Depresi Besar dan Tarif Trump

Oleh: Heru Wahyudi*

Senin, 07 April 2025, 18:59 WIB
Depresi Besar dan Tarif Trump
Ilustrasi/Ist
DALAM sejarah perdagangan internasional, Amerika Serikat kerap mengulang pola sama: proteksionisme naik daun saat tekanan ekonomi memuncak. Dari tarif tinggi era William McKinley di akhir 1800-an hingga kebijakan agresif Donald Trump yang bangkit di 2025, pola ini mengindikasi lebih dari sebuah kebijakan dagang.

William McKinley, Presiden AS akhir abad ke-19, jadi pelopor tarif tinggi demi melindungi industri dalam negeri. Sebelum duduk di Gedung Putih, ia menggagas Tarif McKinley 1890 yang menaikkan bea impor hingga nyaris 50 persen. Dalam pidatonya di Kongres, McKinley menyuarakan semangat nasionalisme ekonomi: "RUU ini untuk rakyat Amerika dan kepentingan Amerika." Retorikanya, mirip gema dari slogan era Trump.

Setelah menjabat, McKinley mulai melunak. Meski awalnya mendorong Undang-Undang Dingley yang kembali menaikkan tarif, ia kemudian membuka ruang negosiasi dagang. Presiden diberi wewenang untuk menurunkan tarif hingga 20 persen dan menambahkan produk ke daftar bebas bea, demi mendorong ekspor AS.

Biarpun, proteksionisme McKinley tak bisa dipisahkan dari ambisi ekspansi. Lewat Perang Spanyol-Amerika, AS mencaplok Hawaii, Filipina, Guam, dan Puerto Rico, (A. Mukharji, 2023) dengan imbalan USD 20 juta kepada Spanyol. 

Lebih 100 tahun setelah McKinley, Trump kembali memainkan kartu proteksionisme lewat kebijakan "America First". Januari 2025, ia meneken memo dagang yang menjanjikan lonjakan investasi dan dominasi industri AS.

Aprilnya, ia mengumumkan tarif resiprokal untuk lebih dari 180 negara, termasuk Uni Eropa. Tarif dasar ditetapkan 10 persen, tapi banyak negara kena lebih tinggi-Tiongkok bahkan dihantam tarif 54 persen. Akibatnya, pasar global terguncang. Mitra dagang siap membalas, sementara tarif impor AS melonjak ke 22 persen - angka yang terakhir terlihat lebih dari seabad lalu. 

Baik McKinley maupun Trump mengusung proteksionisme dan pendekatan sepihak dalam perdagangan. Trump bahkan memuji McKinley sebagai "Tariff King" yang membuat negara kaya lewat tarif. Tapi ironi sejarah muncul: di akhir masa jabatannya, McKinley justru berbalik arah, mendorong resiprositas dan menyebut perang dagang sebagai hal yang merugikan.

Yang sering luput dibahas yakni situasinya. Di era McKinley, perdagangan global hanya 10 persen dari PDB dunia - hari ini mencapai 25 persen. Rantai pasok tak lagi terpusat di Rust Belt, timur laut Amerika Serikat, tapi membentang lintas benua. 

Baik McKinley maupun Trump menjadikan tarif sebagai senjata untuk mendorong manufaktur AS. Bedanya, McKinley akhirnya membuka ruang resiprositas, sementara Trump justru menjadikan tarif sebagai tujuan akhir - bukan alat negosiasi. Retorika soal resiprositas tak lebih dari ancaman menaikkan bea.

Celakanya, kedua gelombang tarif ini diikuti gejolak ekonomi. Tarif McKinley mendahului Depresi 1893-1896, sementara tarif Trump 2025 memicu kekhawatiran resesi dan inflasi global. Intinya, kebijakan Trump bisa meruntuhkan sistem dagang pascaperang dunia kedua - yang justru dirancang untuk mencegah ketegangan geopolitik lewat prinsip non-diskriminasi. 

Sejarah mempertontonkan: perang dagang jarang membawa untung jangka panjang. Tarif atas nama resiprositas justru bisa memicu spiral proteksionisme yang merugikan semua pihak. Semisal, tarif tinggi AS pada produk Tiongkok bisa mendorong limpahan barang murah ke Eropa - menggoyang pasar dan menciutkan industri lokal. 

Tarif Resiprokal Trump pada Indonesia

Tarif resiprokal Trump yang diumumkan April 2025 jadi pukulan telak bagi ekonomi global, termasuk Indonesia. Negeri ini dikenai tarif 32 persen, jauh di atas tarif dasar 10 persen, dengan imbas langsung pada jutaan pekerja dan ribuan pelaku usaha.

Setidaknya 10 komoditas ekspor utama terkena konsekuensi, termasuk tekstil, alas kaki, dan produk andalan seperti minyak sawit mentah (CPO) dan karet. Hal ini terjadi justru saat Indonesia menikmati surplus dagang dengan AS: ekspor USD 26,3 miliar vs impor USD 9,5 miliar.

Khusus CPO, ancaman macetnya makin nyata. Pemerintah kini didesak melonggarkan kewajiban pasar domestik (DMO), izin ekspor, dan bea keluar agar industri tetap bernapas. 

Tarif baru Trump ditaksir menekan ekspor Indonesia ke AS. Lebih darinya, efeknya bisa menjalar ke seluruh perekonomian, bahkan memicu resesi di kuartal IV-2025. Kaitan ekonomi Indonesia-AS begitu kuat: setiap penurunan 1 persen pertumbuhan AS bisa menyeret ekonomi Indonesia turun 0,08 persen. Sektor otomotif dan elektronik jadi yang paling rentan, kini berada di ujung tanduk akibat gejolak global yang kian tak terprediksi.

Bagi industri tekstil Indonesia, tarif Trump datang saat kondisi sudah sekarat. Diserbu impor murah dari China, sektor ini terpukul berat: tujuh perusahaan tutup, 28 pabrik berhenti produksi sejak 2023, dan lebih dari 1,1 juta pekerja terdampak PHK atau pemotongan jam kerjal, melansir apsyfi.org, 29 Desember 2024.

Tingkat utilisasi merosot ke bawah 50 persen pada 2024, tanda krisis. Penutupan Sritex pada Maret 2025 makin memperjelas situasi. Pemasok global seperti H&M dan Uniqlo ini mesti gulung tikar, mem-PHK 11.000 pekerja setelah gagal menyelamatkan keuangan, mengutip business-humanrights.org, 3 Maret 2025.

Meski menekan, tarif Trump bukan tanpa celah peluang. Negara pesaing seperti Vietnam dikenai tarif lebih tinggi hingga 46 persen, dibanding Indonesia yang “hanya” 32 persen. Ini bisa jadi keunggulan relatif bagi RI dalam pasar global yang semakin kompetitif.

Selain itu, tarif ini disebut hanya “pernyataan pembuka”. Artinya, ruang negosiasi masih terbuka dan Indonesia punya kesempatan untuk memanfaatkan diplomasi dagang demi mengurangi tekanan. 

Pemerintah Indonesia memilih menahan diri, tak membalas tarif Trump. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 7 April 2025 menegaskan bahwa Jakarta akan mengandalkan diplomasi demi menjaga hubungan dagang dan iklim investasi tetap stabil. Sektor-sektor rentan seperti tekstil dan alas kaki dijanjikan dukungan. Sementara itu, KSP mengklaim kebijakan ini sudah diantisipasi sejak awal, meski pengumuman tarif 32 persen tetap jadi kejutan. 

Untuk merespons tekanan tarif AS, pemerintah berencana menggandeng pelaku usaha dan menjajaki pasar alternatif seperti Eropa. Delegasi tingkat tinggi juga dikirim ke Washington untuk membuka jalur negosiasi langsung.

Di tengah gejolak global, acuannya ada pada diplomasi ekonomi, diversifikasi ekspor, dan penguatan produk lokal. Tarif Trump bisa jadi pukulan jangka pendek, walau dengan langkah genting, krisis ini justru bisa jadi titik balik posisi Indonesia di perdagangan dunia.

Pelajaran dari Depresi Besar (The Great Depression)

Hampir seabad setelah Depresi Besar, pelajaran dari krisis itu masih “nyambung” di tengah gejolak ekonomi dan perang dagang era Trump. Antara 1929-1939, AS dihantam pengangguran 25 persen, ribuan bank ambruk, dan jutaan petani kehilangan tanah.

Penyulutnya bukan satu, tapi rantai kebijakan dan kepanikan pasar. Kejatuhan Wall Street memicu hilangnya kepercayaan publik dan saat kepercayaan runtuh, investasi ikut terjun bebas. Hasilnya: spiral krisis yang mengguncang fondasi ekonomi dunia.

Depresi Besar tak terjadi dalam semalam, tapi lahir dari lingkaran setan deflasi dan utang berlebihan. Ada sembilan faktor yang saling memicu kehancuran: dari likuidasi utang paksa, uang beredar yang menyusut, jatuhnya harga aset, hingga gelombang kebangkrutan dan hilangnya kepercayaan pasar. Saat uang ditimbun dan suku bunga riil melonjak sebab deflasi, ekonomi terjebak dalam labirin kejatuhan yang nyaris mustahil dihentikan.

Saat Crash 1929 meledak, investor hanya butuh 10 persen uang sendiri, sisanya dipinjam dari broker. Saat pasar runtuh, utang tak terbayar, dan bank ikut tumbang dihantam gagal bayar serta penarikan dana besar-besaran. Parahnya, bank sentral tak bisa bergerak leluasa karena terikat standar emas, membuat krisis likuiditas makin dalam. 

Di balik kemakmuran Amerika 1920-an, ketimpangan mencolok jadi bom waktu ekonomi. Lima persen orang terkaya menguasai sepertiga pendapatan nasional, sementara mayoritas hidup pas-pasan. Upah mandek, serikat buruh lemah, dan konsumsi didorong kredit murah, 60 persen mobil dan 80 persen radio dibeli dengan utang. Ketimpangan ini membuat kelas menengah terjerat utang, hingga akhirnya macet dan memicu krisis finansial besar di 1930-an. 

Salah satu biang keladi panjangnya Depresi Besar yakni keras kepala negara-negara mempertahankan standar emas. Demi mengembalikan nilai tukar ke masa sebelum Perang Dunia I, banyak negara justru memicu deflasi dan pengangguran lewat kebijakan moneter. Ekonom seperti Eichengreen dan Bernanke menyebut sistem ini memperparah krisis lantaran memaksa negara menahan respons krisis perbankan. 

Depresi Besar tak lepas dari lonjakan proteksionisme dan runtuhnya perdagangan global. Negara-negara yang terikat standar emas cenderung lebih agresif menerapkan tarif dan kontrol impor dibanding yang melepaskannya, (B. Eichengreen et al., 2010). 

Undang-Undang Smoot-Hawley 1930, yang diteken Presiden Hoover, jadi simbol blunder: niat resiprositas malah memicu perang dagang. Tapi lebih sekadar politik kepentingan, proteksionisme kala itu mewakili terbatasnya ruang gerak kebijakan ekonomi

Tarif resiprokal Trump yang diluncurkan April 2025 memijit alarm global. Dengan tarif dasar 10 persen dan lonjakan hingga 54 persen untuk negara seperti Tiongkok, kebijakan ini menyulut bayang-bayang proteksionisme ala Depresi Besar. 

Para ekonom memperingatkan: jika dibiarkan, perang dagang ini menekan pertumbuhan global dan menciptakan distorsi harga permanen yang menghambat produksi. Inflasi bisa bangkit, resesi AS membayangi, dan rumah tangga bakal menanggung biaya ribuan dolar. rmol news logo article 

*Penulis adalah Dosen Prodi Administrasi Universitas Pamulang

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA