Kondisi ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, melainkan hasil dari disharmoni regulasi antara UU Minerba dan UUPA. UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menarik kembali kewenangan perizinan ke pemerintah pusat. Padahal, kekhususan Aceh semestinya memberi ruang untuk menyusun aturan pelaksana yang sesuai dengan konteks lokal. Kekosongan hukum akibat ketidakselarasan itu melahirkan rantai persoalan panjang berupa penambangan tanpa izin (PETI), konflik sosial di lapangan, dan kerusakan lingkungan yang semakin meluas.
Dalam konteks inilah, DPC APRI Aceh Selatan menegaskan pentingnya penyusunan Qanun Aceh tentang Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB). Qanun bukan hanya produk hukum daerah, melainkan instrumen strategis untuk menata kembali tata kelola tambang rakyat, menyelaraskan kewenangan antara pusat dan Aceh, serta memberikan kepastian hukum bagi puluhan ribu penambang rakyat yang selama ini terpinggirkan.
Kekacauan Regulasi dan Beban di Lapangan
Perbedaan tafsir antara pusat dan Aceh menjadi sumber utama stagnasi. UU Minerba menyatakan bahwa izin pertambangan rakyat hanya dapat diterbitkan setelah wilayahnya ditetapkan oleh pemerintah pusat. Ini berarti bupati dan gubernur kehilangan kewenangan yang sebelumnya diatur dalam Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 j.o. Qanun Aceh nomor 15 tahun 2017. Akibatnya, banyak penambang bekerja di lokasi yang secara sosial diakui sebagai tambang rakyat, tetapi secara hukum dianggap ilegal.
Situasi serupa terjadi dalam pengurusan SIPB. Ketidakjelasan otoritas dan prosedur membuat izin tumpang tindih, terutama untuk komoditas batuan seperti pasir, kerikil, dan tanah urug. Para pelaku usaha kecil yang tidak memiliki akses ke birokrasi pusat harus berhadapan dengan proses panjang dan mahal, sering kali berujung pada penolakan. Dalam banyak kasus, jalan pintas menjadi pilihan, membuka ruang bagi rantai informal dan praktik jual beli hasil tambang di luar sistem fiskal negara.
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), lebih dari 60 persen aktivitas tambang rakyat di Aceh berlangsung di luar mekanisme perizinan resmi. Ini bukan semata pelanggaran hukum, melainkan cerminan kegagalan regulasi yang tidak berpihak pada realitas sosial ekonomi masyarakat. Aparat penegak hukum yang turun tanpa pendekatan pembinaan hanya memperburuk keadaan, dan menambah deret kasus kriminalisasi serta mematikan sumber nafkah keluarga.
Qanun Sebagai Jalan Tengah yang Rasional
Bagi kami di APRI, penyusunan Qanun Aceh bukan bentuk pembangkangan terhadap regulasi pusat, melainkan upaya konstruktif untuk menutup celah hukum dan menghadirkan tata kelola yang lebih adil. Qanun dapat berfungsi sebagai regulatory supplementation yang melengkapi, bukan menandingi dengan menetapkan mekanisme pra-perizinan, verifikasi teknis, dan pembinaan berkelanjutan di tingkat daerah sebelum pengajuan izin ke OSS pusat.
Dengan pendekatan ini, Aceh dapat menekan tingkat penolakan izin, mempercepat birokrasi, dan mengurangi biaya transaksi yang selama ini memberatkan penambang kecil. Qanun juga penting untuk menegaskan batasan operasional IPR, misalnya luas maksimal lahan dan masa berlaku izin yang proporsional. Kejelasan terhadap mineral ikutan seperti perak atau logam lain juga perlu diatur agar penambang tidak kembali terjebak dalam status ilegal hanya karena sistem hukum tidak mengakui hasil ikutan tambangnya.
Selain itu, Qanun harus mewajibkan pembinaan, bukan sekadar formalitas administratif. Dana bagi hasil PNBP yang diterima Aceh seharusnya dapat dialokasikan sebagian untuk pelatihan teknis, teknologi ramah lingkungan, dan reklamasi pascatambang. Regulasi juga perlu memastikan tidak ada pungutan ganda terhadap penambang rakyat, cukup royalti dan iuran tetap yang sudah ditentukan pusat, sementara daerah hanya menarik retribusi atas layanan nyata seperti uji laboratorium atau sertifikasi teknis.
Dalam aspek pengawasan, Qanun harus menegaskan peran Dinas ESDM Aceh sebagai otoritas utama. Penegakan hukum perlu mengedepankan sanksi administratif di tingkat daerah sebelum melibatkan aparat penegak hukum. Dengan cara ini, negara hadir bukan sebagai penindas, melainkan fasilitator legalitas dan pembina keberlanjutan.
Pertanyaan mendasar hari ini adalah apakah pemerintah Aceh dan DPRA berani menjadikan Qanun IPR-SIPB sebagai prioritas nyata, bukan sekadar jargon kekhususan? Kekhususan Aceh tidak boleh berhenti sebagai simbol politik. Ia harus diwujudkan dalam bentuk regulasi substantif yang menyentuh kehidupan rakyat kecil.
Kami menyerukan agar Pemerintah Aceh segera memimpin inventarisasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan menyusun usulan resmi ke pemerintah pusat. DPRA harus menjadikan Qanun IPR-SIPB sebagai prioritas legislasi tahun 2026, bukan agenda pinggiran. Selain itu, dibutuhkan pembentukan unit teknis khusus pertambangan rakyat di bawah Dinas ESDM Aceh yang berfungsi sebagai pusat koordinasi antara pemerintah, penambang, akademisi, dan masyarakat sipil.
Kolaborasi dengan universitas, lembaga penelitian, dan organisasi masyarakat yang berkaitan dengan pertambangan rakyat juga menjadi keharusan agar pengelolaan tambang rakyat tidak hanya legal, tetapi juga berkelanjutan. Jika langkah ini berani diambil, Aceh akan menjadi preseden nasional yang menunjukkan bahwa otonomi khusus bisa menghadirkan keadilan ekonomi, melindungi lingkungan, dan menegaskan kedaulatan daerah dalam kerangka NKRI.
Namun, jika keberanian itu tidak muncul, maka lubang tambang rakyat akan tetap menjadi simbol ironi dimana tanah yang kaya, rakyat yang miskin, kekhususan yang dijanjikan tapi tak pernah benar-benar hadir.
Delky Nofrizal Qutni
Ketua DPC Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Aceh Selatan/ Wakil Ketua DPW APRI Provinsi Aceh
BERITA TERKAIT: