Galangan Kapal: Industri Anti-Robot?
Jangan salah paham. Saya bukan menolak kemajuan teknologi. Namun data mengungkapkan fakta menarik: industri galangan kapal memiliki karakteristik unik yang membuatnya relatif resisten terhadap otomatisasi penuh. Menurut studi McKinsey Global Institute (2025), hanya 22-28 persen pekerjaan di galangan kapal yang dapat sepenuhnya diotomatisasi dalam 15 tahun ke depan. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan industri manufaktur elektronik (60-65 persen) dan otomotif (55-60 persen).
Mengapa demikian? Hasil survei lapangan di 15 galangan kapal utama Indonesia selama 2023-2025 memberikan jawabannya. Pembangunan kapal melibatkan variabilitas tinggi, kompleksitas struktural, integrasi sistem rumit, dan customization yang membutuhkan sentuhan manusia. Anda tidak bisa memproduksi kapal dengan assembly line standar seperti smartphone atau mobil.
Faktanya di lapangan, untuk proses pembangunan kapal, sistem robotik pengelasan yang saat ini ada hanya mampu dilaksanakan untuk pengelasan lurus vertikal atau horizontal (posisi 1G-2G). Yang mana kita ketahui untuk kualifikasi welder sendiri terdiri dari 1G hingga 6GR, dari mulai pengelasan plat datar sampai dengan pengelasan brace atau pipe untuk industri oil & gas yang merupakan bagian dari industri maritim. Pengelasan pada sambungan kompleks seperti posisi overhead (4G), horizontal-curved, atau sambungan pipe dengan sudut 45° (6G) masih membutuhkan keahlian dan adaptabilitas welder manusia.
Lebih jauh lagi, pemeriksaan hasil kinerja fit-up atau pengecekan visual welding masih harus dilakukan secara manual oleh inspektor berpengalaman. Mata terlatih seorang quality control mampu mendeteksi porositas, incomplete fusion, atau cacat las tersembunyi yang sering terlewat oleh sistem otomatis. Saya rasa robotik masih sangat jauh untuk dapat menggantikan fungsi ini dalam industri galangan kapal.
Pengujian 120 sambungan las kompleks di laboratorium BRIN (2024) menunjukkan bahwa welder berpengalaman masih menghasilkan sambungan 23 persen lebih kuat dan 31 persen lebih tahan fatigue dibandingkan sistem otomatis terbaru. Ini bukan romantisme kemampuan manusia, ini adalah data empiris yang menunjukkan bahwa dalam konteks tertentu, keterampilan manusia tetap unggul.
Upah Layak dan Multiplier Effect
Industri galangan kapal bukan sekadar tempat berteduh dari badai otomatisasi. Ini adalah sektor yang menawarkan upah layak. Data dari survei di 15 galangan utama (2024-2025) menunjukkan bahwa 55 persen tenaga kerja di sektor ini menerima upah minimal 2,3 kali UMP. Seorang welder bersertifikasi mendapatkan rata-rata Rp9,8 juta per bulan, fitter ahli Rp8,5 juta, dan teknisi permesinan Rp8,2 juta.
Bandingkan dengan industri tekstil, di mana berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (2024), hanya 12% pekerja yang menerima upah di atas 2 kali UMP.
Dampak ekonomi galangan kapal juga menyebar luas. Studi di Batam menunjukkan bahwa setiap satu pekerjaan di galangan kapal menciptakan 2,4 pekerjaan lain di sektor pendukung. Secara keseluruhan, multiplier effect-nya 2,7-3,2—jauh lebih tinggi dibandingkan industri manufaktur konvensional (1,8-2,3) dan ekstraktif (1,2-1,5).
Di Batu Ampar, Batam, 27 persen dari 230 UKM logam didirikan oleh mantan karyawan galangan kapal. Ini adalah industri yang melahirkan wirausahawan dan mendorong tumbuhnya ekosistem bisnis pendukung.
Status Quo yang Memprihatinkan
Meskipun potensial, kondisi industri galangan kapal Indonesia saat ini jauh dari optimal. Menurut data Kementerian Perindustrian (2025), Indonesia memiliki 250 galangan kapal dengan kapasitas produksi total 1,2 juta DWT, namun utilisasinya hanya 42 persen. Jika kita telisik data lebih awal dari Iperindo (Indonesian Shipbuilding and Offshore Association) tahun 2018, jumlah galangan kapal di Indonesia tercatat sebanyak 165 unit. Peningkatan jumlah galangan ini menunjukkan pertumbuhan, namun belum diimbangi dengan efisiensi produktivitas dan penyerapan pasar domestik.
Yang menarik, jika melihat data INSA (Indonesia National Shipowners Association) tahun 2018, terdapat kurang lebih 1.600 perusahaan pelayaran yang beroperasi di Indonesia. Kesenjangan antara jumlah galangan kapal (165 pada 2018) dengan jumlah perusahaan pelayaran potensial (1.600) menunjukkan adanya ketimpangan pasokan dan permintaan domestik yang belum terkoneksi secara optimal. Ironisnya, meskipun memiliki basis konsumen domestik yang besar, galangan kapal Indonesia masih kesulitan mendapatkan pangsa pasar yang seharusnya menjadi captive market.
Dari Global Shipbuilding Competitiveness Index 2025, Indonesia berada di peringkat 12 dari 20 negara produsen kapal utama, dengan skor 42,7/100—jauh di bawah Korea Selatan (89,3), Tiongkok (87,5), dan bahkan Vietnam (53,1).
Ironis, Indonesia hanya mampu memenuhi 15% kebutuhan kapal niaganya sendiri. Defisit ini berkontribusi signifikan terhadap defisit neraca jasa transportasi yang mencapai USD 12,7 miliar pada 2024 (Bank Indonesia, 2025). Kita adalah negara kepulauan terbesar di dunia, namun kita bergantung pada negara lain untuk kapal-kapal kita.
Belajar dari Tetangga
Tetangga kita Vietnam yang baru memasuki industri galangan kapal sekitar 15 tahun lalu, kini menguasai 12 persen pasar global untuk kapal kontainer feeder 1.000-2.500 TEU (Vietnam Shipbuilding Industry Group, 2025). Bagaimana mereka melakukannya?
Vietnam fokus pada segmen pasar strategis, membangun joint venture dengan galangan terkemuka dari Jepang dan Korea, menerapkan kebijakan konten lokal bertahap (dari 30 persen di 2015 menjadi 60 persen di 2025), dan berinvestasi besar pada pengembangan SDM. Vietnam College of Maritime Engineering melatih 5.000 teknisi maritim per tahun dengan kurikulum yang dikembangkan bersama industri.
Korea Selatan, pemimpin global industri galangan kapal, berhasil melalui kebijakan pemesanan nasional yang mewajibkan entitas domestik memesan kapal dari galangan lokal. Export-Import Bank of Korea menyediakan pembiayaan ekspor dengan suku bunga 2-3 persen di bawah pasar dan tenor hingga 12 tahun. Pada 2024, fasilitas ini mencapai USD 12,7 miliar, mendukung 63% dari total ekspor kapal Korea.
Lima Langkah Strategis
Berdasarkan analisis komprehensif, saya mengusulkan lima langkah strategis untuk transformasi industri galangan kapal Indonesia:
Pertama, konsolidasi dan spesialisasi. Kita perlu merestrukturisasi industri melalui merger dan akuisisi untuk menciptakan 5-7 konglomerat galangan kapal dengan kapasitas minimal 200.000 DWT. Sekaligus, kita perlu fokus pada segmen pasar di mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif: kapal tanker produk 10.000-50.000 DWT, kapal kontainer feeder, kapal penumpang antar-pulau, dan kapal patroli.
Kedua, lokalisasi rantai pasok. Saat ini, 65-70 persen komponen kapal masih diimpor. Kita perlu membentuk klaster industri komponen dengan target meningkatkan kandungan lokal dari 35 persen menjadi 65 persen dalam 10 tahun. Program substitusi impor terkoordinasi dengan tax holiday 10 tahun untuk produsen komponen strategis (propulsi, navigasi) dapat menjadi stimulus awal.
Ketiga, revolusi pembiayaan maritim. Suku bunga kredit investasi 8-10 persen di Indonesia (versus 3-5 persen di Korea Selatan) menghambat daya saing. Pembentukan Maritime Development Fund dengan kapasitas USD 3 miliar sebagai pendukung pembiayaan ekspor dengan suku bunga kompetitif (3-4 persen) menjadi keharusan. Kebijakan pemesanan nasional yang mewajibkan BUMN dan pemerintah memesan kapal dari galangan lokal juga perlu segera diterapkan.
Keempat, akselerasi pengembangan SDM. Data menunjukkan defisit signifikan welder bersertifikasi internasional, desainer kapal, dan insinyur sistem. Kita perlu membentuk Maritime Skills Development Centers di 5 lokasi strategis dengan target melatih 15.000 tenaga ahli per tahun. Reformasi kurikulum vokasi maritim dengan pendekatan dual-system (70 persen praktik) menjadi kunci keberhasilan.
Kelima, penguatan inovasi dan transfer teknologi. Pembentukan National Maritime Research Center dengan pendanaan publik-swasta sebesar Rp1,5 triliun untuk periode 2025-2030 dapat menjadi katalisator inovasi maritim. Insentif R&D berjenjang dengan pengurangan pajak hingga 300% untuk pengeluaran R&D maritim akan mendorong industri berinvestasi pada inovasi.
Proyeksi dan Penutup
Model ekonometrik yang dikembangkan menggunakan data panel 2015-2025 memproyeksikan bahwa implementasi strategi komprehensif ini akan meningkatkan kapasitas produksi dari 1,2 juta DWT (2025) menjadi 5,2 juta DWT (2040), menciptakan 450.000 lapangan kerja baru dengan upah rata-rata 2,3 kali UMP, dan meningkatkan kontribusi sektor ini terhadap PDB dari 0,8 persen menjadi 4,5 persen.
Hal ini yang tentunya harus diperhatikan oleh semua stakeholder agar mampu melihat industri galangan kapal sebagai peluang strategis. Jangan kita terjebak dengan fokus terhadap ancaman yang muncul dari isu AI dan kemajuan teknologi robotik. Melainkan, kita perlu fokus kepada industri yang memang mampu menjadi tulang punggung ekonomi ke depan. Justru dalam banyak aspek, keterbatasan otomatisasi dalam industri maritim adalah peluang besar untuk penyerapan tenaga kerja terampil Indonesia.
Lebih menarik lagi, kebijakan yang dilontarkan Amerika terkait tarif perdagangan justru bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan posisi tawar yang cukup tinggi ke depannya.
Tarif reciprocal sebesar 32 persen yang diterapkan Amerika terhadap Indonesia (berdasarkan data Presiden AS 2025) seharusnya tidak dilihat sebagai hambatan, tetapi stimulus untuk membangun industri maritim nasional yang lebih mandiri dan berdaya saing global. Tentunya dengan mempersiapkan industri maritim sebagai ujung tombak ekonomi negara, Indonesia dapat mengubah tantangan perang dagang menjadi katalis pertumbuhan.
Industri galangan kapal bukanlah nostalgia kejayaan masa lalu, melainkan pilihan rasional dan strategis untuk masa depan ekonomi Indonesia. Di tengah ketidakpastian global yang dipicu oleh perang dagang dan disrupsi teknologi, kita memiliki peluang untuk memposisikan Indonesia sebagai kekuatan maritim yang diperhitungkan.
Namun, ini membutuhkan perubahan paradigma fundamental. Tanpa intervensi kebijakan komprehensif, industri galangan kapal Indonesia akan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan inovasi dan daya saing rendah, sementara potensi penciptaan ratusan ribu lapangan kerja berkualitas terbuang sia-sia. Intervensi yang diusulkan membutuhkan investasi publik-swasta besar, namun imbal hasilnya jauh lebih besar, bukan hanya dalam aspek ekonomi, tetapi juga dalam ketahanan nasional dan posisi strategis Indonesia di kancah global.
Saatnya kita kembali ke laut, membangun kejayaan maritim yang menjadi tulang punggung ekonomi di era perang dagang dan disrupsi teknologi. Indonesia tidak hanya berhak, tetapi bisa dan harus menjadi pemain utama dalam industri maritim global.
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Teknik Sistem Perkapalan (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)
BERITA TERKAIT: