Jadi Pejabat Ojo Dumeh

Oleh: Makmur Sianipar*

Rabu, 20 Agustus 2025, 01:22 WIB
Jadi Pejabat <i>Ojo Dumeh</i>
Penulis. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
PADA 13 Agustus 2025, ribuan warga Pati tumpah ke jalan, bukan lagi menuntut pembatalan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sudah dibatalkan, tetapi menuntut satu hal yang lebih mendasar: pengunduran diri Bupati Sudewo. 

Aksi ini bermula dari respons arogan sang bupati terhadap protes awal kenaikan PBB sebesar 250 persen. Ia malah bersikap menantang, menyebut bahwa jangankan 5.000, 50.000 pendemo pun akan dihadapi. Tanggapan ini, yang kemudian disusul dengan tindakan membiarkan Satpol PP mengangkut bantuan air mineral dari masyarakat, menjadi pemicu kemarahan yang meluas dan tak terbendung. Bupati sempat meminta maaf dan membatalkan kebijakan tersebut, tetapi api amarah rakyat sudah terlanjur menyala.

Peristiwa di Pati ini adalah cerminan dari kegagalan komunikasi dan empati seorang pemimpin. Ia lupa bahwa kekuasaannya bukanlah milik pribadi, melainkan amanat dari rakyat. Sikap "ojo dumeh," atau mentang-mentang, seolah-olah kekuasaan adalah segalanya, adalah racun yang merusak hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin.  Seorang pemimpin harusnya hadir untuk melayani, bukan untuk dilayani. Ia harusnya menjadi jembatan, bukan tembok pemisah.
 
Apa yang terjadi di Pati adalah sebuah pesan yang sangat jelas kepada semua pejabat, dari tingkat daerah hingga pusat: jangan pernah meremehkan rakyat. Kekuatan rakyat, meskipun tampak kecil dan lemah, bisa menjadi kekuatan yang maha dahsyat ketika disatukan oleh rasa keadilan yang teraniaya. Sejarah bangsa ini mencatat, rakyat yang bersenjatakan bambu runcing mampu menghadapi meriam penjajah. Di Pati, botol air mineral menjadi simbol perlawanan yang digerakkan oleh nurani yang terluka. Ini adalah pengingat bahwa kekuasaan tidak hanya diukur dari kekuatan fisik atau militer, tetapi juga dari dukungan moral rakyat. Ketika dukungan itu hilang, kekuasaan tidak lagi memiliki makna.
 
Bupati, Gubernur, Presiden, dan pejabat lainnya dipilih oleh rakyat. Dalam proses pemilihan, mereka mengumbar janji manis, visi, dan misi yang konon akan membawa kesejahteraan. Mereka berjanji menurunkan pajak, meningkatkan layanan publik, dan membangun infrastruktur yang lebih baik. Namun, kenyataannya seringkali jauh panggang dari api. Di Pati, ironi terjadi ketika Bupati Sudewo, seperti yang disampaikan warga dalam salah satu stasiun televisi, saat kampanye berjanji menurunkan pajak, justru menaikkan PBB hingga 250 persen setelah terpilih. Janji-janji manis di atas panggung kampanye seringkali berubah menjadi kebijakan yang memberatkan rakyat di atas meja pemerintahan. Seperti kata Nikita Khrushchev, "Politisi tidak segan-segan berjanji membangun jembatan, walaupun tidak ada sungai di tempat itu".
 
Fenomena ini bukanlah hal baru. Politisi seringkali menggunakan rakyat sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Mereka tersenyum lebar, merangkul, dan seolah mendengarkan keluhan rakyat selama masa kampanye. Mereka rajin mengunjungi tempat-tempat kumuh dan terpencil, menunjukkan kepedulian yang mendalam. Namun, setelah terpilih, wajah mereka berubah. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung menguntungkan segelintir orang atau bahkan diri mereka sendiri. Kenaikan PBB, misalnya, tidak hanya menguntungkan kas daerah, tetapi juga memberikan "upah pungut" yang menjadi hak kepala daerah. Hal ini menciptakan sebuah lingkaran setan di mana pejabat berlomba-lomba menaikkan pajak untuk keuntungan pribadi, sementara rakyat semakin tercekik.
 
Saat ini, rakyat sedang menghadapi kesulitan ekonomi yang luar biasa. Harga  beras  (yang ternyata oplosan) dan kebutuhan  pokok lainnya naik. Biaya hidup terus meningkat. Di saat yang sama, berbagai pungutan pajak semakin mencekik, sementara berita tentang korupsi dan rangkap jabatan pejabat semakin marak. Kondisi ini menciptakan kesenjangan sosial yang tajam dan menumbuhkan rasa ketidakadilan yang mendalam di hati rakyat.
 
Kisah dari Pati ini adalah sebuah alarm yang berbunyi sangat nyaring. Ia mengingatkan kita bahwa rakyat memiliki batas kesabaran. Ketika batas itu terlampaui, amarah rakyat bisa menjadi kekuatan revolusioner yang mampu menggulingkan kekuasaan. Ini adalah pelajaran yang mahal, dan semoga semua pejabat di negeri ini menyadarinya. Kekuasaan bukanlah alat untuk menguasai, melainkan amanah untuk melayani.
 
Kemarahan rakyat bukan hanya soal uang, tetapi juga soal harga diri. Ketika seorang pemimpin meremehkan rakyatnya, ia tidak hanya meremehkan kekuatan finansial mereka, tetapi juga martabat mereka. Kenaikan PBB sebesar 250 persen adalah pukulan telak bagi mereka yang sudah berjuang keras untuk bertahan hidup. Respon bupati yang arogan dan menantang adalah penghinaan yang tidak bisa dimaafkan.
 
Kemarahan rakyat  Pati ini  menandai  akhir dari sebuah era di mana pejabat bisa berkuasa tanpa rasa hormat kepada rakyat. Era di mana janji-janji kampanye hanya sekadar retorika kosong. Rakyat Pati telah menunjukkan kepada kita bahwa mereka tidak akan lagi diam. Mereka akan bangkit, bersatu, dan melawan. Kekuatan mereka bukan pada jumlahnya, tetapi pada kebenaran yang mereka perjuangkan.
 
Pati menjadi cermin bagi seluruh Indonesia. Ini adalah peringatan bahwa "rakyat" bukanlah sekadar kata dalam pidato, tetapi entitas hidup yang memiliki hak untuk dihormati dan dilayani. Jadi pejabat itu "ojo dumeh". Jangan mentang-mentang, jangan sombong. Karena pada akhirnya, kekuasaan yang tidak berakar pada dukungan rakyat akan tumbang.
 
Kasus Pati menyimpan pelajaran yang seharusnya menjadi panduan bagi pejabat di seluruh Indonesia. Pertama, kekuasaan adalah titipan, bukan hak istimewa. Jabatan lahir dari mandat rakyat dan dapat diambil kembali, baik lewat mekanisme formal maupun lewat tekanan sosial-politik. Kedua, kebijakan harus mempertimbangkan daya tahan rakyat. Pajak, pungutan, atau kebijakan ekonomi yang memberatkan di saat ekonomi sulit akan selalu dipandang sebagai tindakan zalim.
 
Ketiga, komunikasi menentukan nasib politik. Ucapan yang meremehkan rakyat adalah bunuh diri politik. Pemimpin harus memilih kata dengan hati-hati, apalagi di tengah  situasi ekonomi yang semakin sulit. Keempat,  jangan menunggu sampai rakyat marah. Perbaikan kebijakan yang dilakukan setelah amarah memuncak jarang memulihkan kepercayaan. Pencegahan selalu lebih murah daripada pemulihan. Kelima, “ojo dumeh” sebagai prinsip kerja. Pepatah Jawa ini sederhana, tapi relevan: jangan pernah merasa lebih tinggi, lebih berkuasa, atau lebih penting daripada rakyat yang Anda layani.
 
Pati telah mengirimkan peringatan keras: ketika kesabaran rakyat habis, simbol sederhana seperti botol air mineral bisa berubah menjadi panji perlawanan. Tidak ada aparat, pagar, atau protokol yang cukup kuat untuk menghentikan rakyat yang bergerak dengan hati nurani. rmol news logo article
 
*Penulis adalah  Advokat  & Konsultan Hukum, Senior Fellow Research Institute for Ethical Business and  Political  Leadership Development (Rebuild)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA