Persimpangan Jalan antara Pemerataan dan Pengentasan Kemiskinan

Rabu, 19 November 2025, 17:47 WIB
Persimpangan Jalan antara Pemerataan dan Pengentasan Kemiskinan
Ilustrasi. (Foto: Sindonews)
INDONESIA sedang berada di persimpangan penting dalam upaya pengentasan kemiskinan. Data terbaru menunjukkan kemajuan tetapi juga mengingatkan bahwa pekerjaan besar masih menanti. Pada Maret 2025, BPS melaporkan angka kemiskinan nasional tercatat 8,47 persen sekitar 23,85 juta orang, dengan kemiskinan ekstrem turun ke 0,85 persen sekitar 2,38 juta orang. 

Angka ketimpangan gini ratio juga menunjukkan perbaikan kecil ke 0,375. Ini kabar baik, tetapi maknanya baru sekadar angka, dilapangan distribusi hasil pembangunan masih belum cukup merata antara wilayah dan generasi. Data dan realitas itu menjadikan satu tuntutan sederhana sekaligus mendesak pemerataan harus menjadi poros kebijakan pengentasan kemiskinan. 

Tidak cukup hanya menurunkan persentase miskin,tetapi juga memperkecil jurang antara si kaya dan si miskin sesuai konsep Islam tentang ghina’ al-nafs (kemandirian martabat) dan ghina’ al-m?l (kecukupan materi), sekaligus sejalan dengan tujuan shared prosperity dalam kajian pembangunan internasional. Tanpa pemerataan, pertumbuhan ekonomi berisiko menjadi oase di padang bagi sedikit orang, sementara mayoritas hanya mendapat cipratan air. 

Bantuan Vs Pemberdayaan Pemerintah

Pemerintah telah melaksanakan banyak program perlindungan sosial yang sangat diperlukan seperti PKH, BPNT, BLT, JKN bagi PBI dan lain-lain. Instrumen ini efektif menahan jatuhnya keluarga miskin saat terkena guncangan sebuah fungsi stabilisator yang tak boleh diremehkan. Namun ketika proporsi usaha kebijakan lebih besar ke bantuan konsumtif jangka pendek tanpa penguatan kapasitas produktif, efek jangka panjangnya ketergantungan, bukan kemandirian, yang tumbuh. Analisis program menunjukkan kecenderungan demikian, perlindungan sosial kuat, pemberdayaan produktif masih relatif lemah, tersebar, dan kurang terintegrasi.
 
Cara menggeser kurva kemiskinan secara permanen diperlukan transisi arah dari sekadar jaring pengaman menjadi ladder out of poverty, langkah-langkah yang menaikkan kemampuan ekonomi rumah tangga. Itu berarti memperkuat UMKM produktif, pelatihan vokasi yang sinkron dengan kebutuhan pasar, akses pembiayaan mikro yang nyata, serta skema graduasi PKH yang memastikan exit strategy dari bantuan. Indikator kesuksesan program adalah integrasi dukungan sosial dengan kesempatan kerja, pasar, dan akses pendidikan berkualitas.
 
Determinan yang Menentukan Masa Depan


Human capital adalah kunci memutus siklus kemiskinan antar-generasi. Indonesia mencatat kemajuan nyata pada masalah gizi yaitu prevalensi stunting dilaporkan turun menjadi 19,8 persen pada 2024 sebuah capaian penting, tetapi masih jauh dari target jangka panjang. Investasi pada kualitas pendidikan dan gizi anak bukan sekadar belanja moral namun investasi ekonomi paling produktif yang menentukan produktivitas masa depan bangsa. Program baru seperti makan bergizi gratis yang diluncurkan pemerintah menargetkan pemberian makanan bergizi bagi anak-anak dan ibu hamil adalah langkah besar, tetapi harus disertai pengukuran dampak yang ketat agar tidak menjadi program populer tanpa hasil jangka panjang. 

Kesenjangan wilayah memperburuk masalah yaitu Jawa dan pusat-pusat perkotaan menikmati akses yang jauh lebih baik ke layanan pendidikan, kesehatan, dan pasar dibandingkan banyak daerah di Indonesia timur dan pedalaman. Oleh karena itu, agenda pemerataan harus memiliki dimensi geografis, perbaikan infrastruktur layanan dasar, insentif untuk investasi di daerah tertinggal, dan program lokal berbasis potensi ekonomi daerah seperti agroindustri lokal, pariwisata berkelanjutan, dan sektor maritim yang mampu menyerap tenaga kerja lokal dan menahan urbanisasi.

World Bank terus menekankan bahwa tanpa peningkatan produktivitas dan tata kelola yang lebih baik, pertumbuhan tidak akan berdampak merata. Rekomendasi intinya pada pertumbuhan inklusif, lapangan kerja high skill, penguatan human capital, dan jaring pengaman sosial yang adaptif terhadap guncangan global. Globalisasi yang rapuh, fluktuasi harga komoditas, atau krisis kesehatan dapat menghapus kemajuan jika negara tidak memiliki mekanisme cepat dan tepat untuk melindungi kelompok paling rentan. 

Tata kelola juga kritikal, akurasi data (DTKS), koordinasi lintas kementerian, transparansi distribusi bansos, dan mekanisme evaluasi berbasis bukti harus menjadi standar. Tanpa data yang dapat dipercaya, sasaran program meleset tanpa evaluasi objektif, kebijakan populer bisa menjadi pemborosan anggaran. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam ekonomi adalah strategi yang terbukti memperkuat kemajuan sosial-ekonomi keluarga, pendapatan rumah tangga naik, pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan anak meningkat, dan kesejahteraan generasi berikutnya terangkat. 

Oleh karena itu, kebijakan pemberdayaan perempuan dalam akses pembiayaan, pelatihan dan, perlindungan hak kerja harus ditempatkan sebagai prioritas dalam kerangka pemerataan.

Kebijakan Prioritas Berbasis Pemerataan

Berangkat dari uraian di atas, berikut kebijakan prioritas yang bisa dilakukan dengan menempatkan pemerataan sebagai poros pengentasan kemiskinan. Pertama, integrasi dana sosial Islam zakat, infaq, sedekah dan wakaf ke dalam ekosistem perlindungan sosial untuk membiayai program pemberdayaan lokal yang terukur. 

Kedua, memperkuat human capital lewat program gizi dan pendidikan fokus pada 1.000 hari pertama kehidupan, peningkatan kualitas guru, dan pembelajaran adaptif di daerah tertinggal. Skema graduasi dan link-to-market program bantuan harus terhubung dengan pelatihan kerja, akses pasar, dan pembiayaan mikro agar menjadi jalan keluar, bukan jalan masuk ke ketergantungan. Ketiga, pemberdayaan Perempuan dengan target akses pembiayaan dan program kewirausahaan bagi perempuan sebagai prioritas nasional. 

Keempat, jaring pengaman adaptif dengan sistem bansos yang dapat diperluas dan dipersempit responsif terhadap guncangan seperti pandemi dan inflasi. Penguatan akurasi data dan tata Kelola dengan modernisasi DTKS, audit distribusi bansos, dan evaluasi berdampak berbasis pemerataan sebagai ukuran keberhasilan.

Mengurangi angka kemiskinan adalah prestasi teknis, menghapus ketimpangan adalah prestasi moral politik. Indonesia sudah bergerak angka kemiskinan turun, ketimpangan sedikit mereda, dan upaya intervensi gizi menunjukkan perkembangan. Namun perubahan struktural yang memastikan setiap anak, di desa terpencil manapun, mendapatkan pendidikan dan gizi yang memadai itulah ujian sejati. 

Jika pemerataan dijadikan poros kebijakan, kombinasi nilai spiritual Islam kedermawanan yang produktif, kapabilitas negara melalui regulasi dan implementasi, dan bukti internasional dapat mendorong Indonesia bukan hanya keluar dari kemiskinan, tetapi menuju masyarakat yang adil dan berdaya. rmol news logo article

Aza El Munadiyan S.Si MM
Dosen STIM Budi Bakti



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA