Keempatnya adalah Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan.
Tiga dari empat posisi tersebut diisi oleh figur senior yang telah teruji pengalaman, kapasitas, dan rekam jejaknya dalam bidang masing-masing.
Satu-satunya pengecualian adalah posisi Menteri Luar Negeri (Menlu) yang dipercayakan kepada Sugiono, figur yang relatif baru dalam dunia diplomasi.
Pengangkatan Sugiono sebagai Menlu sempat membuat saya tersentak. Jabatan Menlu bukan sekadar posisi administratif, melainkan wajah dan suara resmi negara di panggung global. Menlu adalah representasi kedaulatan, kepentingan nasional, dan kehormatan Republik Indonesia dalam hubungan internasional.
Sungguh, pada saat sekarang ini, saya memilih menahan diri untuk tidak segera menulis, terlebih karena memasuki masa libur akhir tahun.
Beberapa tulisan lain yang telah saya siapkan pun saya tunda hingga awal 2026, termasuk isu kemacetan Jakarta dan kinerja Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Namun, kemunculan kritik terbuka dari diplomat senior Dino Patti Djalal terhadap kinerja Menlu Sugiono membuat saya merasa perlu angkat bicara lebih awal. Kritik tersebut saya nilai penting, substansial, dan relevan bagi kepentingan publik.
Sejak awal, saya mencoba berpikir positif. Pengangkatan menteri adalah hak prerogatif Presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 ayat (2) UUD 1945.
Dalam perjalanannya, saya terus mencermati kiprah Menlu Sugiono. Secara objektif, saya belum melihat capaian, terobosan, maupun kepemimpinan diplomatik yang menonjol sebagaimana lazim ditampilkan oleh para pendahulunya.
Keraguan tersebut menemukan konteksnya ketika Dino Patti Djalal -- mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, mantan Wakil Menteri Luar Negeri, dan diplomat dengan pengalaman hampir empat decade -- menyampaikan kritik terbuka melalui akun Instagram pribadinya.
Kritik itu kemudian beredar luas dan menjadi perbincangan publik. Bagi saya, kritik Dino bukan sekadar opini personal, melainkan refleksi kegelisahan seorang diplomat senior yang memahami betul denyut, etika, dan standar kepemimpinan diplomasi internasional.
Dalam sejarah Indonesia, jabatan Menlu hampir selalu diisi oleh tokoh-tokoh besar dengan reputasi nasional dan internasional. Banyak di antaranya merupakan negarawan, pejuang kemerdekaan, bahkan Pahlawan Nasional.
Sebagai contoh para mantan Menlu yang berkaliber tinggi, dapat disebutkan nama-nama seperti Achmad Soebardjo, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Hatta, Adam Malik, Mochtar Kusumaatmadja, Ali Alatas, hingga Marty Natalegawa dan Retno Marsudi.
Mereka tidak hanya menguasai diplomasi secara teknis, tetapi juga memiliki wibawa moral, jejaring global yang luas, serta kapasitas kepemimpinan yang kuat. Tradisi inilah yang membentuk standar tinggi bagi jabatan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.
Dalam konteks inilah kritik Dino Patti Djalal perlu dibaca dan dipahami. Ia menyampaikan empat kritik utama yang pada hakikatnya merupakan peringatan strategis.
Saya telah mendengarkan dan mencermati secara langsung kritik tersebut melalui akun Instagram pribadi Dino Patti Djalal.
Menurut penilaian saya, meskipun disampaikan dengan bahasa yang santun, sopan, dan dalam kerangka masukan serta koreksi untuk perbaikan ke depan, substansi kritik tersebut sesungguhnya sangat tajam dan keras.
Jika diibaratkan, kritik Dino Patti Djalal laksana palu godam yang menghantam gong besar, menghasilkan bunyi alarm kencang yang menggugah kesadaran dan tidak mungkin diabaikan.
Sesungguhnya, saya mampu menguraikan pesan dan kritik Dino Patti Djalal tersebut secara lebih detail, rinci, dan tajam. Namun, saya memilih menyampaikannya dengan cara yang sama santun dan formal, dengan tujuan yang serupa, yakni memberikan masukan dan koreksi konstruktif demi perbaikan kinerja Menlu Sugiono ke depan.
Kritik pertama menyangkut kepemimpinan internal Kemenlu. Dino menilai Menlu Sugiono belum tampil sebagai pemimpin utama yang secara aktif mengarahkan, mengonsolidasikan, serta memberikan komando strategis kepada para diplomat Indonesia, baik di lingkungan pusat maupun di perwakilan luar negeri
Dalam hal tersebut, prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, seorang menteri wajib menjalankan fungsi kepemimpinan, perumusan kebijakan, dan pengawasan.
Ketentuan tentang hal ini juga telah tertuang dan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Ketika kepemimpinan melemah, arah kebijakan pun berisiko kabur.
Kritik kedua berkaitan dengan komunikasi publik. Diplomasi modern menuntut transparansi dan narasi yang jelas kepada publik domestik. Politik luar negeri tidak boleh menjadi ruang elitis yang jauh dari rakyat.
Dino menyoroti minimnya penjelasan publik dari Menlu Sugiono mengenai arah, prioritas, dan strategi diplomasi Indonesia.
Padahal, legitimasi kebijakan luar negeri sangat bergantung pada pemahaman dan dukungan masyarakat. Tanpa komunikasi strategis, diplomasi kehilangan basis sosialnya.
Ketiga, Dino mengkritik rendahnya keterlibatan pemangku kepentingan, termasuk organisasi masyarakat, komunitas diplomasi, akademisi, dan kelompok strategis lainnya.
Dalam prinsip
good governance dan demokrasi partisipatif, kebijakan public --termasuk politik luar negeri -- idealnya disusun melalui dialog dan keterbukaan terhadap masukan.
Ketidakterhubungan antara Menlu dan berbagai elemen masyarakat justru berpotensi mempersempit perspektif dan memperlemah kualitas kebijakan.
Keempat, Dino menegaskan pentingnya kolaborasi antara negara dan masyarakat dalam praktik diplomasi. Diplomasi tidak lagi bersifat
state-centric semata.
Konsep
multi-track diplomacy menempatkan masyarakat sipil, dunia usaha, diaspora, dan komunitas global sebagai mitra strategis negara.
Gotong royong diplomasi inilah yang selama ini menjadi kekuatan Indonesia. Ketika kolaborasi itu melemah, pengaruh Indonesia di dunia internasional pun ikut tergerus.
Empat kritik tersebut sesungguhnya menyampaikan satu pesan besar: Indonesia membutuhkan Menteri Luar Negeri berkaliber global.
Bukan sekadar pejabat administratif, melainkan negarawan yang mampu memimpin, berkomunikasi, membangun jejaring, dan mengorkestrasi kekuatan diplomasi nasional secara menyeluruh.
Di tengah dinamika geopolitik global yang semakin kompleks, mulai dari konflik kawasan, rivalitas kekuatan besar, hingga persaingan ekonomi dan energi, Indonesia tidak boleh dipimpin oleh diplomasi yang pasif dan reaktif.
Kritik Dino Patti Djalal patut dipahami sebagai alarm dini, bukan serangan personal.
Kritik tersebut merupakan panggilan reflektif agar pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, memastikan bahwa politik luar negeri Indonesia tetap dijalankan oleh figur yang memiliki kapasitas, pengalaman, dan wibawa yang sepadan dengan tantangan global yang dihadapi bangsa ini.
Kepentingan nasional Indonesia terlalu besar untuk dipertaruhkan pada kepemimpinan diplomasi yang belum teruji.
Berdasarkan uraian tersebut, pada akhirnya saya sependapat dengan pandangan, kritik, serta saran yang disampaikan oleh Dino Patti Djalal.
Harapannya, seluruh masukan dari tokoh senior diplomasi tersebut dapat dijadikan bahan refleksi dan koreksi konstruktif, sehingga Menlu Sugiono mampu menjalankan tugas dan fungsinya sesuai harapan rakyat, serta dengan cepat tumbuh menjadi Menlu yang kuat, berwibawa, dan berkaliber global, demi membawa Indonesia semakin dihormati di mata dunia internasional.
SugiyantoKetua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)
BERITA TERKAIT: