Analisis Dinamika Kawasan di Tengah Krisis Selat Taiwan

Rabu, 19 November 2025, 16:09 WIB
Analisis Dinamika Kawasan di Tengah Krisis Selat Taiwan
Ilustrasi. Kapal perang Tiongkok di Selat Taiwan. (Foto: ANTARA)
MENINGKATNYA ketegangan antara Tiongkok dan Jepang sejak pernyataan Perdana Menteri Jepang Sana Takaichi pada 7 November 2025 menandai babak baru dalam dinamika geopolitik Asia Timur. Dengan mengimplikasikan intervensi militer Jepang di Selat Taiwan, respons keras Tiongkok menegaskan sensitivitas terhadap kedaulatan nasional dan warisan sejarah yang belum usai. Artikel ini mengurai latar belakang historis, konteks politik, dan analisis atas pernyataan Takaichi, serta merekonstruksi respons diplomatik dan militer Tiongkok. Implikasi regional juga dikaji secara kritis, diikuti rekomendasi kebijakan strategis guna meredam eskalasi dan mendorong stabilitas kawasan. Studi ini krusial demi memahami keamanan serta politik Asia di tengah persaingan negara-bangsa utama dunia.
 
Hubungan bilateral Tiongkok dan Jepang telah lama diwarnai ketegangan multidimensi yang berpangkal dari sejarah perang, dominasi militer Jepang di Asia Timur pada awal abad ke-20, dan berbagai isu kedaulatan yang masih membekas hingga kini. Tren pergeseran politis dan kebijakan luar negeri kedua negara selama dua dekade terakhir memperlihatkan adanya pola siklus ketegangan serta relaksasi yang senantiasa berulang setiap kali isu Taiwan atau Laut Tiongkok Timur mencuat di agenda internasional. Pada November 2025, diskursus yang semula diplomatis bergeser menjadi potensi konflik terbuka setelah pernyataan tegas Perdana Menteri Jepang Sana Takaichi, memancing reaksi luar biasa dari Tiongkok yang menganggap insiden ini bukan sekadar provokasi verbal tetapi ancaman langsung terhadap stabilitas kawasan.
 
Pernyataan Kontroversial Perdana Menteri Jepang dan Reaksi Tiongkok
 
Pada tanggal 7 November 2025, Sana Takaichi secara terbuka menyatakan bahwa penggunaan kekuatan oleh Tiongkok terhadap Taiwan dapat dipandang sebagai situasi yang mengancam kelangsungan hidup Jepang, sehingga membuka opsi pemanfaatan hak bela diri kolektif oleh pasukan Jepang. Pernyataan ini menggeser batas-batas kebijakan tradisional Jepang yang selama ini menahan diri dari intervensi militer di luar wilayahnya sejak berlakunya konstitusi damai pasca Perang Dunia II. 

Tiongkok, melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, langsung mengeluarkan protes diplomatik keras, mengidentifikasi pernyataan Takaichi sebagai pelanggaran prinsip “Satu Tiongkok” dan ancaman regional, disertai perintah kepada warganya untuk menunda perjalanan ke Jepang serta peningkatan patroli dan latihan militer di wilayah sengketa Kepulauan Diaoyu/Senkaku dan Laut Kuning. Dialog antara duta besar, serta protes berulang menandai betapa seriusnya Beijing menanggapi perubahan posisi Jepang terhadap Taiwan.
 
Analisis Konsep Survival Threatening Situation dalam Kebijakan Jepang

Konsep “survival threatening situation” pertama kali diperkenalkan Jepang sekitar satu dekade lalu, dimaksudkan untuk memperluas cakupan hak bela diri di bawah payung hukum keamanan nasional. Namun, selama ini implementasinya lebih bersifat teori dan tidak teruji dalam kasus nyata yang berkaitan langsung dengan kebijakan Tiongkok. Dengan mengaitkan Selat Taiwan secara eksplisit ke dalam konsep tersebut, Takaichi mendemonstrasikan perubahan mendasar orientasi militer Jepang dan mengisyaratkan ekspansi remiliterisasi di luar sekadar peningkatan alokasi anggaran pertahanan. 

Dari perspektif politik, Takaichi mewakili arus nasionalisme kanan di Jepang, yang mengedepankan penguatan militer dan reorientasi sejarah negara sebagai negara yang kuat dan mandiri, sekaligus mengonsolidasikan dukungan politik dalam negeri yang krusial setelah episode kontroversi bersama Amerika Serikat. Penolakan Takaichi untuk menarik pernyataannya, meski dihadapkan pada protes keras domestik dan eksternal, menunjukkan orientasi agresif yang kini mewarnai kebijakan luar negeri Jepang.
 
Eskalasi Diplomatik dan Respons Militer Tiongkok
 
Reaksi diplomatik Tiongkok terhadap pernyataan Takaichi berlangsung dalam beberapa fase, mulai dari pemanggilan Duta Besar Jepang hingga demonstrasi militer yang intens. Pada 13 November, Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok, Sun Dong, secara resmi memanggil Duta Besar Jepang, Kenji Kazuki, untuk menyampaikan protes keras. Tak lama kemudian, Kementerian Pertahanan Nasional Tiongkok mengeluarkan pernyataan publik yang mengingatkan Jepang akan konsekuensi serius jika melanggar prinsip-prinsip kerjasama bilateral. 

Tindakan ini diikuti oleh pelaksanaan latihan militer aktif di Laut Kuning dan patroli intensif kapal penjaga pantai di kawasan sengketa, serta pemberlakuan imbauan kepada warga Tiongkok dan pelajar agar mempertimbangkan ulang rencana kunjungan ke Jepang dengan alasan keamanan. Semua tindakan di atas menandakan bahwa Beijing tidak hanya mengandalkan protes verbal tetapi juga memperlihatkan daya tangkal nyata secara militer dan diplomatik.
 
Implikasi Regional: Stabilitas Keamanan Asia Timur dan Dunia
 
Dinamika konflik antara Jepang dan Tiongkok sangat mempengaruhi tatanan keamanan Asia Timur, sekaligus mengguncang stabilitas yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun pasca perang. Remiliterisasi Jepang, ditandai dengan potensi revisi prinsip non-nuklir dan normalisasi kembali pangkat militer era pra-perang, mengirimkan sinyal negatif ke seluruh kawasan. 

Negara-negara Asia Tenggara, termasuk ASEAN, serta Amerika Serikat sebagai sekutu Jepang, terpanggil untuk merespons secara diplomatik agar tidak terjadi pemicu krisis yang lebih luas. Sementara sumbu konflik utama tetap berporos pada isu Taiwan, terdapat risiko pergeseran medan magnet keamanan yang dapat memperlebar dan memperdalam ketegangan antar-negara, jika tindakan tidak disikapi melalui pendekatan multilateral yang komprehensif dan dewasa.
 
Alternatif Solusi dan Rekomendasi Kebijakan
 
Stabilisasi kondisi kawasan membutuhkan kebijakan yang berpijak pada penghormatan prinsip kedaulatan nasional dan penegasan komitmen historis Jepang terhadap “Satu Tiongkok” sebagaimana termaktub dalam Pernyataan Bersama tahun 1972. Pemerintah Jepang perlu mengambil langkah aktif, memperjelas posisinya di depan publik dan komunitas internasional agar tidak menimbulkan ambiguitas dan kecurigaan lebih lanjut. 

Pembentukan mekanisme komunikasi bilateral terbuka serta pertemuan rutin di antara pejabat negara dapat membantu mencegah salah tafsir kebijakan dan mengefektifkan manajemen krisis. Selain itu, pelibatan forum regional, seperti APEC atau mekanisme khusus yakni ASEAN Regional Forum (ARF), hendaknya dimanfaatkan sebagai wadah mediasi dan negosiasi intensif antara para pihak dengan mengedepankan kepentingan keamanan bersama. Penting juga menumbuhkan kesadaran historis akan akibat dari politik provokatif demi menjaga perdamaian berkelanjutan.
 
Prospek Hubungan Tiongkok-Jepang di Masa Depan

Ketegangan yang meningkat antara Tiongkok dan Jepang akibat pernyataan kontroversial perdana menteri Sana Takaichi mencerminkan rapuhnya tatanan kawasan di tengah rivalitas kekuatan besar dunia. Meski sejarah kelam dan trauma masa lalu masih membayangi, kedua negara tetap memiliki ruang diplomasi untuk mengelola konflik secara konstruktif melalui dialog, kerjasama regional, dan penghormatan terhadap perjanjian internasional yang sudah disepakati. 

Kasus ini membuktikan perlunya sikap hati-hati dalam menyikapi isu sensitif seperti Taiwan; stabilitas kawasan hanya dapat dicapai bila semua pihak mampu mentransformasikan potensi konflik menjadi peluang dialog, serta mengedepankan kematangan politik daripada provokasi jangka pendek dengan resiko jangka panjang yang besar. rmol news logo article


Dr. Surya Wiranto, SH MH
Purnawirawan Laksamana Muda TNI, sehari-hari sebagai Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS). Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia. 
  

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA