Dalam perspektif teoritis, perubahan ini merefleksikan pertarungan klasik dari dua model proses pidana yang digagas Herbert L. Packer (1968), yakni
Crime Control Model yang mengutamakan efisiensi penumpasan kejahatan, dan Due Process Model yang menekankan perlindungan hak asasi individu.
Keberadaan KUHAP Baru mengklaim mengawinkan keduanya melalui hibridisasi sistem yang lebih modern. Dibalik janji manis efisiensi prosedural, tersimpan residu masalah yang perlu dikelola dengan hati-hati. Tersebab masih adanya ruang yang berpotensi mencederai rasa keadilan substantif masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2009).
Pedang Bermata Dua: Pragmatisme vs Keadilan Substantif
Perihal yang paling krusial serta perlu dilakukan pembedahan mendalam mengenai pelembagaan
Restorative Justice (keadilan restoratif) dan
Plea Bargaining (pengakuan bersalah). Secara sosiologis, kedua hal tersebut adalah respons terhadap kegagalan sistem pemidanaan penjara (
overcrowding) dan lambatnya proses peradilan.
Sementara itu, penerapan Keadilan Restoratif (Pasal 79-88) membawa potensi risiko "komodifikasi hukum". Sebagaimana dianalisis Septa Chandra (2023), bila politik hukum
restorative justice seharusnya bertujuan memulihkan keseimbangan sosial, bukan sekadar mekanisme penghentian perkara.
Dengan demikian, syarat "pemulihan keadaan semula" yang termuat dalam Pasal 79 KUHAP Baru, dan sering diterjemahkan sebagai ganti rugi materiil, berpotensi menciptakan bias kelas. Pelaku yang memiliki kekuatan ekonomi dapat "membeli" impunitas, sementara pelaku miskin meskipun korban boleh jadi telah memaafkan, berpotensi tetap akan diproses karena ketidakmampuan membayar restitusi.
Situasi seperti ini mengonfirmasi simpulan Nabila Ihza (2025) bila tanpa integrasi yang berhati-hati, RJ dapat menjadi alat transaksional yang melegalkan ketimpangan.
Kondisi yang sama bukan tidak mungkin terjadi pada adopsi Plea Bargaining (Pasal 78). Dimana, mekanisme ini berakar pada teori Utilitarianisme Jeremy Bentham, yang mengejar kemanfaatan dan efisiensi biaya.
Berdasarkan temuan, Arky et al. (2024) tercatat bahwa politik hukum
plea bargaining memang ditujukan untuk mengatasi penumpukan perkara. Proses adopsi dan transplantasi konsep
Common Law tersebut ke Indonesia dapat berpotensi menyisakan bahaya
innocent defendant's dilemma.
Di mana dalam struktur bantuan hukum yang belum merata, tersangka dari kalangan marginal rentan ditekan untuk mengaku bersalah, demi menghindari proses hukum yang berbelit dan ancaman pidana maksimal.
Sehingga, jika fenomena tersebut terjadi, seolah kita tengah menukar kebenaran materiil yang menjadi jiwa sistem
Civil Law, dengan efisiensi administratif semata (Lukman Hakim, 2023).
Celah Intrusi Privasi dan Kontrol YudisialPerlu pencermatan yang mendalam pada aspek lain yang mengkhawatirkan, terkait kewenangan upaya paksa, seperti penyadapan dan pemblokiran aset dalam "keadaan mendesak" tanpa izin hakim terlebih dahulu. Pada teori hukum acara pidana, setiap upaya paksa (coercive force) harus tunduk pada
judicial scrutiny atau kontrol hakim untuk mencegah kesewenang-wenangan (Fachrizal Afandi, 2016).
Sehingga bila diberikan diskresi terlalu luas kepada penyidik tanpa pengawasan ketat, terdapat celah potensi pelanggaran prinsip
due process of law. Selaras dengan sejarah yang mengajarkan bahwa dalam relasi kuasa timpang antara negara dan warga negara, diskresi sering menjadi pintu masuk
abuse of power. Diperlukan pengawasan horizontal antar-lembaga penegak hukum secara mutlak, bukan sekadar formalitas administrasi.
Kultur Budaya Hukum BaruPada akhirnya, keberhasilan implementasi dan eksistensi regulasi UU No. 20/ 2025 tidak hanya bergantung pada teks undang-undang (
law in books), tetapi juga pada ranah budaya hukum (
legal culture) dari aparat penegak hukumnya.
Sebagaimana meminjam teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, substansi hukum yang baik tanpa didukung struktur dan budaya hukum yang profesional hanya akan menjadi macan kertas.
Sehingga, masa transisi menuju 2026 adalah periode kritis. Tantangan terbesarnya adalah memastikan bahwa jalan efisiensi melalui
restorative justice dan
plea bargaining tidak menjadi hak eksklusif dari gerbang yang hanya bisa diakses oleh kaum elite. Publik harus mengawasi wajah baru peradilan agar humanis dan berkeadilan, bukan sekadar cepat dan transaksional.
Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung
BERITA TERKAIT: