Proklamasi Polisi 21 Agustus Janji Setia Kepada Republik

Dari M. Yasin, Daan Mogot dan Sukanto

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/firman-tendry-masengi-5'>FIRMAN TENDRY MASENGI</a>
OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI
  • Senin, 25 Agustus 2025, 15:25 WIB
Proklamasi Polisi 21 Agustus Janji Setia Kepada Republik
Ilustrasi. (Foto: Republika.com)
KETIKA bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sejarah mencatat bahwa bukan hanya para proklamator, pemimpin politik, atau laskar rakyat yang bergerak. Ada satu elemen negara yang segera menegaskan posisinya untuk berdiri di barisan terdepan republik: kepolisian.

Selama puluhan tahun, kepolisian Indonesia dipaksa menjadi alat kekuasaan kolonial Belanda kemudian Jepang. Pasca kemerdekaan -secara kasat mata, nampak oleh saya-  kepolisian dimanfaatkan oleh Jokowi. 

Namun hanya lima hari setelah proklamasi, polisi Indonesia menyatakan sikap dengan mengeluarkan Proklamasi Polisi pada 21 Agustus 1945. Dokumen ini menegaskan janji setia polisi kepada republik yang baru lahir, dan menjadi fondasi moral bahwa kepolisian Indonesia bukan lagi alat penjajah, melainkan penjaga kedaulatan bangsa yang secara khusus memastikan rakyat terlindungi.

Proklamasi Polisi 21 Agustus 1945: Janji Setia kepada Republik

Proklamasi Polisi tersebut berbunyi: “Kami, polisi Republik Indonesia, menyatakan dengan ini, bahwa kami berdiri di pihak rakyat dan pemerintah Republik Indonesia, serta akan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan segenap jiwa raga. Kami berjanji setia kepada negara Republik Indonesia dan akan menjalankan tugas kami sebagai polisi untuk melindungi rakyat dan menjaga ketertiban umum, demi tegaknya kemerdekaan bangsa dan tanah air.”

Pernyataan singkat namun tegas ini memiliki makna strategis. Pertama, ia menunjukkan bahwa polisi tidak ingin diidentikkan dengan kepolisian kolonial yang selama berabad-abad dipakai Belanda dan Jepang untuk mengawasi, menindas, dan mengendalikan rakyat. Kedua, proklamasi ini membuktikan bahwa polisi lahir kembali sebagai bagian dari rakyat, setia kepada negara republik, dan siap mengorbankan jiwa raga untuk kemerdekaan.

Di tengah suasana euforia dan ancaman kembalinya Belanda, proklamasi tersebut menjadi deklarasi moral sekaligus politik bahwa kepolisian adalah pilar negara yang sah.

Daan Mogot: Martir Muda dari Tangerang

Sejarah kepolisian dalam revolusi kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dari nama Daan Mogot. Lahir di Manado pada 1928, Mogot masih berusia 17 tahun ketika ia diangkat sebagai instruktur dan salah satu pendiri Sekolah Polisi Pertama di Tangerang.

Visinya jelas: mencetak kader polisi republik yang tidak hanya menguasai disiplin kepolisian, tetapi juga berjiwa nasionalis dan revolusioner. Mogot sadar bahwa kemerdekaan yang baru lahir membutuhkan polisi yang berbeda dari masa kolonial?"polisi yang berdiri untuk rakyat, bukan menindas rakyat.

Pengorbanan tertingginya terjadi pada 25 Januari 1946 dalam Peristiwa Lengkong, ketika ia dan puluhan taruna mencoba merebut senjata dari tentara Jepang. Mogot gugur bersama 35 taruna lainnya. Kematian di usia muda menjadikannya martir, bukti bahwa polisi ikut menumpahkan darah demi republik.

M. Yasin: Kapolri Pertama dan Pionir Perlawanan

Jika Mogot adalah martir muda, maka M. Yasin adalah pionir polisi republik. Lahir di Bawean, Jawa Timur, Yasin sempat menjadi perwira kepolisian Jepang (Keimubu) sebelum akhirnya mengalihkan kesetiaannya kepada Indonesia setelah 17 Agustus.

Sebagai Kapolri pertama Republik Indonesia, ia memimpin kepolisian dalam masa paling genting, ketika Belanda berusaha kembali menancapkan kolonialisme melalui agresi militer. Yasin tidak hanya mengorganisir polisi, tetapi juga terjun langsung ke medan perang. Ia terlibat dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945, ketika polisi bersama rakyat berjuang mempertahankan kota melawan pasukan Inggris dan Belanda.

Yasin menegaskan garis ideologis kepolisian: polisi bukan lagi aparatur kolonial, tetapi bagian dari rakyat. Warisannya adalah prinsip bahwa kepolisian berdiri di atas dasar nasionalisme dan keberpihakan pada republik.

Sukanto Tjokrodiatmodjo: Arsitek Polisi Modern

Nama lain yang tidak kalah penting adalah Sukanto Tjokrodiatmodjo, yang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara dari 1949 hingga 1959. Sukanto menghadapi tantangan berat: menyatukan kepolisian yang berasal dari berbagai latar belakang -eks Belanda, Jepang, dan laskar rakyat- ke dalam satu institusi yang tunduk pada negara republik.

Sukanto tidak hanya membangun organisasi, tetapi juga memperkenalkan kepolisian Indonesia ke dunia internasional. Ia memastikan bahwa polisi Indonesia berkarakter sipil -bukan militeristik- sesuai cita-cita demokrasi yang diidamkan para pendiri bangsa. Dalam konteks inilah, Sukanto menjadi arsitek kepolisian modern Indonesia.

Polisi dalam Konteks Kemerdekaan: Cermin Moral untuk Kini

Proklamasi Polisi 21 Agustus 1945, pengorbanan Daan Mogot, keberanian M. Yasin, dan visi Sukanto menunjukkan satu garis merah: polisi adalah bagian integral dari republik, lahir dari denyut rakyat, dan ikut menegakkan kemerdekaan dengan darah dan pengorbanan.

Namun, sejarah ini juga menghadirkan sebuah ironi. Di tengah perjalanan panjang republik, institusi kepolisian kerap menghadapi krisis kepercayaan publik. Kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan kekerasan berlebihan membuat citra polisi merosot di mata rakyat. Padahal, secara historis, polisi justru berdiri di sisi rakyat.

Dengan mengingat kembali Proklamasi Polisi 21 Agustus 1945, institusi ini memiliki cermin moral yang jelas: bahwa tugas utama polisi bukan sekadar menegakkan aturan administratif, tetapi juga melindungi rakyat, menjaga republik, dan menegakkan keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Kemerdekaan Indonesia tidak hanya lahir dari pidato proklamasi atau meja diplomasi, tetapi juga dari darah taruna polisi di Lengkong, keberanian Kapolri pertama di Surabaya, dan visi pemimpin kepolisian yang memodernisasi institusi ini.

Proklamasi Polisi 21 Agustus 1945 adalah tonggak sejarah yang menegaskan janji setia polisi kepada republik. Ia bukan sekadar dokumen, melainkan peringatan abadi bahwa polisi sejati adalah pelindung rakyat dan penjaga republik.

Di tengah tantangan zaman, sejarah ini adalah panggilan moral agar polisi Indonesia kembali ke fitrahnya: setia pada rakyat, taat pada hukum, dan tegak bersama republik.

Selamat Hari Bhakti Kepolisian Republik Indonesia. 21 Agustus 1945-21 Agustus 2025.rmol news logo article

*Penulis adalah advokat, aktivis ProDem.
EDITOR: ADE MULYANA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA