WAWANCARA

Ito Sumardi: Bukannya Kami Membiarkan Tapi Pasukannya Terbatas

Selasa, 08 Februari 2011, 07:49 WIB
Ito Sumardi: Bukannya Kami Membiarkan Tapi Pasukannya Terbatas
Ito Sumardi
RMOL. Kabareskrim Mabes Polri Ito Sumardi mengatakan, pihaknya serius mengusut tuntas tragedi berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu (6/2).

“Kami sudah kirim orang ke­sana, bahkan dipimpin Waka­polri. Dari Propam ikut, lengkap itu, Irwasum (Nanan Soekarna) juga di sana. Jadi kami serius menangani kasus ini,” tegas Ito Sumardi kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Sebelumnya, sekitar seribu warga Desa Umbulan, Kecama­tan Cikeusik, Kabupaten Pande­glang, Provinsi Banten, menye­rang Jamaah Ahmadiyah pada Minggu pagi sekitar pukul 10.30 WIB. Bentrokan ini menyebab­kan tiga orang anggota Jamaah Ahmadiyah meninggal dunia.

“Bagi Polri SKB itu adalah aturan yang harus dipatuhi, tetapi bukan berarti dengan aturan itu orang bisa membunuh, boleh membakar, merusak. Nggak ada di dalam SKB seperti itu. Kalau ada orang yang melakukan, berarti telah berbuat pidana dan bagi Polri kita akan bertindak tegas, siapapun juga,” tegas Ito.

Berikut kutipan selengkapnya:

Ada anggapan bahwa kepoli­sian lambat mencegah insiden ini, komentar Anda?
Ya, pendapat orang kan boleh saja.  Anggota kita kan sudah ke­sana, sudah mengamankan orang yang punya rumah.

Tapi ada orang dari Jakarta, itulah asal muasal tersulutnya kon­flik tersebut, sehingga me­nyebabkan korban jiwa.

Padahal tadinya kan dijaga anggota Polri, tentunya dengan kekuatan terbatas. Tapi tiba-tiba dengan hitungan detik berkem­bang jadi panas, sedangkan pengiriman pasukan memerlukan waktu sekitar 5 jam.

Barangkali intelijen Polri lengah sehingga informasi yang masuk tidak bisa segera dice­gah?
Nggak sama sekali. Kita sudah lama mendeteksi. Tapi kan nama­nya tiba-tiba berkembang karena tersulut emosi. Kita kan tidak bisa menyelidiki dalam hati orang. Sementara laporan inte­lijen itu kan berdasarkan fenomena-fe­nomena.

 Dari fenomena-fenomena itu dibuatkan analisis intelijen, sehingga diamankanlah Ismail Suparman dan Si Atep. Untuk menjaga tempatnya, dikasilah anggota di sana.

Lalu kenapa sampai ada pem­­bunuhan?
 Pada saat kedatangan yang mengaku Ahmadiyah dari Ja­karta, itulah yang mungkin me­nyulut terjadinya konflik. Tapi kekuatan Polri saat itu sangat tidak menguntungkan dan tidak mampu. Tapi bukannya kami membiarkan. Sama sekali tidak, tapi karena tidak mampu, pasu­kannya terbatas.

 Jadi bedakan antara tidak mau dan tidak mampu. Kalau misal­nya hanya 10 orang polisi, ke­napa kok alasannya tidak dian­tisipasi? Nah begitu diambil sudah selesai kok. Tapi begitu datang lagi orang dari Jakarta, barulah berkembang menjadi besar. Jadi istilahnya itu bukan kita membiarkan sama sekali. Ikuti saja kronologinya. Kalau akhirnya kita tidak mampu karena memang tiba-tiba situasi berkembang begitu cepat, se­hingga menyebabkan seperti itu.

Jadi tidak benar ada pem­bia­ran?
Kalau itu silakan saja dinilai, kita kan ikuti prosesnya. Sampai orang itu diambil, apa pembiaran. Itu kan proses yang telah dilaku­kan Polri. Masyarakat di situ kan sama-sama orang Cikeusik, sama-sama bangsa Indonesia, tapi manakala sudah ada orang luar masuk meski berasal dari kelompoknya, itulah yang mem­buat keruh, sehingga berkembang menjadi konflik.

Apa ada batas waktu untuk tun­taskan masalah ini?
Ini yang keliru. Memangnya 1+1 = 2. Dalam perkara itu kan ada namanya perkara yang mu­dah dan sulit.

 Nah perkara yang menyangkut masalah ini kan juga harus me­nunggu situasi dan kondisi menjadi kondusif. Jadi, kita tidak semata-mata menegakkan hu­kum, tapi juga melindungi yang lain, ataupun harus melihat per­kembangan situasi di lapangan, namun tetap kita lakukan secara profesional dan optimal.

SKB jadi dalil pembenaran la­kukan penyerangan pada Ah­madiyah?
Kalau itu saya tidak bisa berko­mentar. Masih memungkinkan menafsirkan SKB itu, ya silakan saja menafsirkan. Tapi bagi Polri, SKB itu adalah aturan yang harus dipatuhi tetapi bukan berarti dengan aturan itu orang bisa membunuh, boleh membakar, dan merusak.

Apa yang hendak dilakukan agar tidak terulang insiden se­perti ini?
Jangan dilihat dari Polri saja. Yang lebih utama adalah bagai­mana tindakan preventif. Karena ini adalah masalah agama, ini menjadi domain daripada kemen­terian lain, terkait Menkokesra, Menag, Mendagri, tokoh-tokoh agama, MUI (Majelis Ulama Indonesia), Forum Lintas Agama, nah itulah yang harus duduk bersama-sama.

Polri itu kan sebatas men­du­kung, supaya ini tidak terjadi lagi. Kemudian kami lakukan pene­gakan hukum.    [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA