APBD DKI 2026 yang tadinya gagah di angka Rp95 triliun, kini nyungsep menjadi Rp79 triliun. Dalam sekejap, ruang gerak Pemprov DKI mengecil, sementara tuntutan kota tetap menggunung: transportasi, sosial, pendidikan, dan ego birokrasi yang gemuk.
Jakarta tiba-tiba harus belajar hidup tanpa bantuan besar dari pusat. Benar kata pepatah zaman dulu, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.
Di sinilah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung akan diuji sebenar-benarnya -- bukan dalam retorika -- tapi dalam nyali memangkas “lemak” di tubuh pemerintahannya sendiri demi kepentingan rakyat Jakarta.
Ini bukan sekadar soal hitung-hitungan angka. Ini soal kemampuan mengelola keterbatasan tanpa kehilangan arah pembangunan dan rasa keadilan sosial.
Pemerintahan Gemuk, Fiskal CekakSelama ini, birokrasi dan pejabat politik DKI hidup dalam zona nyaman. Anggaran besar tak ada habisnya: perjalanan dinas berlapis, tunjangan melimpah, dan program simbolik lainnya yang lebih banyak membakar kertas ketimbang menyentuh dan berdampak luas bagi rakyat.
Kini, kenyamanan itu harus berakhir. Pemangkasan DBH ini adalah tamparan keras agar Pemprov DKI menurunkan kadar gula dalam darah anggarannya.
Pramono sudah mulai memangkas biaya perjalanan dinas dan konsumsi rapat -- langkah kecil yang baik, tapi itu baru permulaan dan tidak cukup mengurangi defisit Rp15 triliun.
Kalau mau selamat, Jakarta harus berani lebih dari sekadar diet ringan dan minum obat penyembuh luka. Ia butuh operasi besar: memangkas tunjangan yang tak rasional, menghapus kegiatan seremonial yang menguras kas, dan menunda proyek yang hanya menambah citra tapi tak berdampak sosial.
Sebab percuma bicara “Jakarta Maju” kalau 40 persen belanjanya habis untuk hal-hal yang tidak produktif.
Subsidi Transportasi: Saatnya Dikaji UlangMasalah lain yang jarang disentuh adalah subsidi transportasi publik. Jakarta boleh bangga punya Transjakarta, MRT, dan LRT. Tapi di balik itu, setiap perjalanan Rp3.500 yang dibayar warga, ada Rp15.000 uang rakyat lain yang disubsidi.
Setiap hari, dua juta penumpang naik Transjakarta. Itu berarti Rp30 miliar subsidi per hari -- Rp 10 triliun setahun, hanya untuk satu moda transportasi.
Tambahkan lagi dengan subsidi MRT (Rp592 miliar) dan LRT (Rp296 miliar), maka Jakarta sesungguhnya sedang membakar uang dalam skala besar -- demi mendorong peralihan mobilitas di jalan raya.
Apakah subsidi itu perlu? Tentu perlu -- tapi bukan untuk semua orang.
Mengapa pengendara mobil pribadi yang kebetulan naik bus sekali-sekali harus ikut menikmati subsidi yang seharusnya ditujukan bagi buruh, pelajar, atau warga miskin?
Inilah saatnya Pramono berani mengambil keputusan tidak populer: merubah subsidi universal menjadi subsidi tertarget.
Bukan berarti subsidi harus dihapus. Transportasi publik adalah hak sosial dan instrumen mobilitas ekonomi warga. Tapi skema subsidi terbuka (universal) seperti sekarang tidak relevan di tengah tekanan fiskal yang begitu tinggi.
Pemerintah perlu mengarah pada subsidi tertarget, misalnya hanya untuk pengguna yang terdaftar sebagai penerima bantuan sosial atau berpenghasilan rendah. Dengan demikian, prinsip keadilan tetap terjaga tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal.
Subsidi tanpa arah tidak hanya membebani kas daerah, tapi juga menghalangi keadilan sosial.
PAD Bocor, PAD DiserobotJakarta pun tak kekurangan sumber daya. Yang kurang hanya kemauan menutup kebocoran. Temuan Pansus Parkir DPRD DKI mengungkap potensi kebocoran Rp1 triliun per tahun hanyalah satu contoh kecil. Setiap jengkal lahan milik Pemda -- dari pasar, terminal, hingga gedung parkir -- sering berubah jadi ladang uang bagi oknum dan jaringan pengelola ilegal.
Padahal, dengan manajemen modern dan sistem digital, potensi PAD dari sektor parkir, reklame, hingga sewa aset bisa menutup sebagian besar kekurangan akibat pemangkasan DBH.
Namun yang terjadi: kebocoran tetap dibiarkan, laporan audit berhenti di meja, dan publik hanya bisa menonton uangnya menguap bersama panas aspal Jakarta.
Kalau Pramono serius bicara efisiensi, inilah saatnya ia membersihkan sistem tata kelola parkir dan reklame liar yang bertebaran di Kawasan Ketat Pengendalian Reklame, bukan sekadar memangkas nasi kotak di ruang rapat.
Kemandirian Fiskal Tak Bisa DitundaSelama bertahun-tahun, DKI hidup dalam “zona nyaman”. Transfer pusat menjadi tongkat sihir yang menutupi pemborosan dan inefisiensi. Kini tongkat itu patah. Jakarta harus belajar berjalan dengan kakinya sendiri tanpa bantuan dari pusat.
Pemangkasan DBH bukanlah akhir dunia. Justru ini momentum untuk membuktikan bahwa Jakarta bisa mandiri -- bukan hanya dalam ekonomi, tapi juga dalam pengelolaan keuangan publik.
Langkah-langkah konkret yang perlu dilakukan jelas:
- Pangkas belanja beserta tunjangan para birokrat dan pejabat, bukan program rakyat.
- Targetkan subsidi, bukan sembarang digelontorkan.
- Kejar PAD bocor, bukan menaikkan pajak.
- Perkuat transparansi, bukan sekadar efisiensi di atas kertas.
Menutup dengan KeberanianSetiap krisis akan melahirkan pilihan: menjadi korban, atau menjadi pembaharuan. Pemangkasan Rp15 triliun ini bisa menjadikan Jakarta kelimpungan, atau justru membuatnya lebih sehat dan tangguh.
Kini bola panas ada di tangan Mas Pram.
Apakah beliau akan menjadi gubernur yang berani mengiris lemak di tubuh Pemprov demi menyelamatkan keuangan rakyat -- atau sekadar duduk di singgasana sambil menunggu bantuan pusat berikutnya?
Karena dalam politik fiskal, keberanian jauh lebih penting dan lebih mahal dari sekadar angka. Jakarta akan diuji -- bukan oleh krisis, tapi oleh pilihan.
Rio A. Putra Juru Bicara Koalisi Warga Jakarta untuk Keadilan
BERITA TERKAIT: