Pusat keramaian adanya di depan kampus UIN. Persis berseberangan dengan kampus Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta.
Jumlah mahasiswa yang lalu lalang di jalan raya antar dua kampus ini jumlahnya bisa ribuan. Bahkan puluhan ribu.
Setiap hari mereka lewat JPO itu? Tidak! Jaraknya kajauhan. Muter. Gak efisien. Buang waktu. Kecuali mahasiswa yang memang niat mau bakar kalori. Atau dosen kurang kerjaan, karena nunggu masa pensiun.
Dosen, mahasiswa, pegawai UIN, pegawai dan nasabah bank, pegawai rumah sakit, para pedagang, dan lain-lain, mereka menyeberang lewat jalan raya. Risiko tertabrak motor atau mobil, besar sekali.
Kendaraan lalu lalang depan kampus UIN kencang sekali. Jalan menikung, sehingga pengendara kurang waspada. Kasus kecelakaan sudah sering terjadi. Mahasiswa dan dosen jadi korban. Korbannya bukan anak menteri dan dirjen PUPR. Bukan pula anak walikota dan gubernur.
Masyarakat yang hari-harinya menyeberang ingin sekali JPO itu dipindahkan. Digeser ke depan kampus UIN yang berseberangan dengan kampus IIQ. Atau digeser ke depan masjid yang berseberangan dengan gedung Bank BNI.
Tapi, harapan tinggal harapan. Bukannya digeser, pemerintah malah membuat lampu penyeberangan. "Merah, kuning, hijau", seperti lagu pelangi anak-anak TK.
Jembatan tetap ada di tempatnya. Lusuh dan kumal. Rusak besi dan atapnya. Lalu diperbaiki. Rusak lagi, diperbaiki lagi. Diperbaiki untuk siapa? Untuk anak muda stres yang hari-harinya cari lokasi buat coret-coret. Sebuah ekspresi kemarahan kepada negara yang seringkali tidak peduli kepada kaum susah.
Coba anda lihat, berapa orang setiap harinya yang nyeberang di JPO itu? Adakah lima orang? Adakah 10 orang? Per jam berapa orang? Sehari berapa orang? Bandingkan dengan ribuan, bahkan puluhan ribu dosen, mahasiswa, pegawai, pedagang, dan para nasabah bank yang setiap harinya menyeberang dari depan kampus UIN ke rumah sakit, masjid, atau sebaliknya.
Lalu, JPO itu untuk siapa bro? Buat asesoris? Tempat pemerintah pasang papan iklan? Atau sekedar proyek dan proyek. Kelakuan!
Jika digeser ke depan kampus UIN-IIQ, ruang iklan gak akan hilang. Jauh lebih terlihat indah karena akan ramai digunakan.
Tak ada alasan yang masuk akal membiarkan JPO itu jauh dari keramaian. Kenapa terus dipertahankan?
Simpel kok. Cukup dengan PL (Penunjukan Langsung) jika anggaran pemindahan kurang dari Rp200 juta. Kalau lebih, tinggal lelang. Ah, anda kan jago main lelang. Ini hanya soal kepekaan dan kemauan saja.
Anda PL-kan atau proses lelang, gak sampai seminggu, JPO bergeser. Mudah bukan? Kalau mudah, kenapa jadi begitu sulit anda melakukan eksekusi.
Malu rasanya setiap melihat JPO itu. Hampir setiap lewat, sepi. Wajar kalau dijuluki JPO hantu. Kerumunan massa dipaksa lewat Jalan Raya Juanda. Pengendara terpaksa ngerem mendadak karena ada masyarakat penyeberang.
Terus seperti ini, sampai kapan?
*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
BERITA TERKAIT: