Namun, di balik semangat besar membangun fisik koperasi itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah kita sedang membangun koperasi sebagai organisasi rakyat, atau sekadar membangun gedung koperasi? Sebab pengalaman menunjukkan, banyak koperasi yang gagal bukan karena kekurangan fasilitas, tetapi karena organisasi dan tata kelolanya salah arah. Prinsip dasarnya jelas, jika organisasinya salah, maka investasi sebesar apa pun akan salah.
Koperasi bukan proyek pemerintah, melainkan gerakan sosial-ekonomi rakyat. Ia adalah bentuk demokrasi ekonomi di tingkat akar rumput, tempat warga berkumpul, bermusyawarah, dan mengelola kepentingan ekonominya secara bersama. Maka yang pertama-tama harus dibangun adalah organisasinya, bukan infrastrukturnya. Tanpa organisasi yang hidup dan partisipatif, koperasi akan menjadi lembaga kosong sebagai sebuah gedung dengan papan nama besar, tetapi tanpa jiwa dan tanpa anggota yang aktif.
Dalam konteks ini, program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) harus dimulai dari penguatan struktur organisasi koperasi yang bertingkat dan saling menopang. Di tingkat desa atau kelurahan, koperasi primer harus menjadi wadah anggota yang berfungsi nyata untuk menghimpun kebutuhan warga, mencatat pola konsumsi dan produksi, serta menjadi pusat kegiatan ekonomi komunitas.
Di atasnya, koperasi sekunder dan cabang di tingkat kabupaten atau kota berperan sebagai pengelola logistik dan distribusi barang antar wilayah. Sedangkan koperasi induk nasional bertugas mengelola sistem pengadaan kolektif, kontrak dengan produsen nasional, serta membangun brand dan sistem teknologi terintegrasi.
Struktur seperti ini mengikuti prinsip subsidiaritas. Keputusan harus diambil di tingkat paling bawah yang mampu menyelesaikan persoalan secara efektif. Level di atasnya bukan berfungsi mengendalikan, melainkan memberi dukungan. Artinya, koperasi nasional tidak boleh menjadi pusat kekuasaan ekonomi baru yang top-down, tetapi berperan sebagai sistem pendukung dari jaringan koperasi di bawahnya. Pendekatan federatif seperti ini telah terbukti menjadi kunci keberhasilan gerakan koperasi di Jepang, Korea Selatan, dan Kanada.
Masalahnya, pendekatan pembangunan yang tengah berjalan di Indonesia saat ini justru cenderung terbalik. Pemerintah memulai dari pembangunan fisik, sementara kelembagaan koperasi belum siap. Menteri Koperasi sendiri telah mengumumkan pembangunan ratusan gerai dan gudang KDMP tahap awal di berbagai daerah.
Tentu langkah ini baik sebagai simbol keberpihakan, tetapi menjadi berisiko jika tidak dibarengi kesiapan organisasi dan sistem manajemen yang memadai. Tanpa mekanisme pengelolaan berbasis anggota, fasilitas-fasilitas itu hanya akan menjadi monumen kosong, tempat ekonomi rakyat kembali dikendalikan oleh birokrasi, bukan oleh rakyat itu sendiri.
Koperasi adalah miniatur demokrasi ekonomi. Karena itu, seluruh prosesnya dari perencanaan, pengadaan barang, pemilihan vendor, hingga evaluasi kinerja pemasok harus melibatkan anggota secara langsung. Partisipasi warga desa dalam setiap tahapan adalah inti dari gerakan koperasi.
Jika semua keputusan ditentukan oleh pejabat atau konsultan, maka koperasi hanya akan menjadi “papan nama” dari proyek negara. Demokrasi ekonomi berarti keikutsertaan anggota dalam menentukan arah ekonomi mereka sendiri, bukan menjadi objek kebijakan.
Selain demokrasi partisipatif, kekuatan utama koperasi terletak pada sistem joint procurement atau pengadaan kolektif. Inilah urat nadi ekonomi koperasi. Melalui pembelian bersama dalam jumlah besar, koperasi bisa menekan harga, memastikan kualitas produk, menjaga stabilitas pasokan, sekaligus membangun posisi tawar yang kuat terhadap produsen besar.
Pengalaman di Jepang melalui Japan Consumers’ Co-operative Union (JCCU) dan di Kanada melalui sistem Point of Sale membuktikan bahwa koperasi yang kuat justru bertumpu pada efisiensi kolektif seperti ini, bukan pada gedung-gedung besar atau investasi mahal.
Dalam konteks KDMP, koperasi primer di desa seharusnya menjadi sumber data kebutuhan, koperasi sekunder mengelola logistik, dan koperasi nasional mengintegrasikan data itu dalam sistem pengadaan nasional berbasis digital. Bila sistem ini dibangun secara benar, jaringan KDMP dapat menjadi tulang punggung distribusi kebutuhan pokok nasional yang lebih efisien dan adil.
Namun penguatan sistem saja tidak cukup. Koperasi sejati harus mengemban prinsip “not for profit, but for benefit.” Artinya, koperasi bukan didirikan untuk mencari laba sebesar-besarnya, melainkan untuk memaksimalkan manfaat bagi anggota. Dalam koperasi, keuntungan hanyalah sarana, bukan tujuan. Karena itu, indikator keberhasilan bukanlah besar kecilnya Sisa Hasil Usaha (SHU), tetapi sejauh mana anggota menikmati harga lebih murah, pelayanan lebih baik, dan kualitas hidup meningkat. SHU hanyalah bonus, bukan tujuan utama.
Agar keadilan ekonomi terwujud, pembagian SHU juga harus bersifat resiprokal. Sistem buy more and invest more, get more. Anggota yang aktif bertransaksi dan berinvestasi mendapatkan bagian lebih besar. Mekanisme seperti ini bukan hanya adil, tetapi juga menjadi instrumen de-ofisialisasi koperasi dan mendorong agar KDMP perlahan lepas dari pola top-down dan benar-benar tumbuh sebagai gerakan warga.
Satu hal lagi yang sering diabaikan adalah pentingnya pendidikan koperasi dan profesionalisasi manajemen. Semua koperasi besar dunia selalu menempatkan pendidikan anggota sebagai pilar utama. Di Jepang, setiap anggota koperasi wajib memahami prinsip, hak, dan kewajiban koperasi. Di Kanada, pelatihan manajemen menjadi syarat mutlak sebelum koperasi menerima fasilitas pembiayaan. Sayangnya, di Indonesia, pendidikan koperasi sering kali dianggap pelengkap.
Dalam proyek KDMP, pendampingan kelembagaan dan pelatihan anggota harus berjalan seiring dengan pembangunan fisik. Sebab tanpa manusia yang terdidik dan manajemen profesional, bangunan megah pun tidak akan menghasilkan manfaat.
Sementara itu, untuk menopang skala nasional, permodalan KDMP tidak semestinya hanya mengandalkan dana hibah atau bantuan proyek. Pemerintah dapat menggunakan mekanisme inbreng aset negara atau Penyertaan Modal Negara (PMN) sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1998, disertai dengan insentif fiskal bagi koperasi yang berorientasi sosial sebagaimana praktik di Singapura dengan diberikan insentif dalam pajak maupun kebijakan trade off.
Lebih penting dari modal finansial, adalah modal sosial. Kepercayaan anggota, solidaritas ekonomi, dan komitmen bersama. Tanpa itu, fasilitas fisik hanya menjadi beban. Kita harus menempatkan KDMP bukan sebagai proyek negara, melainkan sebagai gerakan ekonomi rakyat yang terorganisir.
Negara boleh hadir, tetapi bukan untuk mengendalikan. Tugas negara adalah menciptakan ekosistem yang kondusif melalui regulasi, infrastruktur pendukung, dan pendidikan agar koperasi tumbuh secara otonom. Koperasi sejati adalah alat rakyat untuk mengorganisasi kekuatan ekonominya sendiri, bukan perpanjangan tangan birokrasi.
Membangun koperasi berarti membangun kesadaran, bukan hanya bangunan. Gedung bisa berdiri dalam hitungan bulan, tetapi organisasi yang kuat membutuhkan proses pembelajaran, partisipasi, dan kedewasaan politik ekonomi. Karena itu, dalam pelaksanaan dua Inpres terbaru ini, pemerintah sebaiknya menyeimbangkan antara pembangunan fisik dan pembangunan organisasi.
Keduanya penting, tetapi urutannya harus benar. Organisasinya dan bangunan fisik gedungnya harus berjalan seiring. Sebab koperasi sejati tidak hidup dari tembok dan genteng, melainkan dari manusia dan cita-cita bersama untuk hidup lebih adil dan berdaulat.
Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
BERITA TERKAIT: