Mari kita lindas, eh salah, kupas para tikus got gorong-gorong yang menggerogoti Kementerian Ketenagakerjaan alias Kemnaker. Saya tak melarang kalian untuk ikut menyumpah, monggo.
Buruh berdiri berjam-jam di jalanan, menahan panas dan lapar, memperjuangkan kenaikan gaji receh, sementara di balik meja empuk ber-AC, para oknum pejabat itu melahap uang haram seperti monyet rakus di kebun yang tak pernah dijaga.
Dengarkan pengakuan Ali Wijaya Tan, Direktur PT Patera Surya Gemilang. Untuk sekadar memastikan dokumen Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) tidak dipersulit, ia harus menyetor “kontribusi” bulanan Rp 20?"30 juta.
Kontribusi, kata mereka. Istilah itu manis seperti apel merah mengilap di etalase. Padahal, digigit sedikit saja isinya cokelat, berulat, dan bau bangkai.
Sejak 2011 sampai 2024, selama 15 tahun penuh, uang itu disuapkan rutin ke mulut pejabat yang silih berganti menjabat Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Ke Heri Sudarmanto Rp20 juta per bulan, ke Wisnu Pramono Rp30 juta, ke Haryanto Rp30 juta. Bulanan. Konsisten. Lebih rajin dari jadwal gajian buruh. Kalau ini buah, mereka bukan sekadar memetik, tapi memeras sari terakhirnya sampai kulitnya kering.
Ali terpaksa melakukannya karena kalau RPTKA telat keluar, denda
overstay tenaga kerja asing bisa mencapai Rp1 juta per hari.
Pilihannya cuma dua, setor ke pejabat busuk atau perusahaan busuk perlahan. Negara berubah jadi kebun busuk, dan pejabatnya penjaga yang minta upeti.
Jumlah dokumen yang diurus PT Patera Surya Gemilang mencapai sekitar 100 RPTKA per bulan. Seratus. Nuan bayangkan! Satu truk jeruk segar, tapi tiap peti harus disuapi ke tangan pejabat supaya boleh lewat. Hasilnya bikin perut mual.
Selama menjabat 2011-2015, Heri Sudarmanto diduga menerima sekitar Rp1,2 miliar. Wisnu Pramono selama lima tahun sekitar Rp960 juta. Haryanto paling rakus, sekitar Rp1,9 miliar. Total setoran dari satu perusahaan saja mencapai sekitar Rp 4,4 miliar. Satu perusahaan. Kalau ini buah, satu pohon saja sudah busuknya setengah kebun.
Itu baru satu cerita. Jaksa mendakwa delapan pegawai Kemnaker, dari eks Direktur Jenderal Suhartono sampai staf rendahan, dengan total dugaan uang haram mencapai Rp135,29 miliar plus aset kendaraan bermotor.
Seratus tiga puluh lima koma dua sembilan miliar rupiah. Ini bukan lagi keranjang busuk, ini gudang buah yang ambruk, cairannya mengalir ke selokan, baunya menusuk sampai rakyat ingin muntah.
Pasal-pasal hukum disusun rapi, Pasal 12 huruf e, Pasal 12B, Pasal 18 UU Tipikor, juncto Pasal 55 dan 64 KUHP. Di kertas tampak segar, di praktiknya sering jadi buah plastik, keras, mengilap, tapi tak bisa dimakan keadilan.
Ironinya sempurna dan menjijikkan. Kementerian yang harusnya melindungi buruh malah jadi ladang buah busuk yang dipanen pejabat sendiri.
Buruh diminta sabar, diminta loyal, diminta cinta negeri. Sementara para oknum itu mengunyah uang haram seperti memakan nangka busuk, lengket, manis palsu, meninggalkan getah di mana-mana.
Wajar jika rakyat muak, wajar jika ingin muntah. Karena korupsi ini bukan cuma mencuri uang, tapi memaksa rakyat menelan buah busuk yang sama, lagi dan lagi, sampai perut bangsa ini benar-benar kosong dan sakit.
Benar-benar suek dah. Kalau mereka lewat di depan rumah kalian, apakah yang kira-kira nuan lakukan? Melemparnya dengan telur busuk, meludahinya, atau dikejar pakai golok.
Up to you...
Rosadi JamaniKetua Satupena Kalbar
BERITA TERKAIT: