Abdul Kadir Karding: Dulu, Nggak Ada Yang Berani Membahas Karena Sensitif

Minggu, 13 Februari 2011, 00:13 WIB
Abdul Kadir Karding: Dulu, Nggak Ada Yang Berani Membahas Karena Sensitif
Abdul Kadir Karding
RMOL.Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dinilai tidak cukup untuk menjadi landasan hukum kerukunan umat beragama. Makanya, Komisi VIII DPR akan membuat payung hukum.

Ketua Komisi VIII DPR, Abdul Kadir Karding menarget­kan, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kerukunan Umat Beragama rampung tahun ini.

“Kehidupan umat beragama dalam dua tahun terakhir kian mem­prihatinkan, berbagai keke­rasan terjadi. Kejadian ini me­micu kami untuk bekerja keras menyusun RUU itu.Targetnya selesai tahun ini,’’ ujar Karding kepada Rakyat Merdeka di Ge­dung DPR, Jakarta, kemarin.

“Jika RUU ini nantinya di­undangkan, maka akan menjadi landasan hukum yang kuat dan bisa mengakomodasi semua ke­rukunan umat beragama,” tam­bahnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Inisiatif DPR membuat RUU Kerukunan Umat Beragama di­nilai langkah yang tepat, ba­gaimana komentar Anda?

Dulu nggak ada orang yang berani membahas persoalan ini, karena sangat sensitif. Tapi, se­makin takut untuk mem­bahas­nya, persoalan ini akan semakin pan­jang. Kita harus berani mem­ba­hasnya, karena Undang-undang ini sangat penting untuk bangsa ini.

Jika dibandingkan dengan SKB tiga menteri, poin apa yang akan diperbaiki dalam Undang-undang tersebut?

SKB tiga menteri itu memiliki kelemahan untuk mengakomo­dasi kerukunan umat beragama. Contohnya, diktum dua dari SKB tiga menteri menyebutkan, mem­beri peringatan dan memerin­tah­kan bagi seluruh penganut, pengu­rus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang me­nga­nut agama Islam agar meng­hentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Itu salah satu kelemahannya. Sebab, hal tersebut menunjukkan adanya kelemahan pengakuan terhadap agama. Ke depan, kele­mahan itu akan kami antisipasi. Kami menyusun draf RUU ten­tang Kerukunan Umat Beragama dengan sejumlah prinsip.

Apa saja prinsip dasar penyu­sunan Undang-undang terse­but?

Pertama, memberi rasa aman dan perlindungan bagi pemeluk agama, sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kedua, menjamin perlindungan dan ke­bebasan beragama sebagai hak dasar manusia. Ketiga, adanya tanggung jawab negara untuk menjamin setiap pemeluk agama dan kepercayaan.

Selain itu apa lagi?

Undang-undang tersebut juga akan mengatur tentang forum kerukunan umat beragama, pem­bangunan tempat ibadah, penga­wasan aliran-aliran agama dan peran serta masyarakat dalam menjaga kerukunan beragama.

Masalah seputar ketentuan-ketentuan dan sanksi seputar pe­langgaran juga akan diatur dalam Undang-undang tersebut.

Masalah sanksi pidana kan sudah ada peraturannya, ke­napa dibuat lagi aturannya?

Itu kan hanya pasal tentang pe­nistaan agama saja, tidak cukup untuk mengatasai semua persoa­lan ini. Itulah yang membuat permasalah ini kian rumit dari tahun ke tahun. Ada orang yang mengaku Tuhan, mengaku Nabi dan sebagainya, sebab ancaman maksimal terhadap penodaan agama hanya lima tahun.

Apakah tidak berten­tangan dengan Un­dang-undang lain­nya?

Tentu kami akan sangat ber­hati-hati dalam menyusun Undang-undang ini. Malu dong kalau Undang-undang yang kami buat, kemudian diperkarakan di Mahkamah Konstitusi (MK). Ter­lebih, kalau sampai dikalahkan.

Jadi, apa yang akan membe­dakan Undang-undang ini de­ngan perangkat hukum lain­nya?

Intinya, negara harus diberi ins­trumen untuk menjaga kehi­dupan umat beragama. Kita tidak boleh menganut demokrasi bera­liran anarkis yang hanya men­­jadi­kan negara sebagai fasilitator. Negara harus punya peran dalam menga­tur warga­nya, se­hingga hu­kum dan ko­ri­dor­nya jelas. [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA