Tirani Metrik dan Ilusi Kemajuan Menara Gading

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yudhi-hertanto-5'>YUDHI HERTANTO</a>
OLEH: YUDHI HERTANTO
  • Kamis, 20 November 2025, 14:09 WIB
Tirani Metrik dan Ilusi Kemajuan Menara Gading
Yudhi Hertanto. (Foto: Dok. Pribadi)
TERJADI ledakan penelitian. Lihat saja data publikasi pada laman Scimago Journal & Country Rank yang mencatat posisi Indonesia sebagai negara dengan produktivitas publikasi tertinggi di ASEAN, dalam aspek kuantitas. Terlihat membanggakan, tetapi waspada akan kesadaran semu.

Kenapa indikator tersebut harus dimaknai secara skeptikal? Karena lonjakan angka jurnal penelitian tersebut berhadapan dengan maraknya publikasi di jurnal predator, dengan konsekuensi rendahnya citation impact. Kondisi ini dapat diartikan bila kita mampu memproduksi ribuan makalah yang tidak terbaca oleh siapa-siapa.

Kabut itu terbilang tebal di jalur pendidikan tinggi kita. Narasi besar tentang Indonesia Emas 2045 dan mimpi mengenai kampus kelas dunia -world class university terselubung tirai citra dalam angka-angka dan metrik yang menjulang, tetapi secara internal memiliki basis kerapuhan mendalam.

Realitanya tidak selalu buram, meski kita perlu jernih melihatnya. Berdasarkan data BPS, 2023 Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK-PT) tertatih di kisaran 31,45 persen, relatif stagnan, dengan keterangan dari seratus anak muda usia kuliah, sebanyak 70 diantaranya tidak dapat mencicipi bangku universitas.

Paradoks tersebut terjadi, ketika akses pendidikan masih tergolong elitis dan timpang, berbagai kampus justru sibuk bersolek dengan obsesi peringkat global. Dengan begitu, definisi mutu dibajak dan dimonopoli oleh lembaga pemeringkat serta format indeks global.

Dalam pandangan Foucault terdapat rezim kebenaran -regime of truth yang mendisiplinkan tubuh akademisi dan merubah kampus menjadi menara pengawas -panoptikon. Para pendidik tidak lagi menjadi intelektual, terdegradasi sebagai operator administratif.

Sesuai dengan Peter Fleming dalam Dark Academia: How Universities Die (2021) tergambarkan universitas modern tidak lagi menjadi taman sari ilmu, melainkan sekedar pabrik pengetahuan. Budaya kerja kampus beracun (toxic). Fenomena ini disebut instrumentalisasi akademisi, dimana penghargaan diubah menjadi indeks sitasi, angka hibah penelitian, serta nilai akreditasi.

Lantas, bagaimana mencegah biduk kapal ini agar tidak karam? Jelas tidak mudah, apalagi melawan arus mainstream pragmatisme.  Intervensi negara harus mampu hadir untuk membalik persepsi kualitas sekedar indeks, berubah menjadi nalar kritis dan empati sosial.

Di tengah masifnya keterlibatan kecerdasan buatan -Artificial Intelligence, justru dibutuhkan kemampuan manusia untuk beretika, berimajinasi, dan berpikir kritis, sebagai benteng penjaga yang berbeda.

Perlu kesepakatan bersama untuk meredefinisi prestasi, bukan soal jumlah jurnal yang diterbitkan, tetapi seberapa dalam pemikiran dihasilkan. Tampak idealis, tetapi disitulah letak kebebasan akademik yang tidak menjadi menara gading.

Sejatinya, Universitas didirikan sebagai magistrorum et scholarium, sebuah komunitas pencari kebenaran otonom dengan menekankan pada Bildung -kultivasi diri, dalam kesatuan pengajaran serta penelitian demi ilmu pengetahuan itu sendiri (Humboldt, 2010), yang saat ini berbenturan keras dengan realitas pasar.

Tentu jangan sampai sejarah mencatat tentang stagnasi peradaban, karena warisan yang ditinggalkan berupa bangunan universitas megah menjulang ke langit, namun hampa. Itulah buruk rupa pragmatisme: kita memuja kulit, tapi membusuk pada isinya. Berbenah! rmol news logo article

Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Indraprasta PGRI
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA