Di masa lampau, agama Kristen telah menjadi tulang punggung identitas masyarakat Eropa dan menjadi jangkar semua sendi kehidupan.
Dalam bidang politik, gereja memberikan legitimasi moral dan politik kepada entitas atau individu politik.
Gereja mempengaruhi pembentukan kebijakan publik melalui partisipasi aktif umat Kristen yang masih terjadi hingga hari ini. Tentu saja besar pengaruh gereja berbeda dari satu negara ke negara lainnya.
Di negara-negara Eropa Timur seperti Rusia, Kristen Ortodoks masih sangat kental mempengaruhi kehidupan politik.
Presiden Putin kerap terlihat bersama Patriark, yang secara politik bisa ditafsirkan sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi agama dalam kepemimpinannya.
Namun di negara seperti Belanda yang sudah sangat sekuler, kejadiannya sangat berbeda. Di negara kincir angin ini, di mana jumlah penduduk yang telah menjadi ateis terus meningkat, dan gereja-gereja banyak yang kosong karena ditinggalkan jemaat, agama Kristen secara substansial tidak lagi memiliki peran seperti di masa lampau.
Perayaan Natal di Belanda hanya formalitas belaka yang sudah menjadi budaya -- yang kehilangan makna religiusnya.
Agama Katolik terlihat masih ingin terlibat dalam urusan-urusan global dengan terlibat secara moral.
Dalam pelantikannya pada Mei 2025, Paus Leo XIV menyerukan persatuan dunia dan perdamaian di tengah konflik global seperti di Ukraina dan Timur Tengah. Paus Leo XIV hanya meneruskan tradisi para pendahulunya di Vatikan.
Dalam bidang sosial, gereja tetap memiliki peran besar. Gereja menjadi sumber utama layanan sosial seperti penyediaan pendidikan, perawatan medis, dan bantuan bagi masyarakat marjinal.
Gereja berperan dalam melindungi jemaat dan menjadi institusi yang tetap memperjuangkan keadilan sosial dan hak asasi manusia. Nilai-nilai Kristiani seperti kasih dan perdamaian menjadi landasan etika yang mengakar.
Dalam bidang ekonomi, secara historis ordo-ordo Kristen berperan dalam merasionalisasi kehidupan ekonomi yang menjadi cikal bakal sistem kapitalisme.
Dalam bukunya
The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1930), Max Weber berpendapat bahwa nilai-nilai Kristen, khususnya aliran Kalvinisme, berperan besar dalam memunculkan kapitalisme modern.
Bagi Weber, ajaran Protestan melahirkan jiwa dan etos kerja keras tanpa henti, hidup hemat (asketisme), dan kesalehan dalam menjalankan tugas (profesi).
Hal-hal ini mendorong berkembangnya "semangat kapitalisme" modern. Weber berpendapat bahwa Protestanisme membentuk motivasi individu untuk mengejar keuntungan.
Bukan untuk kesenangan, tetapi karena panggilan Tuhan. Nilai-nilai inilah yang kemudian membentuk sistem kapitalisme.
Kini gereja-gereja aktif dalam pemberdayaan ekonomi. Gereja terlibat dalam pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan dalam menghadapi tentangan ekonomi jemaatnya.
Dalam bidang budaya, Eropa secara historis dianggap sebagai tempat lahirnya peradaban Kristen yang membentuk identitas budaya Eropa. Kekristenan menjadi inspirasi utama bagi perkembangan seni, arsitektur, musik, dan filsafat Barat selama berabad-abad.
Meskipun terjadi sekularisasi di beberapa wilayah, banyak warga Eropa tetap mempraktikkan tradisi Kristen sebagai nilai budaya dan identitas, meskipun tidak aktif dalam ibadah rutin.
Ada fenomena menarik terjadi akhir-akhir ini. Muncul kebangkitan spiritualitas di beberapa wilayah Eropa.
Di Irlandia dan beberapa bagian Eropa Barat, muncul fenomena "reevangelisasi" di mana anak-anak muda kembali mencari akar spiritual mereka melalui identitas Kristen yang disesuaikan dengan dunia modern.
Mari kita sejenak melakukan perjalanan historis mengingat betapa Kekristenan menjadi faktor dominan yang membentuk Eropa di masa lampau. Pada Abad Pertengahan -- sekitar tahun 476 hingga 1500 M -- agama Kristen, yaitu Kristen Katolik, merupakan kekuatan paling dominan yang mengatur hampir seluruh aspek kehidupan di benua Eropa.
Gereja tidak hanya berfungsi sebagai lembaga spiritual, tetapi juga sebagai otoritas politik, ekonomi, dan intelektual utama yang menyatukan benua tersebut setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat.
Gereja memegang kendali atas legitimasi moral dan politik para penguasa. Raja-raja sering mencari restu dari Paus untuk mengukuhkan kekuasaan mereka.
Gereja memiliki sistem hukum sendiri yang mengatur pernikahan, warisan, dan perilaku moral.
Pengadilan gereja memiliki wewenang yang setara atau bahkan lebih tinggi daripada pengadilan sipil (negara) dalam hal-hal tertentu.
Paus bertindak sebagai sosok pemimpin tertinggi Eropa yang setara dengan Kaisar. Dia menengahi perselisihan antarkerajaan atau bahkan menjatuhkan sanksi ekskomunikasi kepada raja yang membangkang.
Biara-biara menjadi pusat pelestarian ilmu pengetahuan. Para biarawan menyalin manuskrip-manuskrip penting dari tradisi Yunani-Romawi yang membantu menjaga kelangsungan budaya Barat. Institusi pendidikan tinggi tertua di Eropa, seperti Universitas Bologna dan Oxford, didirikan di bawah naungan gereja untuk melatih para penyebar agama Kristen sebelum akhirnya berkembang menjadi pusat sains modern.
Gereja merupakan pemilik tanah terbesar di Eropa Abad Pertengahan melalui sumbangan dari para bangsawan dan sistem feodal.
Setiap penduduk wajib memberikan sepuluh persen dari pendapatan atau hasil panen mereka kepada gereja, menjadikannya institusi terkaya yang mampu membangun katedral megah dan membiayai layanan sosial.
Gereja menyediakan jaring pengaman sosial bagi orang miskin, janda, dan yatim piatu melalui sedekah serta rumah sakit yang dikelola oleh ordo-ordo keagamaan.
Seluruh ritme kehidupan masyarakat, mulai dari jam harian hingga hari libur tahunan, ditentukan oleh kalender liturgi dan dentang lonceng gereja.
Kisah yang tidak boleh dilupakan dalam dunia keilmuan adalah mengenai nasib tragis Galileo Galilei yang mempunyai pendapat berbeda dengan gereja.
Galileo mendukung teori Nikolaus Kopernikus bahwa bumi berputar mengelilingi matahari (heliosentris). Hal ini dianggap bertentangan dengan penafsiran Bible pada abad ke-17 yang meyakini bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris).
Akibat bukunya mengenai heliosentrisme tersebut, Galileo diadili oleh Inkuisisi Romawi pada tahun 1633. Ia dipaksa menarik kembali pernyataannya dan dinyatakan sebagai "sangat dicurigai melakukan bid’ah".
Awalnya ia dijatuhi hukuman penjara, namun hukuman tersebut segera diubah menjadi tahanan rumah seumur hidup. Ia menghabiskan sisa usianya di vilanya di Arcetri, dekat Florence.
Galileo meninggal pada usia 78 tahun pada tanggal 8 Januari 1642 karena penyebab alami, yakni demam dan masalah jantung yang diperburuk oleh usia lanjut.
Ia meninggal masih dalam status tahanan rumah dan dalam keadaan buta. Baru pada tahun 1992, lebih dari 350 tahun setelah kematiannya, Paus Yohanes Paulus II secara resmi mengakui kesalahan gereja dalam menangani kasus Galileo dan membersihkan namanya.
Dominasi gereja ini mulai menghadapi tantangan besar menjelang berakhirnya Abad Pertengahan melalui peristiwa seperti Reformasi Protestan pada tahun 1517 dan gerakan Renaissance yang menekankan pemikiran sekuler dan rasionalitas.
Kini, di abad ke-21 ini, lanskap benua Eropa sangatlah jauh berbeda dengan Abad Pertengahan. Kekristenan kini telah berubah menjadi apa yang disebut oleh para ahli sebagai “Kekristenan budaya” (cultural Christianity).
Kekristenan budaya merujuk pada fenomena di mana seseorang atau sebuah kelompok mengidentifikasi diri sebagai "Kristen" berdasarkan latar belakang keluarga, tradisi, atau identitas nasional, namun tanpa keyakinan agama yang mendalam atau praktik ibadah rutin.
Meskipun jumlah penduduk yang secara aktif menjalankan ibadah di gereja terus menurun, identitas Kristen tetap menjadi elemen sentral yang mendefinisikan jati diri bangsa-bangsa Eropa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Kristen telah bertransformasi dari sistem kepercayaan religius menjadi sebuah warisan sejarah yang tak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari.
Banyak warga Eropa tetap menganggap diri mereka Kristen bukan karena mereka meyakini dogma teologis atau beribadah secara rutin, melainkan sebagai bentuk kepemilikan terhadap sejarah dan tradisi nenek moyang mereka.
Bagi mayoritas warga Eropa, gereja dan katedral bukan lagi sekadar tempat perjumpaan dengan Tuhan, melainkan juga sudah menjadi monumen sejarah.
Data survei terbaru 2024 menunjukkan bahwa sekitar 77 persen warga Eropa menganggap bangunan gereja dan warisan keagamaan lainnya sebagai bagian integral dari budaya negara mereka.
Katedral seperti
Notre-Dame atau
Cologne Cathedral dihargai sebagai pencapaian seni tertinggi peradaban Barat. Banyak bangunan gereja kini dialihfungsikan sebagai pusat komunitas, museum, atau ruang konser yang tetap dihormati secara budaya meskipun tanpa ritual liturgi.
Hari-hari besar Kristen berubah menjadi festival budaya nasional yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang ateis atau agnostik.
Perayaan Natal di Eropa saat ini lebih sering dikaitkan dengan pasar malam, tradisi bertukar kado, dan momen berkumpul bersama keluarga daripada peringatan kelahiran Yesus.
Kristen telah menjadi ritme hidup yang menentukan hari libur, libur sekolah, dan struktur waktu sosial di Eropa.
Dengan besarnya peran agama Kristen di Eropa ini, maka sudah sewajarnya universitas-universitas di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, mempertimbangkan pelajaran Kristologi untuk jurusan-jurusan sastra dan budaya Eropa seperti Sastra Inggris, Prancis, Jerman, dan Rusia.
Tidak harus memberikan mata kuliah Kristologi secara khusus, tetapi paling tidak mengagendakan beberapa kali pertemuan untuk membahas mengenai agama Kristen.
Usaha ini diharapkan dapat memperdalam pemahaman para mahasiswa mengenai budaya dan peradaban Barat dari dahulu hingga sekarang. Tanpa pemahaman sejarah, mustahil kita bisa secara arif memahami budaya dan peradaban Eropa modern.
Peneliti media, budaya, dan politik Asia Tenggara
BERITA TERKAIT: