WAWANCARA

Anies Baswedan: Saatnya Negara Gunakan Monopoli Berantas Segala Bentuk Kekerasan

Kamis, 10 Februari 2011, 07:21 WIB
Anies Baswedan: Saatnya Negara Gunakan Monopoli Berantas Segala Bentuk Kekerasan
Anies Baswedan
RMOL. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan mendesak pemerintah untuk bertindak tegas terhadap segala bentuk kekerasan di negeri ini.

”Kekerasan dianggap ke­wa­jar­an bila negara membiarkannya. Saya khawatir pembiaran dan pe­nularan kekerasan itu terus terjadi di republik ini,’’ tegas Anies Bas­wedan kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

 Menurut anggota Gerakan Rak­yat Antimafia (Geram) Hu­kum itu,   negara  mempunyai hak monopoli atas kekerasan. Rakyat me­nuntut negara pakai monopoli itu untuk menegakkan hukum. Bu­kan untuk menonton keke­rasan menjamur.

”Negara harus zero tolerance ter­hadap kekerasan. Negara harus tumpas tuntas kekerasan di In­donesia. Tanpa kompromi, tanpa pandang agamanya, rasnya, dan parpolnya,’’ ujarnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Pemerintah dinilai tidak bisa melindungi warga nega­ra­nya terkait berbagai kerusuhan di negeri ini, komentar Anda?
Kita di ambang ketidakpastian karena negara beberapa kali men­di­amkan kekerasan. Kita marah, dan kecewa. Situasi ini terjadi ka­re­na penegak hukum tidak berdiri te­gak melawan kekerasan. Harus ada perintah tegas, be­rantas tanpa syarat.

Bila negara membiarkan ke­ke­rasan, maka kekerasan akan me­nular. Kekerasan lalu dianggap ke­wajaran. Saya khawatir pem­biar­an dan penularan sedang ter­jadi di republik ini. Jadi, saatnya ne­gara gunakan hak monopoli un­tuk memberantas segala ben­tuk kekerasan.

Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan di negeri ini?
Saya merasa sudah saatnya kita berpikir konstruktif tentang ne­gara ini. Mari kita memikirkan, apa sih yang hendak dicari dari pro­ses politik ini. Tujuannya kan untuk mensejahterakan rakyat. Ka­lau kita lihat apa yang dicita-citakan pendiri republik ini bukan untuk memuaskan pelaku-pelaku dari politik.

Rakyat melihat ini semua pakai hati nurani dan akal sehat. Kita ingin agar rakyat itu bangga me­lihat proses politik kita. Bukan malah rakyat merasa prihatin. Para pe­mim­pin politik atau pemimpin lem­ba­ga tinggi negara untuk saatnya merasakan pentingnya suasana itu dibangun.

Bagaimana membangun se­per­ti yang Anda bilang itu?
Proses politik harus diarahkan untuk membuat rakyat merasa terwakili. Itu yang menurut saya pen­ting. Kalau menganalisa satu kejadian dengan terus-menerus, ber­arti kita hanya numpahin ben­sin ke wilayah yang bisa eksklusif.

Harusnya yang mesti dibangun adalah begitu ada potensi konflik yang tidak produktif, maka semua pihak bersama-sama untuk me­narik dan melerai. Kalau se­ka­rang kok, tidak. Ada potensi be­rantem, semuanya memanas-ma­naskan situasi. Apa yang kita dapat dari ini semua, coba. Nanti ke­tika krisis terjadi, kita menye­sal, tapi itu terlambat.

Sekarang ini ada kesan kebe­bas­an itu sudah terabaikan, me­nurut Anda?
Kebebasan itu ada, untuk ber­tu­kar pandangan. Jangan kemu­dian diarahkan ke pertikaian, dan sama-sama tidak berniat melerai. Indonesia ini punya kebebasan, tetapi sekarang ini setiap kali ada perbedaan, kita malah menambah amunisi. Kalau perdebatan subs­tantif yakni perbedaan pandangan mengenai bagaimana memas­tikan dalam tol itu terbangun se­mua dalam 2014. Nah, perbedaan itu kita debatkan terus malah nya­man. Sebab, arahnya jelas.

Kemudian, ada perbedaan pan­dangan bagaimana kita merasa swasembada, memfasilitasi untuk rakyat miskin. Itu kan jelas dan kalau diperdebatkan malah oke. Ta­pi, yang kita perdebatkan ada­lah sebaliknya yang bisa mem­buat bangsa ini menjadi hancur. Melihat hal ini saya prihatin. Su­dah saatnya menarik sedikit dari per­seteruan-perseteruan itu. Apa­kah ini yang diinginkan rakyat.

Sejumlah peristiwa di negeri ini bisa mengancam keber­sa­ma­an kita sebagai bangsa, menurut Anda bagaimana solusinya?
Dimana-mana itu ada keter­kaitan satu peristiwa dengan pe­ristiwa lain. Tapi yang diperlukan se­karang ini adalah kedewasaan untuk menguraikan keterkaitan itu. Jadi, bukan justru menambah ke­terkaitannya.Tapi diuraikan agar dipisahkan perkara hukum de­ngan perkara politik, dan per­kara ekonomi. Sekarang ini me­nu­rut saya, semuanya mau jadi­kan satu.

Jadi, bagaimana politik ber­him­pit dengan hukum, dan eko­nomi.  Maka kita harus selesaikan satu per satu. Terutama hukum, itu dipisah betul dari ekonomi dan po­litik. Karena itu saya berkali-kali mengatakan, Kembalikan De­wi Keadilan di Indonesa. Se­hingga penegakan hukum tidak tutup mata.

O ya, apakah Anda berminat terjun ke politik?
Nggak. Soalnya, sudah tidak ada lagi sebuah interaksi yang di mata rakyat memberi manfaat.  [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA