Kemenkeu Siapkan SKK Kejagung Susun Gugatan

BDNI Wanprestasi Lunasi Utang BLBI

Jumat, 25 Maret 2011, 06:28 WIB
Kemenkeu Siapkan SKK Kejagung Susun Gugatan
Sjamsul Nursalim
RMOL. Bekas pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim bakal digugat Kejaksaan Agung (Kejagung). Rencana gugatan ini terkait dugaan wanprestasi (ingkar janji) pelunasan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 4,758 triliun.

Perkem­ba­ngan perkara da­lam pelunasan utang BLBI oleh be­kas bos BDNI Sjamsul Nur­salim dinilai Ke­ja­gung, macet.

Akibatnya, peme­rin­tah pun berencana mela­yang­kan gugatan perdata atas wan­prestasi tersebut. Ke­terangan me­ngenai hal ini, di­sampaikan Jaksa Agung Muda Per­data dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Keja­gung, Kamal Sofyan.

“Kementerian Keuangan akan segera menyampaikan SKK (Su­rat Kuasa Khusus) ke kita sebagai Jaksa Pengacara Negara atau JPN,” katanya pada Rakyat Mer­deka, kemarin.

Dibeberkan Kamal, pengajuan gu­gatan perdata terhadap Syam­sul dilakukan terkait tunggakan pe­lunasan utang dalam kasus du­gaan korupsi BLBI di BDNI. “Hal ini sudah direncanakan se­jak tiga tahun lalu, namun ter­ken­dala pada SKK Menteri Ke­ua­ngan yang tak kunjung di­se­rah­kan pada Kejagung selaku JPN,” ujarnya.

Kamal menuturkan, sebe­lum­nya Kejagung maupun Kemen­keu telah bertemu guna meng­koor­dinasikan hal ini. Dalam per­temuan dikemukakan bahwa SKK akan segera diberikan ke­pada Kejagung. “Kita sudah bertemu dengan pihak Kemenkeu dan dijanjikan dalam waktu dekat SKK akan diserahkan ke kita,” tuturnya.

Lanjut Kamal, rencana peme­rintah menggugat Sjamsul sudah beredar sekitar tiga tahun lalu. Kala itu, setelah melakukan pe­nye­lidikan mendalam, tim pe­nye­lidik BLBI dalam kasus BDNI yang diketuai bekas jaksa Urip Tri Gunawan menyimpulkan ada­nya wanprestasi.

Salah satu dasar atas argumen adanya wanprestasi dipicu aset-aset BDNI yang diserahkan ke Ba­dan Penyehatan Perbankan Na­sional (BPPN) untuk peluna­san utang BDNI diduga tak sesuai dengan nilai buku asli.

“Rencana gugatan ini sebe­lum­nya tak pernah terlaksana karena Kemenkeu selalu memberi kete­rangan akan meneliti sendiri du­gaan wanprestasi tadi,” ter­ang­nya. Atas asumsi ini, ungkap Ka­mal, jajaran Kejagung berupaya meminta Kemenkeu untuk mem­percepat pengeluaran SKK guna memperkarakan kasus ini secara perdata. “Kita nggak bisa berge­rak kalau nggak ada SKK.”

Hal senada juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Nur Rochmad. Setali tiga uang de­ngan Kamal, dirinya juga me­nam­pik kabar lambannya pena­nga­nan perkara BLBI didasari tidak adanya ketegasan sikap dari jajarannya.

“Sampai sekarang suratnya belum masuk, padahal kita sudah memohon pada Ke­men­keu untuk segera mengirim surat itu ke Kejaksaan,” timpalnya.

Diibaratkan Nur, SKK Menkeu diperlukan Kejagung untuk kepentingan menggugat secara perdata para obligor BLBI yang dinilai wanprestasi. Pengganti Babul Khoir Harahap ini me­n­e­rangkan, upaya menarik kembali aset negara dari tangan obligor BLBI merupakan kewenangan penuh dari Kemenkeu. Kejaksaan tidak mungkin melakukan gugatan untuk merampas aset para obligor jika belum ada mandat dari Menkeu.

Sementara pihak Kemenkeu hingga kemarin belum memberi respon optimal seputar rencana Kejagung mengajukan gugatan perdata terhadap para pihak yang dinilai mengemplang dana BLBI. Ketika dihubungi, Kepala Biro Hukum Kemenkeu Indra Surya mengaku akan mengecek rencana penerbitan SKK tersebut.

“Nanti saya cek lebih dulu. Sebaiknya kita tunggu saja,” sergahnya, kemarin.

Yang pasti rencana Kejagung mengugat perdata pihak Sjamsul ditanggapi dingin oleh kubu tai­pan yang satu ini. Kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail pun me­negaskan, pihaknya siap meng­hadapi gugatan sepanjang me­me­nuhi kriteria atau aturan hukum yang ada.

“Pertama sebelum Ke­jagung menggugat, apa sudah mendapat surat kuasa dari Menkeu. Karena yang berwenang menggugat adalah Menkeu,” tuturnya.

Disampaikan, masalah BLBI yang melibatkan kliennya sebe­narnya sudah selesai sejak 2006. Pe­r­soalan ini selesai setelah Ba­dan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan audit yang me­nya­takan tidak ada kerugian negara dalam perkara ini.

“Apalagi pemerintah sebe­lum­nya juga telah menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) sebagai bukti kalau semuanya sudah lunas dan tidak ada masalah,” ucapnya.

Untuk itu Maqdir berharap pe­merintah tidak kembali mem­persoalkan masalah ini. Dia mem­beri keyakinan, kalau per­soalan ini terus dipersoalkan nan­tinya justru akan menimbulkan polemic yang tidak akan pernah selesai. Menurutnya, awal mula muncul nilai kerugian negara se­nilai Rp 4,7 triliun dalam kasus BLBI yang me­nyeret kliennya terjadi saat penyelidikan perkara dipimpin Jak­sa Urip Tri Guna­wan. “Yang saya tanyakan, apa­kah jaksa pe­ne­liti dalam kasus ini sudah men­jadi akuntan sehingga bisa meng­hitung sendiri kerugian negara pada kasus ini,” ungkapnya.

Bukan Uang Kecil
Achmad Basarah, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Achmad Basarah menyesalkan sikap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang lambat me­ngeluarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) guna menun­taskan per­kara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang men­jerat nama Sjamsul Nursalim. Soalnya, SKK menjadi hal prin­sipil dalam menyita asset Sjam­sul senilai Rp 4,7 Triliun.

“Saya menyesalkan sikap Kemenkeu. Ini perkara hukum yang telah menelan uang negara sangat banyak. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya Kemenkeu selaku pihak yang mewakili pemerintah mengeluarkan SKK dengan segera,” katanya.

Menurut Basarah, belum ke­luarnya SKK untuk mengusut perkara Sjamsul lebih dika­rena­kan ego struktural petinggi Ke­jaksaan dengan petinggi Ke­men­keu. Karena itu, Basarah ber­harap Presiden turun lang­sung meminta Kemenkeu mengeluarkan SKK tersebut.

“Sebagai pemimpin negara ini sudah sewajarnya turun langsung meminta Kemenkeu mengeluarkan SKK,” im­buh­nya. Basarah berharap dengan turunnya Presiden memantau perkembangan penangan kasus BLBI akan mengurangi missed koordinasi antara Kejagung dengan Kemenkeu.

“Ini yang sama-sama kita harapkan. Bayangkan saja uang Rp 4,7 triliun itu bukan uang ke­cil. Itu asset negara yang ha­rus dikembalikan.”

Politisi PDIP ini juga me­min­ta Kejagung serius menggugat Sjamsul begitu memperoleh SKK dari Kemenkeu. Menu­rut­nya, jangan sampai pengen­tasan kasus ini diulur-ulur lagi. “Saat ini masyarakat memantau kinerja Kejagung khususnya yang berniat menggugat Sjam­sul secara perdata. Itu positif supaya aset negara bisa ditarik lagi,” tegasnya.

Ia pun membandingkan, ke­napa tindakan hukum terhadap obligor kakap yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar seringkali terkesan lam­ban. Hal ini kerap berbeda bah­kan bertolak belakang dengan perlakuan terhadap maling ke­las teri yang melakukan tindak pidana karena terpaksa.

Sekarang, Dimana Sjamsul Berada?
Jusuf Rizal, Pengamat Hukum

Presiden Lumbung Infor­masi Rakyat (LIRA) Jusuf Ri­zal menilai tidak ada alasan bagi Kementerian Keuangan menunda mengeluarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) untuk dipakai Kejagung sebagai dasar menggugat secara perdata Sjamsul Nursalim.

“Salah satu tugas Kemenkeu itu memudahkan lembaga pe­negak hukum untuk mengejar uang-uang yang telah dibawa kabur oleh para buronan. Mi­salnya, asset Tommy di Inggris dan perkara BLBI ini,” katanya.

Menurutnya, tindakan Sjam­sul yang melakukan wan­pres­tasi alias ingkar janji meru­pa­kan suatu perbuatan yang tidak bisa dimaafkan dan harus mendapatkan hukuman berat.

“Kalau bisa malah dikasih hu­kuman seumur hidup atau mati. Jumlahnya hingga triliu­nan loh, ini perkara yang paling memilukan dan memalukan bagi bangsa ini,” tegasnya.

Karena itu, Jusuf mem­per­ta­nyakan kembali mengapa K­e­menkeu tak kunjung men­ge­luarkan surat tersebut. Dia me­nandaskan, ada apa  di balik ini. Kenapa Kemenkeu tidak segera mengambil tindakan cepat da­lam merespon hal tersebut. Pa­dahal lanjutnya, sejauh ini koor­dinasi antara Kemenkeu dengan Kejagung dilakukan secara kontinyu.

Dipicu hal ini, Jusuf pun mengaku curiga kalau dalam kasus ini ada permainan politik dan tekanan yang diarahkan ke lingkungan Kemenkeu sehing­ga lembaga negara itu lambat me­ngeluarkan SKK. “Ya patut dicurigai, seharusnya Kemen­keu dengan cepat menge­luar­kan, ini malah tersendat-sen­dat,” tandasnya.

Disamping itu, belum jelas­nya keberadaan Sjamsul juga menjadincatatan yang sangat me­milukan bagi penuntasan korupsi di negeri ini.

“Dimana sekrang posisi Sjamsul nggak  ada yang tahu. Bagaimana mau selesai perkara ini,” tuturnya.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA