom Bali, atau aksi bom-bom yang lainnya.

Nah itu yang terjadi dengan mereka, dua kelompok ini (kelompok Salafi/Laskar Jihad) dan kelompok Mujahidin ini saling bersaing, salin berivalitas, karena memang masing-masing mempunya gagasan yang berbeda. Yang satu (kelompok Mujahidin) memperbolehkan melakukan kekerasan terorisme dan yang satu (kelompok Salafi) menentang. Kira-kira begitulah perbedaan dua kelompok dimaksud secara sederhananya.

Tujuan mereka, kedua kelompok itu, sebenarnya apa?

Membela. Membela muslim yang dianiaya. Kira-kira persamaannya itu. Yang menyamakan mereka, adalah mereka mendapat informasi: Muslim diserang oleh Kristen di Ambon dan di Poso. Kita harus membela Muslim yang diserang dan dianiaya. Itu menurut mereka adalah kewajiban agama. Maka mereka berangkatlah ke sana. Nah itu persamaannya.

Tadi Anda katakan, bahwa kelompok Mujahidin, setelah melakukan jihad di Ambon dan di Poso juga meneruskan aktivitas gerakan perang atau terorisme. Misalnya aksi bom Bali, atau aksi bom-bom yang lainnya. Bisa anda jelaskan lebih jauh tentang hal tersebut?

Saya membedakan dalam penelitian saya  itu, bahwa ada tiga jaringan gerakan Islam yang memobilisasi jihad di Ambon dan Poso. Ada tiga macam. Pertama, adalah gerakan yang dinamakan gerakan Jihadi, yang basisnya adalah ideologi Jihad, Jihadisme. Ideologi Jihadi ini yang menghalalkan penggunaan kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan. Kelompok Jihadi ini contoh gampangnya adalah Jamaah Islamiyah. Atau juga beberapa pecahan dari DI, TII, NII. Kelompok ini yang kemudian melakukan selain jihad di Ambon dan Poso, juga aksi-aksi teror di tempat lain termasuk bom Bali. Yang melakukan teror tersebut itu kelompok Jihadi namanya.

Kelompok kedua, saya namakan sebagai kelompok Saleh atau dalam bahasa Inggrisnya saya namakan sebagai kelompok Pious (sabar-tawakkal), yaitu kelompok yang saleh, orang yang intinya mengutamakan menjaga kemurnian akidah, menjaga kemurnian identitas muslim, keyakinan muslim. Mereka sangat konservatif, juga sangat eksklusif dalam hidup komunikasi mereka, tetapi mereka memang tidak membenarkan penggunaan terorisme untuk mencapai tujuan. Karena itu kelompok Pious ini termasuk kelompok yang paling keras menentang kelompok Jihadi. Mereka menganggap suatu penyelewengan agama dalam penggunaan teror, kekerasan lainnya.

Kedua kelompok tersebut berbeda, tetapi ada kesamaannya. Kesamaannya adalah mereka menolak terlibat dalam politik. Kelompok Jihadi maupun kelompok Pious (kelompok Saleh) ini mereka menganggap bahwa demokrasi itu haram, demokrasi itu bertentangan dengan Islam. Karena menurut mereka, tidak ada dalam Islam itu ajaran, misalnya, pemilu, ajaran bahwa one man one vote. Itu, menurut mereka, menyimpang dari Islam. Menurut mereka, tidak bisa disamakan suara, katakanlah, seorang  perampok dengan seorang  ulama. Seorang yang berilmu dan seorang yang kriminal itu tidak boleh ada satu suaranya sama. Jelas orang yang punya pengetahuan mempunyai pengetahuan tinggi seharusnya diberi otoritas lebih banyak. Kira-kira begitulah. Poinnya adalah mereka menentang demokrasi, mereka tidak mau terlibat dalam proses politik seperti pilkada dan pilpres. Mereka semua mereka tidak mau.

Kemudian  kelompok ketiga, yakni kelompok/aktivis Islam politik (political activism/Islamism). Mereka biasanya berlatar belakang dari partai politik, maupun dari kelompok-kelompok yang terlibat  dalam isu-isu politik meskipun bukan partai politik. Contohnya FPI (Front Pemuda Islam). FPI itu kan bukan partai politik. Tapi kan dia aktif bergerak  dengan isu-isu politik dengan intens, baik itu misalnya soal perda, pelarangan judi, soal prostitusi. Dalam hal ini mereka kadang-kadang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Tapi itu bagian dalam berpolitik sebenarnya. Ini berbeda dengan kelompok Jihadi dan kelompok Pious/Saleh ini. Kalau menurut mereka, kalaupun ada kemunkaran ya sudah. Sedang  kalau menurut kelompok Pious, kalau ada kemungkaran kita harus memberi peringatan kepada pemimpin.  Nggak  boleh kita demo, nggak boleh kita sweeping. Yang bisa kita lakukan adalah menjumpai pemimpin ulul amri-nya yang sewaktu itu  mendapat mandat, diberilah peringatan, beri nasehat. Kalau ternyata dia tidak mengikuti nasehat, ya sudah, kita tidak punya kewajiban lagi.  Sebab kewajiban nasehat sudah ditunaikan.

Tapi kelompok Saleh/Pious tidak membenarkan penggunaan demonstrasi, pemilu, atau protes,  atau sweeping, menurut mereka itu tidak boleh, itu menurut mereka tidak sesuai dengan Islam. Kelompok Jihadi juga begitu, mereka  juga tidak mengikut politik kayak begitu. Kadang-kadang menggunakan kekerasan, teror,  menaruh bom di pub, misalnya, atau macam-macam.

Kalau kelompok politik, mereka terlibat dalam isu politik, baik melalui partai politik, parlemen, mereka-mereka  aktivis partai-partai politik, PBB, PPP, PKS , macam-macam. Ada juga yang kelompok politik tapi non partai politik, contohnya FPI, atau kelompok-kelompok laskar lainnya di berbagai tempat kan ada macam-macam  variasinya.

Apa arti penting dan kegunaan atau sumbangan praktis dalam  kehidupan riil hasil penelitian Anda ini?

Saya kira arti penting dari penelitian ini adalah untuk memahami bahwa sebenarnya kelompok-kelompok Islam itu bervariasi. Kelompok-kelompok Islam  yang ikut dalam gerakan jihad di Ambon  dan di Poso juga bervariasi, tidak satu. Cukup banyak  orang kan berfikir, bahwa wah, kelompok-kelompok yang terlibat jihad tersebut kayaknya teroris-teroris tuh. Dan jangan-jangan mereka sampai saat ini masih melakukan aksi-aksi teror di mana-mana. Ternyata tidak semua orang yang terlibat dalam mobilisasi jihad itu merupakan kelompok teroris. Atau di sini, saya gunakan istilah Jihadi, yang memang menghalalkan penggunaan teror.

Ternyata ada juga kelompok Saleh/Pious, yang terlibat dalam jihad di Poso dan Ambon itu betul-betul karena termotivasi, bahwa umat Muslim atau saudara-saudara muslim dianiaya oleh Kristen dan mereka berangkat jihad ke sana karena ada fatwa dari ulama. Itu lah mereka terlibat jihad itu karena ada fatwa. Nah ketika itu selesai, konflik reda dan fatwanya dicabut, ya kelompok Pious ini menghentikan aksinya dan mereka pulang ke kampungnya. Jadi berbeda dengan yang Jihadi tadi. Kalau Jihadi memang menganggap perang belum selesai. Perang terjadi tidak hanya di Ambon dan Poso, tetapi juga di Jawa, di Jakarta, di Bali di mana-mana, karena itulah mereka melakukan perang , teror, bom.

Saya kira mungkin, kalau penelitian ini mau dianggap ada sumbangannya  mungkin sumbangan untuk memahami, bahwa dinamika kelompok Islam itu majemuk. Kita tidak bisa melakukan penyederhanaan, bahwa semua kelompok jihad itu kelompok teroris. Ada memang kelompok yang menggunakan atau menghalalkan kekerasan atau teror, tetapi juga ada kelompok Pious/Saleh yang bahkan sangat menentang terorisme.

Dan saya kira salah satu kelompok yang paling aktif menentang kelompok-kelompok terorisme itu adalah kelompok Salafi sekarang ini, kelompok Pious tadi. Ulama-ulama mereka menulis buku-buku serius-serius menentang terorisme. Mereka mengungkap tentang kesesatan terorisme, di mana kesalahannya dalam menafsirkan Al Quran. Mereka menanggapi dengan syariah artinya dengan Kitab, tidak hanya sekedar menyalahkan, tetapi di sini lho sesatnya, misalnya teroris Imam Samudra, dia salah mengartikan ayat ini, dia salah mengartikan hadis ini. Itu menarik. Jadi mereka tidak setuju dengan terorisme, karena Islam itu bukan seperti itu. Mereka menentang terorisme. Menurut mereka Islam itu tidak menghalalkan terorisme. Islam boleh berjihad, tetapi dalam mepertahankan diri. Ketika diserang, kita kan harus membalas. Itu lah yang namanya jihad. Dan mereka menentang terorisme.

Dan kelompok Salafi ini tidak hendak mendirikan negara Islam. Yang ingin mendirikan negara Islam itu adalah kelompok Jihadi itu. Kelompok Jihadi ingin mendirikan negara Islam. Kelompok Pious mendirikan atau mengakkan Islam dalam komunitas kecil mereka sendiri. Kalau kelompok politik mereka ingin mempengaruhi negara RI menjadi negara yang lebih Islam. Itulah bedanya. Jadi kita punya spektrum.

Jadi konklusinya, untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam radikal yang berbagai macam itu, kita harus melakukan strategi yang berbeda-beda, tidak bisa disamaratakan. Tidak bisa semua kelompok Islam radikal itu dihadapi dengan kekerasan, dihancurkan. Tidak demikian. Kadang-kadang orang hanya melihat seseorang itu celananya cingkrang, berjenggot, nah itu pasti teroris atau jihadis. Padahal belum tentu. Yang bercelana cingkrang dan ada jenggotnya itu bahkan banyak dari kelompok Salafi/Pious itu yang justru sangat menentang terorisme. Meskipun ciri  fisiknya bisa sama dengan kelompok Jihadis, misalnya sama-sama congkrang celananya, sama-sama berjenggot, biasanya berpeci putih, kadang-kadang pakai jubah.

Oleh karena itu kita memerlukan strategi yang bervariasi untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam radikal itu. Tidak bisa hanya satu resep yang digunakan.  Pada  titik tertentu, pada kelompok tertentu  mungkin penggunaan kekerasaan dalam menghadapinya mungkin relevan. Pada kelompok lain yang diperlukan mungkin bukan demikian, yakni mungkin diperlukan bagaimana meningkatkan interaksi mereka dengan komunitas luar. Untuk kelompok Salafi, saya kira, yang perlu ditingkatkan  adalah interaksi mereka dengan komunitas luar. Semakin mereka ikut kegiatan sosial. Mereka lalu lebih cenderung menghargai  orang lain, karena mereka bergaul, karena kalau mereka tidak bergaul kan tidak mengetahui dunia luar. [yan]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA