LCT Cita XX dan Absennya Negara di Laut

Senin, 29 Desember 2025, 22:11 WIB
LCT Cita XX dan Absennya Negara di Laut
Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi SAKTI)
Refleksi Akhir Tahun: 
MENJELANG akhir tahun, publik lazim disuguhi laporan kinerja dan klaim keberhasilan pemerintah. Namun bagi keluarga 12 awak kapal dan penumpang LCT Cita XX yang hilang sejak 17 Juli 2024 di perairan Papua, akhir tahun ini justru menjadi penanda panjangnya penantian tanpa kepastian. Hampir satu setengah tahun berlalu, negara belum juga menghadirkan kejelasan atas nasib mereka.

Hingga hari ini, tidak ada langkah konkret dari pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, untuk memberikan klarifikasi resmi mengenai: (1) Status 12 awak kapal yang hilang, (2) Hasil investigasi kecelakaan kapal, dan (3) Pemenuhan hak-hak ketenagakerjaan awak kapal dan keluarga yang ditinggalkan.

Negara Hadir Sebelum Berlayar, Lalu Menghilang

Dalam praktik pelayaran, negara hadir sangat tegas pada aspek administratif: sertifikasi kapal, dokumen pelaut, izin berlayar, dan pemeriksaan keselamatan. Namun ketika tragedi terjadi, kehadiran negara seolah menguap.

Kasus LCT Cita XX memperlihatkan paradoks ini secara telanjang. Kapal boleh berlayar, awak kapal bekerja, muatan bergerak, tetapi ketika 12 nyawa hilang di laut, tidak ada kepastian hukum, tidak ada tanggung jawab negara, dan tidak ada penjelasan kepada keluarga korban.

Kegagalan Klarifikasi = Pembiaran Sistemik

Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI) bersama tim advokasi dan kuasa hukum telah membawa kasus ini ke berbagai institusi negara: DPR RI, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Mabes Polri, dan Komnas HAM. Namun hingga kini, tidak satu pun menghasilkan langkah nyata yang menyentuh substansi persoalan.

Ketiadaan klarifikasi dari Direktorat Perhubungan Laut bukan sekadar kelalaian administratif. Ia telah berubah menjadi pembiaran sistemik, yang berdampak langsung pada: ((1) Hilangnya hak awak kapal atas kepastian status hukum (hilang, meninggal, atau status lain), (2) Terhambatnya pencairan hak ketenagakerjaan, termasuk upah, santunan kematian, dan jaminan sosial, dan (3) Beban psikologis dan ekonomi keluarga korban yang dibiarkan berjuang sendiri.

Hak Ketenagakerjaan yang Dibiarkan Menggantung

Sebagai pekerja, awak kapal LCT Cita XX memiliki hak ketenagakerjaan yang seharusnya dilindungi negara, termasuk: hak atas upah yang belum dibayarkan, hak atas santunan kematian atau kehilangan, serta hak keluarga atas jaminan sosial dan asuransi.

Namun tanpa penetapan status resmi oleh negara, seluruh hak tersebut menggantung di ruang hampa hukum. Negara, melalui sikap diamnya, telah menutup jalan keadilan bagi keluarga korban.

MLC 2006 Tinggal Dokumen, Bukan Perlindungan Nyata

Indonesia telah meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006 melalui UU No. 15 Tahun 2016. Konvensi ini menegaskan kewajiban negara untuk memastikan perlindungan pelaut, termasuk dalam situasi kecelakaan, kehilangan, dan kematian.

Namun dalam kasus LCT CITA XX, MLC 2006 gagal diwujudkan dalam tindakan nyata. Tanpa investigasi terbuka, tanpa penetapan status awak kapal, dan tanpa pemenuhan hak ketenagakerjaan, ratifikasi konvensi internasional hanya menjadi legitimasi simbolik tanpa makna perlindungan.

Refleksi Akhir Tahun: Untuk Siapa Negara Bekerja?

Kasus LCT CITA XX menjadi cermin pahit di akhir tahun ini. Ia mempertanyakan ulang prioritas negara dalam sektor pelayaran: apakah keselamatan dan kesejahteraan awak kapal benar-benar menjadi tujuan, atau sekadar jargon dalam regulasi?

Bagi DPP SAKTI, kegagalan negara dalam kasus ini bukan persoalan teknis semata, melainkan krisis tanggung jawab dan kemanusiaan.

Penutup: Negara Tidak Boleh Terus Diam

Menutup tahun ini, DPP SAKTI menegaskan bahwa negara wajib segera menetapkan status hukum 12 awak kapal LCT Cita XX, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut harus membuka hasil penyelidikan secara transparan, serta hak-hak ketenagakerjaan awak kapal dan keluarga korban harus dipenuhi tanpa syarat.

Diamnya negara adalah luka yang terus diperpanjang. Dan selama negara memilih diam, 12 anak bangsa akan terus hilang – bukan hanya di laut, tetapi juga dalam ingatan dan tanggung jawab negara. rmol news logo article

Syofyan el Comandante
Ketua Umum DPP SAKTI


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA