Berdasarkan data dari Kejaksaan Agung, Sebelas buronan itu adaÂlah Andrian Kiki Ariawan, Eko Edi Putranto, Hary Matalata, Hendro Bambang Sumantri, HesÂham Al Waraq, Rafat Ali Rizvi, Lesmana Basuki, Samadikun HarÂtono, Sherny Kojongian, SudÂjiono Timan dan Tony Suherman.
Yang pertama ialah Andrian Kiki Ariawan. Pria kelahiran Jakarta, 28 April 1944 ini menÂjabat sebagai Direktur Utama PT Bank Surya. Menurut data KeÂjaksaan Agung, Andrian merugiÂkan keuangan negara dengan cara memberikan persetujuan kredit kepada 166 perusahaan yang dibentuk atau di bawah kendali Bambang Sutrisno yang tidak melakukan kegiatan operasional/paper company senilai Rp 1,030 miliar pada 1989-1998.
Diduga, Andrian telah meÂrugiÂÂkan negara sebanyak Rp. 1.963.897.431.978,17 (satu triÂÂliÂun, sembilan ratus enam puluh tiga miliar, delapan ratus sembilan puluh tujuh juta, empat ratus tiga puluh satu ribu, sembilan ratus tujuh puluh delapan rupiah, tujuh belas sen). Posisi terakhir menurut Korps Adhyaksa, Andrian telah diÂtangÂkap kepolisian Australia, namun dia belum dibawa puÂlang ke Indonesia.
Kemudian, Eko Edi Putranto. Dia dilahirkan di Jakarta pada 9 Maret 1967. Eko merupakan beÂkas Komisaris PT BHS. Menurut data Kejagung, Eko bersama kawan-kawannya memberikan persetujuan untuk memberikan kredit kepada 28 lembaga pemÂbiÂayaan yang ternyata merupakan rekayasa, karena kredit itu oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan group dengan cara dialihkan atau disalurkan dengan menerbitkan giro kepada perusahaan group.
Tanpa melalui proses adminiÂstraÂsi kredit dan tidak dibukukan, selanjutnya beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada PT BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan group. Korps Adhyaksa menaksir kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 1.950.995.354.200 (satu triÂliun, sembilan ratus lima puluh miliar, sembilan ratus sembilan puluh lima juta, tiga ratus lima puÂluh empat ribu, dua ratus rupiah). Info yang didapat KeÂjagung, Eko saat ini berada di Australia Barat dan Sudah diÂkirim formal requestnya berÂsama terpidana Adrian Kiki Ariawan.
Yang ketiga, Hary Matalata. Dia merupakan Direktur PD Pooja dan PT Devi Pooja Kumari. Hary dinilai Kejagung meÂlawan hukum lantaran mengÂajukan dan menerima SE atas hasil ekspor tekÂstil atau produk tekstil ke Singapura, sehingga negara dirugikan sebesar Rp 1.655.836.251,37 (satu miliar, enam ratus lima puluh lima juta, delapan ratus tiga puluh enam ribu, dua ratus lima puluh satu rupiah tiga puluh tujuh sen). Saat ini posisinya masih belum diketahui keberadaannya.
Buronan selanjutnya ialah Hendro Bambang Sumantri. Hendro merupakan pria kelahiran 31 Januari 1929. Dia adalah pensiunan Departemen PerdaÂgangÂan. Menurut Kejagung, Hendro telah melakukan kesalaÂhan dalam penyalahgunaan laÂboratorium Pusat Pengendalian Mutu Barang Departemen PerÂdagangan Ri (PPMB) mengÂakibatkan kerugian negara sebeÂsar Rp 130.985.390,47 (seratus tiga puluh juta, sembilan ratus delapan puluh lima ribu, tiga ratus sembilan puluh rupian, empat puluh tujuh sen). Saat ini posisi keberadaan Hendro pun belum diketahui secara pasti.
Selanjutnya ialah duet Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi. Mereka telah merugikan keuangÂan negara karena terlibat kasus koÂrupsi Bank Century yang memÂbobol uang negara Rp 3,1 triliun.
Ketujuh ialah Lesmana Basuki. Lesmana merupakan Presiden Direktur PT Sejahtera Bank Umum. Menurut Kejagung, pria kelahiran 13 Januari 1923 itu antara Mei 1994 sampai Februari 1998 bertempat di kantor PT Sejahtera Bank Umum, Jalan Wahid Hasyim Nomor 65 Jakarta Pusat, telah menjual surat-surat berharga berupa Commercial Paper (CP) dan atau Medium Term Note (MTN) atas tangÂgungan PT Hutama Karya.
Dana hasil penjualan CP dan MTN yang di arrenger oleh PT SBU dimasukkan ke rekening konsorsium Hutama Yala Nomor 08-11666-45 di PT SBU cabang HaÂyam Wuruk. Seharusnya, diÂmasukkan ke rekening PT HuÂtama Karya. Hasil penjualan yang terdapat pada rekening itu juga digunakan untuk pelunasan CP/MTN yang jatuh tempo, yang seharusnya pelunasan itu dari uang yang disetorkan PT Hutama karya, dan sebagian lagi digunaÂkan untuk kepentingan diri senÂdiri, orang lain atau suatu badan.
Kerugian negaranya mencapai Rp 209.350.000.000.
Buronan Kasus BLBI Juga Belum DitangkapBuronan Kejagung selanjutÂnya adalah SamaÂdikun Hartono. Dia adalah bekas KomiÂsaris UtaÂma PT Bank MoÂdern. Menurut data dari KeÂjaguÂng, PT. Bank Modern, sebagai bank umum swasta nasional yang mengalami saldo debet karena terjadinya rush, dimana untuk menutup saldo debet tersebut PT Bank Modern, telah menerima bantuan likuidasi dari Bank InÂdonesia dalam bentuk Surat BerÂharga Pasar Uang Khusus (SBÂPUK), Fasdis dan Dana Talangan Valas sebesar Rp 2.557.694.000.000 (dua triliun, lima ratus lima puluh tujuh miliar, enam ratus sembilan puluh empat juta rupiah).
Bahwa dari jumlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam bentuk SBPUK, Fasdis dan dana talangan valas sebesar Rp 2,5 triliuan tersebut, Samadikun dalam kapasitasnya selaku Presiden Komisaris PT Bank Modern, telah menggunaÂkan bantuan likuiditas dari Bank Indonesia tersebut meÂnyimpang dari tujuan yang secara keseluÂruhan berjumlah Rp 80.742.270.528,81 (delapan puluh miliar, tujuh ratus empat puluh dua juta, dua ratus tujuh puluh ribu, lima ratus dua puluh delapan rupiah, delapan puluh satu sen). Info yang didapat Korps Adhyaksa, Samadikun saat ini tinggal di apartemen Beverly Hills Singapura dan punya pabrik film di China dan Vietnam.
Di posisi kesembilan ada sosok perempuan bernama Sherny Kojongian. Sherny merupakan bekas Direktur Internasional dan Direktur Kredit PT BHS. Wanita kelahiran Manado, 8 Februari 1963 ini dinilai Kejagung berÂsalah karena BI telah mengeluarÂkan surat yang ditujukan kepada Direksi PT BHS tanggal 18 September 1997 dan yang pada pokoknya berisi agar Direksi PT BHS menghentikan penyaluran kredit kepada Direktur terkait.
Namun larangan tersebut tidak ditaati oleh Sherny yang telah memberikan persetujuan penariÂkan dana oleh pihak terkait dan penarikan dana Valas pihak terkait. Sehingga, muncul kerugiÂan negara sebesar Rp. 1.950.995.354.200 (satu triliun, sembilan ratus lima puluh miliar, sembilan ratus sembilan puluh lima juta, tiga ratus lima puluh empat ribu, dua ratus rupiah).
Selanjutnya, ada Sudjiono Timan. Sudjiono merupakan seorang konsultan dan bekas Direktur Utama PT Bahana PemÂbinaan Usaha.
Berdasarkan data Kejagung, Sudjiono Timan sebaÂgai Dirut PT Bahana PemÂbinaan Usaha IndoÂnesia (BPUI) pada tahun 1995 - 1997 telah menyaÂlahÂÂgunakan keweÂnangÂan dengan cara memÂberikan pinjaman kepada Festival company Inc sebesar 67 juta dolar AS, Penta Invesmen Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL US 34.629.Â701,65 dolar AS dan dana PinjaÂman Pemerintah (RDI) sebesar Rp 98.703.388.000 (sembilan puluh delapan miliar, tujuh ratus tiga juta, tiga ratus delapan puluh delapan ribu rupiah). Akibat kelakuannya, negara dirugikan Rp 98 miliar. Saat ini Sudjiono dikabarkan tengah berada di Ardmare Park Singapura.
Terakhir, atau yang kesebelas terdapat nama Tony Suherman. Tony merupakan Direktur OpeÂrasional PT Sejahtera Bank Umum (PT SBU). Kejagung menilai, Tony sebagai Direktur Operasional PT SBU pada waktu antara bulan Mei 1994 - Februari 1998 bertempat di kantor PT Sejahtera Bank Umum, Jalan Wahid Hasyim Nomor 65 Jakarta Pusat telah menjual surat-surat berharga berupa Commercial Paper (CP) dan atau Medium Term Note (MTN) atas tanggungÂan PT Hutama Karya.
Dana hasil penjualan CP dan MTN yang di arrenger oleh PT SBU dimasukkan ke rekening konsorsium Hutama Yala Nomor 08-11666-45 di PT SBU cabang Hayam Wuruk yang seharusnya dimasukkan ke rekening PT Hutama karya dan hasil penjualan yang terdapat pada rekening tersebut digunakan untuk pelunaÂsan CP dan MTN yang jatuh tempo, yang seharusnya pelunaÂsan tersebut dari uang yang diÂsetorkan PT Hutama Karya dan sebagian lagi digunakan untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau suatu badan. BerdasarÂkan data Kejagung, untuk kasus ini negara telah dirugikan Rp 209.350.000.000 (dua ratus semÂbilan miliar, tiga ratus lima puluh juta rupiah) dan 105.000.000 dolar AS.
Kok, Tim Pemburu Tak Ada HasilnyaDasrul Djabar, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR, Dasrul Djabar meminta Jaksa Agung Basrief Arief memprioritaskan pengejaran para buronan yang kabur membawa uang negara, selain mengembalikan uang negara tersebut ke kas negara.
“Yang pasti Pak Basrief Arief perlu wujudkan keseriusan unÂtuk membawa pulang para buÂronÂan itu, selain mengÂemÂbaliÂkan uang negara dalam kasus-kasus itu,†katanya ketika dihubungi, kemarin.
Menurut Dasrul, nasib 11 buÂronan tersebut semakin menjadi tak jelas meskipun Korps Adhyaksa sudah memÂbentuk tim pemburu para buronan. Bahkan, dia menilai, pembentuÂkan tim itu hanya sebagai propaganda untuk mengelabui masyarakat.
“BukÂtiÂnya mana, tim diÂbentuk kok tak berhasil menaÂngkap para buronan kelas kakap tersebut. Padahal, salah satunya ialah buronan mega skandal Bank Century,†tegasÂnya.
Politisi Demokrat ini menyaÂranÂkan, bila Kejagung berniat untuk menyeret para obligor yang merugikan negara, seÂbaikÂnya dipersiapkan perangÂkat hukum, dan langkah politik yang maksimal, termasuk koorÂdinasi dengan semua piÂhak terkait. “Pastikan daftar penÂcaÂriÂan orangnya. KemuÂdian lakuÂkan pengejaran ke tempat buroÂnan itu bersemÂbunyi atau huÂbungi pihak interpol,†ujarnya.
Korps Adhyaksa diingatkan oleh Dasrul jangan mengumbar pernyataan yang masih klise alias tidak jelas dengan mengÂatakan membentuk tim pemÂburu dan akan membawa pulaÂng para buronan tersebut.
“HaÂnya dengan membuktiÂkan ucaÂpanÂnya Kejagung bisa memÂperbaiki citra, jangan umbar janji terus yang bertujuÂan meninabobokan masyaraÂkat,†imbuhnya.
Alhasil, Dasrul menilai lemÂbaga yang dikomandoi oleh Basrief Arief itu masih lemah. Pasalnya, sampai saat ini Korps Adhyaksa itu belum bisa membuat gebrakan baru pasca lengsernya Hendarman SupanÂdji.
“Harus buat gebrakan yang baru agar tak dikatakan lemah, minimal kejar asetnya jika tidak mampu untuk menangÂkap oraÂngnya, sehingga negaÂra tidak rugi dua kali lipat,†tandasnya.
Dasrul yakin Korps AdhyakÂsa mampu mengembalikan aset para buroÂnan itu asalkan diÂsertai dengan keseriusan dan praktik nyata.
“Hanya dengan cara itu meÂnangÂkap koruptor tidak akan memakan waktu hingga berÂtahun-tahun seperti ini. Sampai-samÂpai sudah ganti Jaksa AguÂng pun belum bisa menangkap pula,†ujarnya.
[RM]
BERITA TERKAIT: