Hidup Tak Pasti di Negara yang Sakit

OLEH: REZA FAUZI NUR TAUFIQ*

Senin, 01 September 2025, 01:35 WIB
Hidup Tak Pasti di Negara yang Sakit
Penulis. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
GIORGIO Agamben membedakan antara zoe sebagai kehidupan biologis murni dan bios kehidupan yang masuk dalam ruang politik, bermartabat, dan diakui keberadaannya dalam polis (Agamben, 1995). Dalam kerangka ini, negara berfungsi bukan sekadar melindungi, melainkan juga memutuskan siapa yang layak hidup sebagai bios dan siapa yang diturunkan derajatnya menjadi sekadar zoe.

Konsep ini berakar pada figur homo sacer dalam hukum Romawi Kuno, seorang manusia yang dapat dibunuh tanpa konsekuensi hukum, tetapi tidak dapat dijadikan objek pengorbanan suci. Ia ada di dalam hukum, tetapi sekaligus dikeluarkan dari perlindungan hukum. Ia eksis, tetapi eksistensinya tanpa nilai. Dengan analogi ini, Agamben ingin menunjukkan bagaimana negara modern dapat menelanjangi warganya dari hak-hak politik, sehingga yang tersisa hanyalah tubuh biologis yang rentan untuk dilenyapkan sewaktu-waktu.

Fenomena ini paling kentara ketika negara mengaktifkan state of exception yaitu keadaan darurat di mana hukum ditangguhkan demi alasan keamanan, stabilitas, atau kepentingan politik tertentu. Menurut Agamben, inilah bentuk paling berbahaya dari kedaulatan modern, keadaan darurat yang seharusnya sementara, kini justru menjadi norma permanen dalam pengelolaan negara (Agamben, 1995). Dengan kata lain, di balik retorika demokrasi, negara menyimpan mekanisme yang memungkinkan dirinya setiap saat memperlakukan warganya hanya sebagai kehidupan telanjang.

Indonesia, dalam konstitusi dan retorika politiknya, selalu mengaku menjunjung demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia. Namun dalam kenyataan sehari-hari, kita dapat melihat bagaimana rakyat sering diposisikan sebagai bare life. Mereka bisa dibunuh tanpa keadilan, dipukuli tanpa perlindungan, bahkan dihilangkan paksa tanpa kejelasan nasib. Inilah wajah telanjang dari negara yang seharusnya melindungi, tetapi justru menelanjangi rakyatnya dari hak-hak dasar.

Logika Negara dan State of Exception

Giorgio Agamben (1995) menyebut bahwa negara modern bekerja melalui apa yang ia sebut sebagai logika pengecualian (logic of exception). Dalam kerangka ini, keadaan darurat bukanlah kondisi sementara yang benar-benar bersifat insidental, melainkan instrumen politik yang digunakan negara untuk menangguhkan hukum atas nama keamanan dan ketertiban. Ironisnya, keadaan darurat yang semestinya bersifat luar biasa justru menjadi mekanisme normal dalam tata kelola kekuasaan kontemporer. Dengan kata lain, pengecualian tidak lagi berada di pinggiran hukum, melainkan justru menjadi fondasi hukum itu sendiri.

Fenomena ini sangat kentara dalam pengalaman politik Indonesia. Kita melihat bagaimana ketika mahasiswa ditembaki gas air mata di jalanan, ketika buruh dipukuli karena menggelar aksi mogok, atau ketika orang Papua ditembak di jalan tanpa proses hukum yang jelas, logika pengecualian sedang bekerja. Dalam situasi tersebut, negara mengklaim adanya kondisi “darurat” ancaman terhadap keamanan, ketertiban, atau stabilitas nasional yang membolehkan aparat melampaui hukum formal. Aparat kemudian bertindak di luar batas legalitas, tetapi tetap mendapatkan legitimasi dari narasi kedaruratan yang diciptakan negara.

Konsekuensinya, rakyat Indonesia secara formal memang masih memiliki status sebagai warga negara dengan hak-hak yang dijamin konstitusi, tetapi secara material mereka sering ditempatkan di luar perlindungan hukum. Di sinilah Agamben berbicara tentang kondisi bare life, kehidupan telanjang yang hanya bisa dilindungi atau dimusnahkan tergantung pada keputusan penguasa. Warga negara dalam momen pengecualian diperlakukan bukan sebagai subjek hukum, melainkan sebagai tubuh biologis yang dapat dikontrol, disakiti, bahkan dihilangkan nyawanya atas nama “kepentingan negara”.

Pemikiran Agamben ini sejalan dengan Carl Schmitt yang lebih awal merumuskan konsep tentang kedaulatan. Menurut Schmitt (2024), “Sovereign is he who decides on the exception” berdaulat adalah ia yang berhak menentukan siapa yang dikecualikan dari hukum. Kedaulatan, dalam arti ini, tidak lagi sekadar berhubungan dengan pembentukan hukum, melainkan justru ditentukan oleh kemampuan untuk menangguhkan hukum. Dengan logika ini, negara berdaulat adalah negara yang mampu mendefinisikan kapan dan siapa yang berada di dalam atau di luar ranah perlindungan hukum.

Indonesia sebagai negara modern justru memperlihatkan bagaimana logika pengecualian tersebut telah terinstitusionalisasi. Ia tidak lagi sekadar hadir pada situasi darurat luar biasa, tetapi menjelma dalam praktik sehari-hari aparat negara. Tindakan represif terhadap demonstrasi, kriminalisasi aktivis, dan kekerasan di wilayah konflik bukanlah anomali, melainkan pola yang berulang. Normalisasi kekerasan negara ini menyingkap bahwa state of exception di Indonesia telah menjadi bagian inheren dari pemerintahan. Dengan kata lain, apa yang dulu dianggap pengecualian kini justru menjadi aturan tak tertulis yang mengatur relasi antara negara dan rakyatnya.

Rentetan Kehidupan Tanpa Keadilan

Tragedi paling nyata adalah ketika suara rakyat yang berserikat dan berdemonstrasi dibalas dengan kekerasan. Pada September 2019 silam, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Immawan Randi dan Yusuf Kardawi yang tewas tertembak saat aksi menolak RKUHP dan revisi UU KPK (Tempo, 2019). Kematian mereka menjadi simbol bagaimana tubuh rakyat tidak lebih berharga dibanding stabilitas politik rezim. Hingga kini, kasus tersebut tidak menemui penyelesaian yang adil. Negara membiarkan pelaku berlindung di balik seragam, seolah-olah nyawa mahasiswa hanya angka statistik dalam laporan tahunan.

Kemudian, peristiwa Kanjuruhan menegaskan logika bare life. Lebih dari 130 orang meninggal akibat gas air mata yang ditembakkan polisi ke arah tribun yang tertutup. Mereka datang untuk menonton sepak bola, tetapi pulang dalam keadaan tak bernyawa (Tempo, 2022). Tubuh-tubuh yang terhimpit, kehabisan napas, dan terbunuh oleh racun gas, menjadi saksi bisu bahwa negara menilai kehidupan biologis rakyat bisa dikorbankan demi alasan ketertiban. Proses hukum yang lemah memperlihatkan bahwa korban hanyalah “kerugian sampingan” dari sebuah logika kekuasaan yang lebih mementingkan stabilitas dibandingkan hak hidup manusia.

Di Papua, rakyat hidup dalam kondisi state of exception permanen. Penembakan sipil, penyiksaan, hingga penghilangan paksa berulang kali terjadi (Amnesty International, 2019). Orang Papua adalah warga negara secara formal, tetapi tubuh mereka diperlakukan sebagai ancaman biologis yang selalu bisa diatur, diawasi, dan dilenyapkan. Amnesty International mencatat pola penembakan di luar hukum yang berulang, dan lemahnya proses peradilan menandakan bahwa tubuh orang Papua ditempatkan dalam status homo sacer, hidup tetapi tanpa hak.

Sementara itu, peristiwa terbaru ini ialah kasus ojek online dilindas oleh mobil Brimob (Tempo, 2025) mempertegas bahwa siapa pun dapat menjadi bare life. Seorang pengemudi ojek online yang tengah bekerja mencari nafkah tewas dilindas mobil Brimob. Tidak ada jaminan bahwa kasus ini akan diproses dengan adil. Aparat bisa berdalih dengan berbagai narasi pembenaran. Dalam hal ini, tubuh rakyat kehilangan nilai dan keadilan. Ia tidak dipandang sebagai warga negara dengan hak yang harus dijaga, melainkan sekadar tubuh biologis yang nasibnya bisa ditentukan oleh roda kekuasaan.

Dari Pelindung Menjadi Ancaman

Secara normatif, kepolisian ada untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun kenyataan berbicara lain. Polisi kerap tampil bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai alat represif negara.

Kita terlalu sering melihat polisi dengan tameng, pentungan, gas air mata, bahkan senjata api. Senjata yang seharusnya digunakan untuk melawan ancaman bersenjata, justru diarahkan pada rakyat sipil yang menuntut haknya (KontraS, 2021). Polisi justru menjadi simbol ketakutan, bukan rasa aman.

Dalam banyak kasus lain misalnya, polisi berdiri di sisi kekuasaan dan modal. Mereka mengamankan proyek tambang, membubarkan aksi, dan melindungi kepentingan oligarki. Polisi menjadi instrumen kekuasaan, bukan aparat netral. Dengan demikian, praktik seperti ini mereka jalan di bawah power of tyranny, daya kekuasaan tiran yang menindas rakyat dan membungkam kritik (Mietzner, 2009).

Membayangkan Indonesia Tanpa Polisi

Pertanyaan paling radikal pun harus diajukan, apakah keberadaan polisi benar-benar masih diperlukan, jika lebih sering menjadi ancaman daripada pelindung?

Agamben mengingatkan bahwa negara selalu punya potensi menelanjangi warganya dari hak politik. Di Indonesia, polisi sering menjadi tangan kekuasaan yang mencabut nyawa, membungkam suara, dan menebar teror. Jika aparat kepolisian terus dipakai sebagai instrumen tirani, maka mungkin perlu membayangkan alternatif lain.

Barangkali, jika anggapan kita seperti ini bagaimana ketika keamanan itu dibangun dengan pendekatan komunitas, solidaritas warga, dan mekanisme kontrol sipil yang kuat (CrimethInc, 2015). Membayangkan Indonesia tanpa polisi mungkin terdengar utopis. Namun hal ini perlu menjadi dasar otokritik bagi kepolisian, bahwa selama ini fungsi mereka dikerdilkan dan hanya terkonsentrasi pada perlindungan kepentingan dominasi kekuasaan. Hal ini sudah menjadi dasar yang kuat untuk kepolisian segera berbenah, agar tidak ada anggapan yang muncul bahwa ada tidaknya mereka, kehidupan tetap berjalan sebagaimana mestinya. rmol news logo article

*Penulis adalah Co Founder Generasi Microfon 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA