WAWANCARA

Jenderal (Purn) AM Hendropriyono: Membuat Bom Memang Mudah, Menjinakkan Taruhannya Nyawa

Rabu, 23 Maret 2011, 07:07 WIB
Jenderal (Purn) AM Hendropriyono: Membuat Bom Memang Mudah, Menjinakkan Taruhannya Nyawa
Jenderal (Purn) AM Hendropriyono
RMOL. Aksi teror bom buku yang melanda Tanah Air telah membuat masyarakat jadi paranoid. Sayangnya, aparat kepolisian belum menemukan pelaku teror tersebut. Meski deteksi lebih mengarah kepada jaringan terorisme lama, yang masih terpencar-pencar.

Kenapa teror bom sekarang menggunakan buku? Dan bagai­mana masyarakat mencegah teror tersebut? Berikut wawan­cara Rakyat Merdeka dengan bekas Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Purn) AM Hen­dropriyono:

Bagaimana Anda melihat te­ror bom buku yang saat ini me­nyebar di Tanah Air?
Saat ini pelaku bom buku su­dah hampir sukses menjalankan misinya. Aksi mereka sudah mem­buat ketakutan yang meluas di masyarakat. Kini, warga selalu ketakutan saat menerima atau melihat paket mencurigakan. Teror memang seperti itu. Tu­juan­nya adalah menebarkan keta­kutan secara luas.

Namun, bukan berarti aksi teror ini tidak bisa dilawan. Kalau masyarakat mau bahu-membahu dan gotong-royong, aksi teror tersebut pasti bisa hilang. Dengan gotong-royong, keberadaan pe­laku teror bisa segera dideteksi.

Siapa yang bertugas menga­tasi teror?
Tugas untuk mengatasi aksi teror memang terletak di peme­rintah. Namun, masyarakat tidak boleh terlalu menggan­tungkan keselamatannya pada pemerin­tah. Apalagi dengan kondisi saat ini, di mana jumlah aparat yang ada sangat terbatas dengan ke­mampuan yang terbatas pula.

Solusinya?
Saat ini, sudah waktunya bagi masyarakat untuk menggalakan gerakan intelligence minded dan security minded untuk melin­dungi diri sendiri.

Terorisme seringkali dihu­bung­kan dengan jaringan, golongan, bagai­mana masya­rakat bisa mela­wan terorisme jenis ini?
Terorisme bukanlah masalah golongan. Terorisme ada­lah ma­salah ideo­logi. Kalau ma­­syarakat bisa men­­cegah ideo­logi ini tum­buh subur, maka terorisme juga tidak akan ada.

Prediksi Anda, siapa di balik pe­laku teror bom buku saat ini?
Mereka bisa saja berasal dari jaringan lama, dan bisa juga bera­sal dari jari­ngan baru. Namun, yang pasti mereka masih meng­gu­nakan ideo­­logi lama, yaitu ingin mewu­jud­kan khilafah islamiah di Indo­nesia.

Bagaimana model penyeba­ran ideologi ini?
Penyebaran ideologi ini masih sering dijumpai di sekitar masya­rakat kita. Penyebaran ini bisa melalui pengajian, diskusi, bah­kan dalam Khutbah Jumat.

Untuk itulah masyarakat perlu gotong-royong. Begitu ada khatib yang mulai melenceng dalam khutbah dan menebarkan keben­cian pada negara, harus segera dicegah. Sebab, kalau dibiarkan, bisa saja remaja-remaja yang pikirannya masih kosong bisa jadi panas dan kemudian malah menebarkan teror bagi ling­kungannya.

Para ahli bom dari jaringan teroris lama sudah banyak yang ter­bunuh, tapi kenapa bom-bom kembali bisa dibuat?
Harus diakui, saat ini cara mem­buat bom begitu mudah. Bahan-bahan yang dibutuhkan seperti serbuk potasium, bubuk mesiu, dan TNT (tri nitro toluene) bisa dengan gampang diperoleh di toko-toko kimia. Cara pera­kitan­­nya juga cukup mudah se­hingga bisa dipelajari dalam waktu dekat.

Artinya, susah kita mence­gah orang membuat bom?
Dengan gotong-royong dan saling koordinasi antara warga, semua hal ini bisa dicegah. Orang yang kadung punya paham fun­damentalis yang mau merakit bom, bisa dicegah. Caranya, ka­lau ada yang beli bahan peledak dalam jumlah banyak, harus diselidiki untuk apa. Penjualnya juga jangan tinggal diam. Kalau pembeli bahan peledak itu men­curigakan, harus diminta foto­copy KTP dan alamatnya. Lalu laporkan ke aparat setempat.

Teror bom buku sudah sangat meresahkan, apa yang mesti di­lakukan masyarakat?
Untuk konteks saat ini, masya­rakat harus tetap hati-hati saat menerima paket yang mencuriga­kan. Jika tidak bisa mendeteksi isinya dan tidak tahu pengirim­nya, lebih baik lapor ke polisi. Biarkan polisi yang mengi­denti­fikasi apakah bom atau bukan. Membuat bom memang mudah. Tapi untuk urusan menjinakkan, itu susah dan taruhannya nyawa. Jadi, lebih baik dilaporkan saja pada polisi.

Kenapa buku dijadikan me­dia bom?
Media buku jadi tempat bom hanya dilandasi kepraktisan da­lam pengiriman dan perhitungan refleks orang. Dengan buku, bom tersebut bisa dengan gampang dikirim. Saat terima buku, peme­rima juga biasanya penasaran dan langsung membukanya. Ini ti­dak ada maksud apa-apa. Ini hanya faktor kepraktisan dan refleks. Ini sama halnya pada bom Poso dulu yang menggu­nakan senter, yang saat itu Poso sedang mati listrik. Sehingga saat ada senter, orang langsung menekan tombol untuk menghidup­kannya. Begitu ditekan, langsung meledak.

Ke depan bisa juga berubah dong medianya?
Media bom bisa apa saja, ter­gantung pertimbangannya apa. Bisa saja ke depan paketnya berupa parfum yang mengundang orang penasaran untuk menco­banya. Padahal, begitu disem­protkan, langsung meledak.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA