WAWANCARA

Mudaffar Sjah: Sultan Yang Mau Jadi Gubernur Tetap Melalui Proses Pemilihan

Sabtu, 12 Februari 2011, 05:47 WIB
Mudaffar Sjah: Sultan Yang Mau Jadi Gubernur Tetap Melalui Proses Pemilihan
Mudaffar Sjah
RMOL. Pasalnya, berbagai poin yang disepakati dalam Undang-undang tersebut akan berdampak lang­sung terhadap keraton di seluruh Indonesia.

Begitu disampaikan Ketua FIKK se-Nusantara, Mudaffar Sjah, kepada Rakyat Merdeka, di Gedung DPD, Jakarta, Kamis (10/2).

“Kalau Presiden menetapkan Sultan Yogyakarta sebagai Gu­bernur, bisa dimakzulkan dengan dalih melanggar kons­­titusi,” katanya.

Poin krusial dalam RUUK DIY, yakni tentang kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam, serta pengisian jaba­tan gubernur di Yogyakarta.

Dalam RUUK yang disusun pemerintah, posisi Sultan dan Paku Alam adalah orang nomor satu dan dua di DIY yang disebut dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. Namun, untuk menjalan­kan proses peme­rintah, dipilih gu­ber­nur secara demokratis se­suai atu­ran perun­dang-undangan yakni melalui pemilihan di DPR. Se­­mentara itu, Kesultanan Yog­ya­karta meng­ingin­kan Sul­tan dan Paku Alam otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur.

Mudaffar Sjah selanjutnya me­ngatakan, pemerintah bersikap diskriminatif bila pemerintah me­netapkan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.

“Penetapan tersebut juga ber­tentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,’’ ujarnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Saat ini RUUK DIY sedang di­bahas DPR, bagaimana tangga­pan kesultanan se-Nusantara mengenai hal itu?
Semua sultan di nusantara me­minta pemerintah bersikap adil dalam membahas RUU tersebut. Jangan hanya Yogyakarta saja yang diistimewakan. Semua kesultanan yang ada di Indonesia juga harus diperhatikan, karena kami juga bagian dari budaya dan kearifan lokal negara ini.

Upaya apa yang sudah dila­ku­kan FIKK se-Nusantara agar pemerintah tidak bersikap dis­kriminatif?
Kami sudah beberapa kali rapat dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri Gawawan Fauzi) dan Komisi II DPR. Dalam perte­muan itu, kami menyampaikan berbagai konsep agar semua kesultanan yang ada di Indonesia diperlakukan adil. Kami men­desak pemerintah dan DPR mem­buat Undang-undang yang mengakui eksistensi para sultan dan kesultanannya.

Maunya daerah istimewa, begitu?
Tidak. Kami tidak memikir­kan masalah istimewa atau tidak. Kami hanya ingin ada perhatian yang sama di mata hukum dan pemerintahan. Jadi, saat terjadi pelanggaran terhadap hukum adat, pelanggaran itu juga dapat diselesaikan melalui hukum negara.

Jadi, poin-poin apa saja yang di­inginkan dalam Undang-undang tersebut?
Pertama, kami menginginkan adanya pengakuan secara hukum terhadap seluruh kesultanan di Indonesia. Kedua, kami ingin men­dapat kewenangan untuk mem­bangun daerah masing-ma­sing bersama pemerintah daerah. Ketiga, kami ingin ada alokasi anggaran untuk melaku­kan pe­me­liharaan keraton. Sebab, biaya mengurus keraton itu tidak murah.

Selain itu, Undang-undang ter­sebut juga akan mengatur sejum­lah prinsip, seperti persoalan ba­tas wilayah, pelestarian bu­daya, serta hak-hak dan hukum adat.

Dengan adanya alokasi angga­­ran terhadap kesultanan, bagai­mana membagi kekua­saan an­tara pemerintah pusat, daerah dan kesultanan, apa se­tiap sultan langsung ditetapkan sebagai ke­pala daerah?
Tidak seperti itu. Setelah eksis­tensi kesultanan diakui Undang-undang dan berbagai haknya di­penuhi, para sultan tidak perlu lagi berpolitik. Kesultanan hanya bertugas untuk menjaga budaya dan kearifan lokal di wilayahnya masing-masing.

Jika para sultan ingin merang­kap sebagai pemimpin daerah, mereka harus memperoleh jaba­tan itu melalui mekanisme yang ada dan berlaku, yakni pemili­han. Tidak otomatis ditetapkan, seperti keinginan Kesultanan Yogya­karta.

Kenapa?
Lho, penetapan kan melanggar Undang-Undang Dasar. Konsti­tusi kita mengamanatkan, semua pejabat negara hingga ke kepala daerah harus dipilih. Jadi, kalau Pre­siden menetapkan Sultan Yogya­karta sebagai Gubernur, dia bisa di-impeach (dimakzul­kan), karena melanggar kons­titusi.

Jika anggaran pemeliharan Kesultanan dibebankan ke­pada Pemerintah, Kesultanan akan mengambil anggaran dari pe­me­rintah pusat atau daerah?
Setelah kesultanan nusantara dibuatkan undang-undang, oto­matis anggaran pemeliharaannya dibebankan kepada APBN. Na­mun, jika hal tersebut membe­ratkan negara, anggaran tersebut tidak usah sepenuhnya dibeban­kan kepada negara. Anggaran pe­meliharaan keraton dapat di­ambil dari hasil pengelolaan ke­kayaan daerah, baik yang dilaku­kan pihak swasta maupun pe­merintah daerah.

Kapan RUU tentang keraton itu diajukan ke DPR?
Saat ini kami tengah merumus­kan draf RUU tersebut. Kami menargetkan tahun ini selesai dan dapat diajukan ke DPR. Kalau Pemerintah dan DPR memiliki itikad baik, kami yakin pembua­tan Undang-undang ini bisa cepat dituntaskan.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA