Menteri Kehutanan (Menhut) ZulÂkifli Hasan menyatakan sudah resÂmi melaporkan DL Sitorus keÂpada KPK, mengirim surat kepaÂda Kapolri dan Jaksa Agung. DL Sitorus dilaÂporkan karena adanya dugaan masih meÂneÂrima setoran dari kebun kelapa saÂwit yang kini dikelola PT Inhutani IV.
“Kita sudah melaporkan ke KPK soal pungutan dari kebun sawit yang dikelola PT Inhutani IV di Padang Lawas, Sumut,†ujar Menhut Zulkifli di Istana PreÂsiden, Jakarta, belum lama ini.
Sebagaimana diketahui, peÂmanÂfaatan lahan sawit register 40 di Padang Lawas, Sumut ini miÂnimal mencapai Rp 100 miliar per bulan. Artinya, jika dalam tiga tahun (36 bulan) lahan itu telanÂtar, negara berpotensi rugi miÂniÂmal Rp 3 triliun lebih.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara KPK Johan Budi meÂngaÂtaÂÂkan, siap menindaklanjuti lapoÂran soal potensi kerugian negara. Untuk itu, pihaknya akan meÂnunggu laporan terkait macetnya setoran hasil sitaan dari Inhutani IV ke kas negara.
Lebih jauh Menhut kembali menÂjelaskan, pengelolaan lahan saÂwit akan dilakukan secara opÂtimal. Ini ditujukan agar negara mendapat keuntungan maksimal. “Kita tidak ingin ada lahan meÂnganggur. Termasuk lahan milik DL Sitorus yang selama ini terÂbengkalai,†tegasnya.
Sebelumnya, pihak Inhutani IV menyatakan, siap mengemban tuÂgas mengelola lahan sawit yang teÂlantar. “Kami sebagai BUMN siap mengemban tugas untuk mengÂhuÂtankan kembali hutan register 40 Padang Lawas.†kata DiÂrut InhuÂtani IV Mustoha IskanÂdar yang dikonfirmasi belum lama ini.
Namun diakui, pihak Inhutani IV sebelumnya tidak memÂbeÂberÂkan ada pungutan illegal terhadap laÂhan seluas 47 ribu hektar terÂseÂbut. BUMN bidang kehutanan terÂsebut beralasan, macetnya seÂtoran dari lahan tersebut karena belum ada kesepakatan dengan KemenÂterian Keuangan (Kemenkeu).
Mustoha mengatakan, KemenÂkeu saat ini masih melakukan peÂnilaian terhadap kontribusi tetap yang harus disetor Inhutani keÂpada negara dalam bentuk pengÂhasilan bukan pajak.
Selain itu, Kemenkeu yang berÂlaku sebagai pengelola aset neÂgaÂra juga sedang memÂperÂtimÂbangÂkan berapa pemÂbagian hasil keÂuntungan. Setelah KeÂmenkeu seÂtuju, barulah ada kerÂjasama peÂmanfaatan (KSP) antara KeÂmeÂnÂhut dengan Inhutani.
“Bagaimana kami mau meÂnunÂjuk mitra operator, KSP-nya saja beÂlum ada. Kami belum bisa berÂbuat apa-apa. Untuk meÂngeÂlola aset negara, diperlukan KSP. KeÂmenhut menunjuk Inhutani melalui KSP. Eksekusi lapangan juga beÂlum dilakukan. Saat ini baru ada ekÂsekusi administrasi. Kami meÂmang sudah melakukan tender terÂleÂbih dahulu. Hal itu seÂbagai teÂrobosan. Sehingga setelah KSP suÂdah ada, kami tidak perlu memulai dari awal lagi, tidak baru mulai menÂcari-cari partner,†jelasnya keÂpada
Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Diketahui, Inhutani IV menÂdaÂpat tugas mengelola aset milik beÂkas terpidana DL Sitorus melalui Surat Keputusan (SK) Menhut Nomor 358 tahun 2008. SelanÂjutÂnya, untuk memutuskan kelanÂjuÂtan operasional lahan bekas milik DL Sitorus ini, Inhutani mengÂgeÂlar tender. Dari 12 perusahaan yang mengikuti tender, muncul tiga nama perusahaan pemenang yakni, PT Citra Usaha Sejati, PT Budi Graha Perkasa dan PT Tidar Kerinci Agung.
Kuasa hukum DL Sitorus, MuchÂtar Pakpahan sendiri meneÂpis anggapan kalau kliennya diÂsebut masih melakukan pungutan terhadap aset Inhutani IV. “TerÂakÂhir saya ikuti kasus ini pada 2009. Waktu itu sudah jelas koÂmitÂmennya, kalau lahan ini diÂambil alih negara maka klien kami akan menghormati putusan terÂsebut,†tegasnya. Tapi sebaÂlikÂnya kalau lahan itu ditenderkan pada pihak swasta, klien kami berinisiatif untuk ikut dalam tender tersebut.
Alasannya, ketika itu kliennya tidak sedang bermasalah dengan perkara hukum. “Dia punya andil dalam membuka lahan tersebut, maka seharusnya ia diprioÂritasÂkan dalam proses kepemilikan maupun pengelolaan lahan tersebut,†imbuhnya.
Sedangkan anak terpidana DL SiÂtorus, Sihar Sitorus mengungÂkapkan tuduhan adanya peramÂbaÂhan hutan Register 40 itu tidak beÂnar. Karena menurutnya, ekseÂkusi yang dilaksanakan Kejati SuÂmut tidak sesuai dengan amar puÂtusan Mahkamah Agung (MA). Ia menilai, tim eksekutor telah mengabaikan kepemilikan lahan objek perkara.
“Kami tidak keÂnal istilah eksekusi admÂiÂnisÂtrasi. Dalam amar putusan MA tidak ditulis tentang eksekusi adÂministrasi. Pertanyaannya apakah eksekusi ini sesuai amar putusan MA,†katanya.
Segera Tetapkan Operator LahanAhmad Muqowam, Ketua Komisi IV DPR DPR meminta pemerintah segera mengelola lahan seluas 47 ribu hektar milik Darianus Lungguk (DL) Sitorus yang kini disita pemerintah dan diserahkan ke Inhutani IV.
Ini ditujukan agar Inhutani IV segera bisa memutuskan nasib lahan yang menjadi sengketa berkepanjangan. Akibat hal itu, selama tiga tahun lebih lahan terÂsebut berstatus nganggur dan tidak menghasilkan apa-apa buat negara.
Ketua Komisi IV DPR AhÂmad Muqowam yang dikonÂfirÂmasi mengenai hal ini mengaÂku, tidak mengetahui pasti apaÂkah lahan tersebut sudah dikeÂlola atau belum oleh pihak yang semetinya, yakni Inhutani IV. KaÂrenanya, ia meminta lahan terÂsebut secepatnya dikelola deÂngan baik. “Itu kan lahan siÂtaÂan,†katanya saat dihubungi
RakÂyat Merdeka di Jakarta.
Menurutnya, meski Inhutani IV belum menyetorkan kas ke negara atas penyitaan tersebut, masalah ini tidak perlu dibawa ke KPK. Karena merujuk pada aturannya, sitaan itu sudah seÂmesinya diserahkan ke Inhutani IV untuk dikelola.
“Memang perlu ada pengaÂwasan, tetapi kenapa harus dibawa ke KPK. Posisi huÂkumÂnya disita negara atas nama neÂÂgara dan diserahkan ke Inhutani IV,†katanya.
Sementara anggota Komisi IV Herman Khoeron memasÂtiÂkan, sepanjang pengetahuannya Inhutani IV sudah melakukan tenÂder pengelolaan lahan. NaÂmun jika persoalan pengelolaan lahan ini dikaitkan dengan maÂsalah hukum yang ada, tentu persoalan ini tidak bisa disÂeÂleÂsaÂiÂÂkan dengan cepat.
Sawit Setor Rp 121,5 TriliunElfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics IndonesiaDirektur Eksekutif GreenoÂmics Indonesia Elfian Effendi menjelaskan, Eropa menjadi salah satu tujuan ekspor terbeÂsar minyak sawit mentah (CPO) termasuk produk turunannya.
Bahkan menurutnya, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa belakangan meningkat lebih dari tiga kali lipat. Atas hal ini, konflik atas pengelolaan lahan sawit yang semestinya dikuasai negara harus bisa diselesaikan dengan cepat.
Berdasarkan data yang diÂungkap Greenomics Indonesia, nilai ekspor CPO maupun proÂduk turunannya meningkat leÂbih dari 3,5 kali lipat. Angka peÂningkatan signifikan itu diperÂoleh melalui data peningkatan nilai eksor sawit ke Uni Eropa pada kurun 2005 hingga 2010.
Dikemukakan, pada tahun 2005 hasil ekspor sawit ke Uni Eropa mencapai angka 3,76 miliar Dolar Amerika meningÂkat menjadi 13,47 miliar Dolar Amerika atau sekitar Rp 121,5 triliun pada 2010.
Ia menilai, potensi pendaÂpatan yang besar ini semestinya menjadi perhatian serius peÂmeÂrintah dalam menggenjot penÂdaÂpatan negara. PeningÂkaÂtan angka pendapatan negara dari sektor ini dipastikan akan bisa dimaksimalkan jika dari luas total lahan perkebunan sawit di Indonesia tidak kebanyakan dikuasai pihak asing.
Sebagai contoh bebernya, peÂmeÂrintah Norwegia tercatat seÂbaÂgai pemegang saham grup-grup bisnis sawit yang berÂopeÂrasi di Indonesia. Perusahaan yang sejauh ini tercatat dimiliki seÂbagian asetnya ituantara lain Golden Agri (Sinar Mas Group), Wilmar International Group, IOI Group, Sime Darby Group, Astra Agro Lestari Group, PT LonÂdon Sumatera Indonesia Tbk dan PT Bakrie Sumatera Plantation.
Selebihnya terkait macetnya seÂtoran ke kas negara dalam peÂngelolaan lahan sawit milik beÂkas terpidana DL Sitorus, Elfian menyarankan agar persoalan ini segera diselesaikan. Lagi-lagi ia mengingatkan potensi pendaÂpaÂtan negara dari sektor sawit yang begitu besar hendaknya diÂkelola pemerintah secara opÂtimÂal. “Apalagi saat ini sedikitÂnya masih ada 12 juta hektar lahan sawit terlantar yang bisa dimanfaatkan.â€
[RM]
BERITA TERKAIT: