Pendidikan militer ini dirancang untuk anak-anak yang terlibat dalam perilaku buruk seperti tawuran, menjadi anggota geng motor, mengonsumsi alkohol, kecanduan gim daring, atau sering bolos sekolah.
Secara sekilas, kebijakan ini tampak sebagai upaya solutif dan tegas dari pemerintah daerah untuk menyelamatkan generasi muda dari perilaku yang keliru. Namun, apabila kita menilik lebih dalam dari sudut pandang pedagogis, psikologis, dan sosiologis, pendekatan militer terhadap anak-anak “bermasalah” ini bukan hanya tidak tepat, melainkan juga berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar pendidikan.
Segregasi dan Potensi Diskriminasi dalam Pendidikan
Kebijakan mengirim anak-anak ke barak militer menunjukkan kecenderungan segregatif dalam dunia pendidikan. Anak-anak yang dianggap “nakal” seolah-olah tidak layak lagi menerima pendidikan reguler di sekolah umum dan harus dipisahkan ke institusi dengan pendekatan militeristik. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip inklusivitas pendidikan, di mana setiap anak, tanpa kecuali, memiliki hak yang sama untuk belajar dan berkembang sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
Segregasi ini bukan hanya menyakitkan secara psikologis bagi anak-anak, tetapi juga membangun stigma sosial yang merugikan mereka dalam jangka panjang. Alih-alih menyelesaikan masalah, pendekatan ini justru dapat menambah luka psikologis dan memperkuat rasa keterasingan sosial.
Akar Masalah Kenakalan RemajaDalam memahami kenakalan remaja, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan anak-anak sebagai satu-satunya pihak yang keliru. Kenakalan yang muncul kerap kali merupakan hasil dari berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Lingkungan keluarga yang keras, kemiskinan, kurangnya perhatian orang tua, pergaulan negatif, hingga warisan budaya kekerasan, semuanya menjadi faktor pemicu munculnya perilaku menyimpang.
Setiap anak memiliki latar belakang, pengalaman, dan luka batin yang berbeda. Maka pendekatannya pun harus disesuaikan secara individual. Pendidikan bukan tentang mendisiplinkan tubuh semata, tetapi tentang menyentuh dan menyembuhkan luka-luka batin yang kerap tersembunyi di balik perilaku yang dianggap “nakal”.
Disiplin: Antara Kesadaran dan KetakutanDalam dunia pendidikan, disiplin bukanlah hasil dari tekanan atau perintah militeristik. Disiplin sejati lahir dari kesadaran, bukan ketundukan. Pendidikan sejatinya adalah ruang aman untuk bertumbuh, berefleksi, dan memahami diri. Jika seorang anak hanya menurut karena takut dihukum, maka yang dibentuk bukanlah pribadi yang bijak, melainkan pribadi yang kehilangan daya kritis.
Kebijakan pendidikan yang menekankan pada ketakutan akan menciptakan generasi yang tunduk namun tidak merdeka. Generasi yang tidak diajarkan untuk berpikir dan mengambil keputusan, melainkan hanya mengikuti perintah. Inilah benih dari masyarakat yang otoriter, bukan demokratis.
Kekeliruan Epistemologis dalam Pendekatan MiliterLebih dari sekadar tidak tepat, kebijakan ini juga keliru secara epistemologis. Pendekatan militer melihat manusia, dalam hal ini anak-anak, sebagai objek yang perlu dikontrol, bukan subjek yang memiliki kehendak dan potensi untuk berkembang. Pandangan ini berlawanan dengan prinsip-prinsip dasar pendidikan modern yang memandang peserta didik sebagai individu yang harus diberdayakan, bukan dikendalikan.
Dengan pendekatan seperti ini, kita tidak sedang membentuk warga negara yang merdeka, melainkan warga negara yang patuh karena takut. Sebuah masyarakat yang dibentuk berdasarkan rasa takut, pada akhirnya tidak akan pernah benar-benar merdeka. Rasa takut itu akan diwariskan, dan menghasilkan generasi yang juga membungkam orang lain seperti mereka pernah dibungkam.
Alternatif Pendekatan HumanisDaripada mengambil jalan pintas dengan pendekatan militer, pemerintah seharusnya mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dan edukatif. Pendekatan yang dimulai dengan mendengarkan, bukan menghukum. Anak-anak harus diberi ruang untuk bercerita, untuk jujur, dan untuk memahami rasa yang selama ini mungkin tidak pernah dimengerti, bahkan oleh mereka sendiri.
Sekolah harus menjadi tempat di mana kesalahan adalah bagian dari proses belajar, bukan dosa yang harus ditebus dengan hukuman berat. Dalam konteks ini, peran guru dan tenaga pendidik sangat penting. Sayangnya, saat ini banyak guru kehilangan otonomi untuk benar-benar “mendidik” karena kurangnya perlindungan hukum dan jaminan profesi.
Sebelum menerapkan kebijakan ekstrem seperti pendidikan militer, alangkah baiknya jika pemerintah daerah memperkuat sistem pendidikan yang sudah ada. Misalnya dengan mengoptimalkan peran Bimbingan Konseling (BK) di sekolah, memperkuat pelatihan guru dalam menangani perilaku anak, serta menjamin perlindungan hukum bagi tenaga pendidik dalam menjalankan tugasnya.
Refleksi untuk Para Pembuat KebijakanSebagai pemangku kepentingan, Gubernur seharusnya tidak mengambil kebijakan sepihak tanpa melalui diskusi yang komprehensif dengan para pakar dan praktisi pendidikan. Dunia pendidikan adalah dunia yang kompleks dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan logika “perintah dan patuh”.
Pendidikan adalah proses jangka panjang yang menuntut kesabaran, ketekunan, dan komitmen untuk terus berpihak pada anak-anak, bukan pada ketertiban semu.
Mengedepankan pendidikan berbasis cinta, empati, dan kesetaraan adalah investasi jangka panjang yang jauh lebih berdampak dibandingkan mengandalkan ketertiban berbasis rasa takut. Ketika anak-anak diberi ruang untuk menjadi diri mereka sendiri, untuk bertumbuh dan memahami dirinya, di situlah pendidikan mencapai tujuannya yang hakiki.
PenutupMengirim pelajar ke barak militer mungkin tampak sebagai solusi cepat bagi masalah kompleks. Namun, justru karena kompleksitas itulah kita memerlukan pendekatan yang lebih mendalam, manusiawi, dan berkelanjutan. Pendidikan sejati tidak membentuk ketundukan, tetapi kesadaran. Tidak melahirkan ketertiban semu, tetapi tanggung jawab yang lahir dari pemahaman dan kasih. Pendidikan adalah ladang pertumbuhan, bukan bengkel perbaikan.
Mari kita rawat anak-anak kita dengan kasih, bukan dengan ketakutan.
*Penulis adalah Sekjen Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Yogyakarta
BERITA TERKAIT: