Pasca-terbukanya kasus hukum tata kelola migas di awal tahun 2025, lebih dari 15 vendor dalam Daftar Mitra Usaha Terseleksi (DMUT) diblokir oleh Pertamina karena tersangkut proses pemeriksaan Kejaksaan Agung.
Langkah ini merupakan upaya tegas untuk memperbaiki integritas sistem impor BBM nasional. Namun di sisi lain, jaringan importir migas lain yang masih terafiliasi dengan jaringan tersangka kasus korupsi impor minyak mentah Mr. MRC. Tetapi belakangan justru diduga kelompok ini melakukan aksi balas dendam dan sabotase terhadap sistem yang baru dibersihkan.
Mereka bermanuver dengan beroperasi melalui jejaring dagang internasional yang kompleks dan diduga secara sengaja mengirimkan kargo BBM off spec ke Indonesia. Tujuannya bukan semata bisnis, tetapi untuk menurunkan kredibilitas dan reputasi Pertamina sebagai perusahaan milik rakyat Indonesia yang seolah-olah setelah MRC terseret kasus, Pertamina kehilangan kemampuan menjaga mutu produk BBM-nya.
Narasi inilah yang perlahan digoreng di ruang publik untuk membentuk opini negatif terhadap BUMN energi terbesar Indonesia. Padahal faktanya, data menunjukkan bahwa lonjakan kasus off spec bukan berasal dari kilang domestik, melainkan dari BBM impor yang datang melalui jalur distribusi luar negeri.
Hingga Agustus 2025, tercatat 24 kasus off spec, meningkat enam kali lipat dari tahun sebelumnya. Parameter yang paling sering bermasalah adalah distilasi 50 persen, oxidation stability, dan benzene content yang semuanya berkaitan dengan tahapan blending dan pengawasan di luar negeri.
Di lapangan, tantangan internal para pekerja Pertamina menghadapi dilema berat. Mereka harus tetap menjamin pasokan nasional berjalan, meski menerima kargo dengan mutu di bawah standar.
Biaya korektif membengkak dengan adanya blending, recirculation, dan anti oxidant dosing menelan biaya hampir USD 6 juta, ditambah demurrage sekitar USD 23 juta karena kapal harus menunggu proses klarifikasi mutu.
Namun yang paling berat bukan hanya beban finansialnya, tapi juga beban moral dan reputasi negara dimana publik seolah-olah menilai semua kesalahan ada di Pertamina sebagai BUMN energi nasional, padahal yang sedang terjadi adalah ada upaya indikasi sabotase sistematis terhadap kedaulatan energi nasional melalui merusak citranya.
Upaya serangan terhadap integritas korporasi negara dalam hal ini reputasi Pertamina akibat ada pihak-pihak yang tidak siap kehilangan “akses dan pengaruh” dalam bisnis migas nasional, lalu berusaha menciptakan kekacauan agar publik meragukan kemampuan dan reputasi Pertamina. Tentunya hal ini bukan sekedar asumsi belaka, tapi fakta yang tercermin dari pola kasus berupa lonjakan off spec terjadi persis setelah vendor-vendor utama yang diduga terafiliasi jaringan MRC diblokir.
Kita berharap juga Pertamina tidak tinggal diam. Segera bentuk Tim Task Force terkait Cargo Import Off Spec, untuk melakukan berbagai langkah cepat seperti bottle test blending, recirculation di tangki darat, dosing additive (AO) untuk menstabilkan bahan bakar, hingga penguatan sistem quality control di pelabuhan asal maupun terminal penerima. Hal ini tentunya sebagai upaya menjaga reputasi dan integritas dapat terpelihara publik nasional maupun internasional.
Selain itu, negara harus turun tangan dalam mengusut tuntas dugaan sabotase dan afiliasi jaringan impor yang masih dikendalikan oleh kelompok MRC yang berkaitan pada persoalan keamanan nasional khususnya keamanan energi nasional.
Kedua, manajemen harus meningkatkan kompetensi dan product knowledge seluruh pekerja Pertamina, dari kantor pusat hingga operator SPBU. Pekerja yang memahami karakteristik produk dan standar mutu akan jadi benteng terakhir terhadap setiap manipulasi di rantai pasok global. Sehingga, kasus BBM off spec merupakan ujian besar terhadap kredibilitas Pertamina dan kedaulatan energi nasional.
Dr. Rasminto
Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI)
BERITA TERKAIT: