Biaya Konsultasi Pembangunan Gedung DPR Dicurigai 7 LSM

Harganya Ditaksir Sampai 14,5 Miliar Rupiah

Jumat, 18 Maret 2011, 03:15 WIB
Biaya Konsultasi Pembangunan Gedung DPR Dicurigai 7 LSM
ilustrasi, Pembangunan Gedung DPR
RMOL.KPK masih enggan memantau pembangunan gedung baru DPR, kendati kalangan LSM mencurigai biaya konsultasi pembangunan itu mencapai Rp 14,5 miliar. KPK baru akan bergerak setelah ada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Menurut Wakil Ketua KPK Bi­­dang Pencegahan Mocham­mad Jasin, pihaknya tak mau terburu-buru memantau langsung pembangunan gedung bermodal Rp 1,138 triliun itu.

“Idealnya, ada audit BPK ter­lebih da­hu­lu terhadap pelak­sa­na­an pengadaan jasa desain ge­dung tersebut. Dari hasil audit BPK ini, apakah ada indikasi pe­langgaran atau tidak, baru pe­negak hukum me­nin­dak­lan­juti­nya,” kata dia lewat SMS, kemarin.

Pihak BPK juga belum bisa me­ngambil sikap saat ditanya  audit pembangunan ge­dung tersebut. “Pembangunan ge­dung  masih dalam tahap ten­der atau belum melakukan pem­bangunan fisik, sehingga kami be­lum bisa mengambil sikap,” kata Kepala Humas dan Luar Negeri BPK, Bahtiar Arif kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

 Meski begitu, Bahtiar berjanji akan memberikan informasi apa­bila BPK melakukan audit pem­bangunan gedung baru DPR. “Kami harus koordinasi dulu de­ngan pimpinan, apakah patut untuk diaudit. Secepatnya akan saya kabari,” ucapnya.

Meski KPK dan BPK belum me­ngendus aroma korupsi, tujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada Rabu (16/3) menda­ta­ngi Gedung KPK, memin­ta lembaga superbodi itu segera mengawasi pembagunan mega proyek tersebut. Ketujuh LSM itu ialah Indonesia Corruption Watch (ICW), Lingkar Madani Untuk In­donesia (LIMA), Forum Ma­sya­rakat Peduli Parlemen In­donesia (FORMAPPI), Komite Pe­milih Indonesia (TePI), Indo­nesia Budget Center (IBC), Trans­parency Inter­national Indonesia (TII) dan Su­geng Sarjadi Syn­dicate (SSS).

Peneliti Indonesia Budget Cen­ter, Roy Salam berharap, per­nya­ta­an Jasin itu hanya ucapan nor­ma­tif. Soalnya, Komisi yang di­pimpin Busyro Muqoddas itu se­harusnya bisa melakukan pe­nga­wa­san tanpa harus menunggu audit BPK terlebih dahulu. “Ma­sak lembaga superbodi harus me­nunggu laporan audit BPK dulu,” sindirnya.

Apalagi, tandas Roy, pe­nga­da­an jasa konsultasi pembangunan ge­dung yang menghabiskan ang­garan hingga Rp 14,5 miliar saja, sudah mengundang kecurigaan. Apalagi pembangunan gedung­nya yang mencapai biaya Rp 1,138 triliun. “Apakah jasa konsultasi itu dida­patkan melalui tender secara terbuka atau tidak,” kata dia, kemarin.

 Proses rencana pembangunan ge­dung itu, lanjut Roy, dilakukan se­­cara tertutup sehingga KPK pa­tut curiga. Proses tersebut, me­nu­rut­nya, mengundang kecurigaan ada­nya upaya mengelabui ma­sya­rakat luas.

Soalnya, DPR hanya menyebut jumlah nominal untuk pem­ba­ngu­nan fisik sebesar Rp 1,138 tri­liun, tanpa ada rincian­nya. “No­minal biaya yang dije­laskan ha­nya untuk bangunan fisik, yakni Rp 1,138 triliun. Sedangkan biaya furnitur, IT, dan sistem ke­amanan tidak dijelaskan,” katanya.

 Menurut Roy, permintaan proses transparansi itu sebagai bentuk upaya pencegahan ko­rup­si yang sering terkait pengadaan barang dan jasa. “Kami hanya ingin mencegah agar tidak ada korupsi dalam pengunaan dana tersebut,” katanya.

Dia mengingatkan, dari segi regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah, proyek bernilai di atas Rp 50 juta harus dilakukan melalui tender terbuka, seperti terdapat dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003. “Ketika DPR bi­lang ada Rp 14,5 miliar untuk kon­sultasi, kok tidak ada perin­cian­nya. Kalau dana itu diguna­kan melalui proses penunjukan langsung, jelas menyalahi Kep­pres Nomor 80 Tahun 2003 ten­tang Pengadaan Barang dan Jasa,” tandasnya.

Roy juga membeberkan empat kebohongan DPR dalam rencana pembangunan tersebut. Yakni, ke­bohongan mengenai kondisi ge­dung lama yang miring. Ke­bohongan mengenai persetujuan seluruh fraksi atas pembangunan gedung baru, padahal Fraksi Ge­rindra menolak usulan tersebut.

Kebohongan tujuan pemba­ngu­­nan untuk peningkatan ki­nerja. Serta kebohongan pen­y­e­dia­an fasilitas kolam renang un­tuk kar­yawan DPR, padahal tidak per­nah sekalipun ada keinginan dari karyawan DPR untuk pe­nye­diaan fasilitas tersebut.

Menurutnya, pembangunan ge­dung baru itu menunjukkan ang­gota DPR tidak me­mer­hatikan aspirasi masyarakat. “Ini langkah kami ka­rena DPR tak mau de­ngarkan beban rakyat. Mereka ma­sih ngotot m­e­ne­ruskan pem­ba­ngunan gedung yang memakan biaya Rp 1,13 triliun dan jasa kon­sultasi yang tidak trans­paran dan tidak akuntabel sebesar Rp 14,5 miliar,” tandasnya.

 Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengaku merespon po­sitif laporan tujuh LSM ter­se­but ke KPK, karena sejalan de­ngan keinginan Dewan sejak awal. “Dari awal, kami yang me­ngajak KPK agar mengawasi pem­ba­ngu­nan gedung ini,” kata­nya di Ge­dung DPR, kemarin.

Salah seorang anggota Badan Uru­san Rumah Tangga (BURT) DPR M Ichlas El Qudsi pun ber­ha­rap publik ikut mengawasi ten­der pembangunan tersebut. “Ha­rus bersih atau tidak ada du­gaan KKN. Nah, mumpung baru dimu­lai tendernya, gedung DPR yang ba­ru ini harus berkah, bersih dari KKN,” ujarnya pada Selasa (15/3).

Wakil Ketua KPK Moc­ham­mad Jasin menyarankan, untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya korupsi dalam proyek ini, sebaiknya seluruh proses pe­ngadaan dilakukan secara elek­tronik. Dengan begitu, ma­sya­ra­kat bisa mengawasi pelaksanaan pembangunan gedung berlantai 36 itu. “Supaya transparan dan akun­tabel,” ujarnya.

Tender Itu Telah Dibuka

DPR pada Senin lalu (14/3) se­cara resmi membuka tender un­tuk pembangunan gedung ba­ru­nya. Sekjen DPR Nining Indra Sa­leh mengatakan, rencana pem­ba­ngu­nan gedung Dewan Per­wakilan Rakyat yang baru sudah final.

 â€œKeputusan Rapat Pleno Ba­dan Urusan Rumah Tangga (BURT) pada Kamis (10/3) memutuskan, kebijakan pembangunan gedung ini sudah final,” katanya dalam jumpa pers di Gedung DPR pada Jumat lalu (11/3).

 Menurut Nining, dalam kepu­tusan nomor 106/BURT/R.Pleno/MS III/03/2011 itu, BURT me­mu­­tuskan bahwa pembangunan ge­dung baru ini akan dilakukan pada awal tahun ini. Selain itu, Setjen DPR sudah meminta ke­pa­da Kementerian Pekerjaan Umum untuk menganalisa besa­ran biaya pembangunan gedung baru DPR yang sesuai dengan Peraturan Men­teri PU Nomor 45/prt/m/2007 tentang Pedoman Teknis Pem­ba­ngu­nan Bangunan Gedung Negara.

 Atas dasar tersebut, lanjut Ni­ning, Direktur Penataan Ling­ku­ngan dan Bangunan Kementerian PU menentukan bahwa pem­ba­ngu­nan fisik gedung baru itu bia­ya­nya adalah Rp 1,138 triliun.

“Biaya pembangunan fisik Rp 1,138 triliun ini terdiri dari pe­ke­rjaan standar dan non stan­dar. Lalu, ditambah biaya kon­sul­tan, sehingga total biaya pem­ba­ngu­­nan gedung ini adalah Rp 1,164 trilun. Semua ini yang me­ne­tap­kan adalah Kemen­terian Peker­ja­an Umum, karena kami bukan ah­linya untuk meng­kaji harga-harga sa­tuan pem­ba­ngunan gedung, ma­kanya kami serah­kan,” katanya.

Pembangunan gedung ini me­mang mengundang polemik. Sua­ra penentang pembangunan ge­dung ini juga muncul dari dalam DPR. Yang menolak ialah Fraksi Ge­rindra. Fraksi PDIP yang se­belumnya menolak, sudah me­lunak. Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo mengatakan, fraksinya telah mendapatkan instruksi dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk mendorong penundaan pembangunan gedung baru itu.

Minta Diawasi KPK Polri Dan Kejaksaan

Nasir Jamil, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Na­sir Jamil menegaskan, pem­bangunan gedung baru DPR di kawasan Senayan, Jakarta, ti­dak akan dihentikan karena su­dah mendapat persetujuan dari sebagian besar fraksi.

“Hampir semuanya setuju dibangun gedung baru. Tidak ada yang kami tutup-tutupi. Jika khawatir ada penyimpangan, silakan saja lapor kepada pe­ne­gak hukum atau KPK,” kata anggota Fraksi PKS ini.

Menurut Nasir, proses pem­ba­ngunan gedung baru DPR akan berlangsung secara trans­paran dan akuntabel. Ujian ter­sebut akan terlihat pada proses tender yang sudah dimulai sejak Senin lalu. “Masyarakat tidak per­lu khawatir, tidak ada yang akan kami tutup-tutupi, semua­nya terbuka dan informasinya bisa didapat dari media massa,” ujarnya.

Ditanya untuk apa pem­ba­ngu­nan itu, dia menjawab, ge­dung baru itu juga diperlukan un­tuk ruang kerja staf ahli DPR yang terus bertambah. “Ini se­bagai upaya memperbaiki ki­nerja anggota Dewan, selain ma­kin banyaknya staf ahli para anggota DPR yang tidak mem­punyai ruangan,” ucapnya.

Nasir menilai, tujuh LSM yang mencurigai pembangunan gedung DPR itu, terlalu dini mengutarakan opini. “Ba­gai­mana mau korupsi, gedungnya saja belum jadi. Tendernya pun se­dang berjalan. Kalau mau ber­opini, sebaiknya jangan ter­lalu dini dan berpikiran jauh, sebab itu namanya prasangka buruk,” imbuhnya.

Guna meminimalisir terjadi praktik KKN, Nasir mengu­sul­kan supaya pimpinan DPR be­ker­jasama dengan Polri, Kejak­saan Agung dan KPK untuk me­­ngawasi pembangunan ge­dung itu sejak tender dimulai.

“Pertanyaannya, berani tidak pimpinan melakukan itu. Kalau saya mengusulkan demikian. Saya minta proses pem­ba­ngu­nan gedung dipantau dari awal supaya tidak ada rasa curiga,” katanya.

Meski begitu, Nasir tidak mem­permasalahkan sikap tujuh LSM yang khawatir pemban­gu­nan ini dinodai praktik korupsi. “Silakan saja, itu hak mereka. Me­reka punya hak untuk me­ngatakan demikian. Hanya saja, saya berpendapat, terlalu dini untuk mengatakan ada korupsi pada pembangunan Gedung DPR,” katanya.

LSM Mesti Sabar DPR Perlu Ngaca

Soekotjo Soeparto, Pengamat Hukum

Pengamat hukum Soekotjo Soe­parto tidak memper­ma­sa­lah­kan kecurigaan kalangan LSM terhadap pembangunan gedung baru DPR. Soalnya, da­lam negara demokrasi, men­g­u­ta­rakan suatu pendapat meru­pa­kan suatu hal yang lumrah.

Kendati begitu, Soekotjo me­ngingatkan tujuh LSM itu agar tidak terburu-buru menyim­pul­kan ada KKN dalam pem­ba­ngu­nan gedung tersebut. Sebab, proses pembangunannya belum berjalan. “Sebaiknya sabar dulu. Tapi, bukan berarti lepas penga­wasan. Pembangunan itu harus tetap diawasi,” kata bekas ko­mi­sioner Komisi Yudisial (KY) ini.

Sebaliknya, menurut Soe­kot­jo, pimpinan dan seluruh ang­go­ta DPR perlu megambil hik­mah dari peristiwa ini. Sebab, saat kondisi politik yang panas seperti ini, harus hati-hati me­ngambil langkah. “Secara umum, pembangunan gedung baru itu hak mereka. Tapi lihat situasi juga, saat ini situasi politik ma­sih panas dan masyarakat kritis pemikirannya,” ujar dia.

Ketika ditanya, apakah pem­bangunan gedung baru DPR itu pantas dilakukan saat ini, Soe­kotjo merasa tidak pas untuk men­jawabnya. “Yang tahu pan­tas atau tidaknya itu, mereka sen­diri. Kalau kita yang komen­tar, tidak objektif. Sebaiknya anggota Dewan berkaca diri lagi, pantas tidak gedung baru itu dibangun,” sarannya.

Soekotjo menambahkan, jika me­mang pembangunan ge­dung DPR itu benar-benar di­butuh­kan dan akan mema­jukan ki­ner­ja par­lemen, maka hal itu boleh saja. “De­ngan ca­­ta­tan, segala bentuk­nya ha­rus transparan dan tidak di­tutup-tutupi. Saya harap jika me­mang jadi, gedung baru itu di­gu­nakan sebagai salah satu faktor pe­nun­jang memajukan kinerja ang­gota DPR,” ujarnya. [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA