Di tengah proses hukum yang bergulir, muncul pertanyaan mendasar: apakah proses penetapan tersangka dan pemeriksaan terhadap Hasto telah menghormati hak-hak dasar tersangka sebagaimana dijamin oleh hukum?
Awal Kasus dan Perjalanan PersidanganKasus ini berakar dari dugaan suap terhadap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
Hasto dituding turut mengetahui, bahkan terlibat dalam skema tersebut. Ia juga diduga menghalangi penyidikan dengan menyembunyikan alat bukti berupa ponsel, yang disebut dilakukan oleh ajudannya.
Sejak pengajuan Pra Peradilan Hasto menolak seluruh dakwaan, menyatakan dirinya tidak memiliki motif pribadi, dan menegaskan bahwa tindakan-tindakan yang dituduhkan terjadi saat ia belum menjadi tersangka. Namun, majelis hakim menolak Pra Peradilan dan Eksepsinya. Perkara tetap disidangkan.
Miranda Rules: Hak Konstitusional yang Terabaikan?
Dalam sistem hukum Amerika Serikat, Miranda Rules mewajibkan penegak hukum untuk memberitahu tersangka hak-haknya saat ditahan atau diperiksa, termasuk:
Hak untuk diam (
right to remain silent); Hak untuk tidak menginformasikan apa pun yang memberatkan dirinya (
right against self-incrimination); dan Hak untuk didampingi pengacara.
Prinsip ini diadopsi secara substantif dalam hukum Indonesia, meski tak dinamakan Miranda. Dalam KUHAP dan konstitusi, misal: Pasal 56 KUHAP menjamin hak atas penasihat hukum, Pasal 175–177 KUHAP memberi hak untuk tidak menjawab pertanyaan yang memberatkan, dan Putusan MK No. 16/PUU-VIII/2010 menegaskan hak bantuan hukum sejak tahap penyidikan.
Dalam konteks Hasto, penggeledahan dan penyitaan alat komunikasi ajudannya dilakukan saat Hasto belum dipanggil secara resmi sebagai tersangka, dan tidak diberi tahu hak-haknya sebagaimana mestinya. Ini melanggar semangat Miranda Rules dan asas
due process of law.
In Dubio Pro Reo: Prinsip Keadilan UniversalAsas in dubio pro reo mengajarkan bahwa keraguan harus berpihak pada terdakwa. Dalam perkara Hasto, tuduhan
obstruction of justice masih bersifat asumtif:
Tidak ada bukti Hasto secara langsung memerintahkan penghilangan barang bukti. Tidak ditemukan aliran dana atau bukti kuat komunikasi Hasto dengan Wahyu Setiawan.
Maka, jika bukti-bukti yang ada masih ambigu dan tidak memenuhi syarat beyond
reasonable doubt, maka seharusnya pengadilan berpihak pada kebebasan terdakwa.
Kasus Sejenis Beda PenangananPertama, Kasus Setya Novanto vs KPK (2017) – Dalam praperadilan awal, status tersangka Setya Novanto dibatalkan karena KPK dinilai melanggar prosedur formil. Ini membuktikan bahwa kekuatan bukti dan prosedur tetap harus berimbang.
Kedua, Kasus Susno Duadji (2010) – Tersangka
obstruction of justice karena memerintahkan pencabutan penyelidikan. Namun, karena tidak ada bukti instruksi eksplisit dan prosedur pemeriksaan cacat, sebagian tuduhan gugur.
Ketiga, Kasus Syahrial vs KPK (2022) – Wali Kota Tanjungbalai ditetapkan sebagai tersangka
obstruction karena terbukti aktif menghalangi penyidikan. Dalam kasus ini, terdapat bukti langsung berupa komunikasi dan transfer uang. Ini kontras dengan kasus Hasto.
Alasan Hasto Patut DibebaskanProsedur penetapan tersangka dan pemeriksaan cacat hukum: tidak disertai pemenuhan hak tersangka sebagaimana prinsip Miranda Rules.
Bukti tak cukup kuat dan tak memenuhi standar pembuktian ketat. Tidak ada motif pribadi atau keuntungan langsung.
Penerapan asas
in dubio pro reo seharusnya membebaskan Hasto dari dakwaan yang belum terkonfirmasi secara materiil.
Hukum harus menjaga/melindungi martabat manusia, ia harus berpihak pada keadilan, bukan pada tekanan politik atau asumsi. Hasto Kristiyanto berhak atas pengadilan yang adil, transparan, dan konstitusional, dan jika tak cukup bukti ia layak untuk dibebaskan.
*Penulis adalah aktivis 98
BERITA TERKAIT: