Namun demikian bahwa ciri khas "Militer-Modern" lebih tepat jika dianggap berawal sejak peristiwa "Revolusi Perancis" 1793 ketika konsep "Citizen Soldier" memasuki Benua Eropa. Tetapi, konsep "Citizen Soldier" menimbulkan persoalan yakni munculnya disparitas di kalangan militer khususnya para perwira. Di berbagai negara Eropa jenjang kepangkatan Perwira Militer dengan ciri Khas "Militer Modern" sangat partikular, jenjang kepangkatan ditentukan berdasarkan garis keturunan ketimbang pendidikan "Militer Profesional" yang ditempuh melalui pendidikan di Akademi Militer atau Perguruan Tinggi.
Jejak berikutnya adalah Pergeseran Paradigma dari "Militer Modern" menuju tipe "Militer-Modern Akhir" yang muncul sejak awal era PD II hingga Era Perang Dingin 1990. Bercirikan tentara wajib massal (
mass conscripted) yang menitikberatkan "Profesionalisme" di jajaran Perwira dan puncak dari pembabakan sejarah militer adalah lahirnya militer tipe "Militer-Postmodern" muncul sejak berakhirnya Perang Dingin 1991 yang terus mengemuka hingga era sekarang ini (awal milenium ke-3) meskipun benihnya ("Militer Postmodern") sudah ada sebelum "Perang Dingin Berakhir" (1991).
Runtuhnya Komunisme di Uni Soviet (1991) mempercepat peralihan pergeseran paradigma Militer dari "Era Militer-Modern","Militer-Modern-Akhir" menuju ke "Militer-Postmodern" yang didasarkan pada asumsi dan analisis yang mendalam dari para ahli: Praktisi Militer, Sosiolog Militer, Praktisi maupun Teoritisi "Politik dan Keamanan Internasional" dengan menyimpulkan, bahwa "ancaman invasi militer" oleh negara lain sangat sulit untuk dilakukan" dan prinsip-prinsip "Kantian" yang dianut pihak Barat setidaknya menjadi "Paradigma Pijakan" teoritisasi untuk menuju "Militer-Post Modern".
Dengan demikian, paradigma bahwa tidak adanya ancaman "Invasi Militer" oleh negara lain maka negara-negara Barat tidak lagi membutuhkan peran angkatan bersenjata menurut paradigma dan persepsi "Militer Modern Akhir" yang nilai-nilai sosialnya sangat berbeda dengan masyarakat sipil lainnya yang lebih luas. Namun "Militer Postmodern" dipersiapkan untuk menghadapi ancaman-ancaman baru Pasca Perang Dingin berakhir.
Meskipun misi Militer negara-negara Barat tetap menekankan pada Patriotisme Nasional, namun globalisasi keuangan, perdagangan, komunikasi dan aktivitas penting manusia lainnya pelan-pelan menggerus basis tradisional dari kedaulatan bangsa. Makna "Kedaulatan Bangsa-Negara" pada era "Militer-Postmodern" tidak bisa lagi ditafsirkan dan dimaknai hanya merujuk sebagaimana Militer Modern" dan Militer "Modern Akhir" memaknai "Kedaulatan Negara". Dengan demikian periodisasi atau pembabakan perubahan paradigma militer setidaknya menentukan arah hubungan dan kolaborasi "Militer-Sipil" pada era milenium 3.
"Militer Postmodern" setidaknya dicirikan oleh 5 (lima) perubahan organisasi sosial utama yang meliputi: (1) meningkatnya kesalingterkaitan (interpenetrability) bidang sipil dan militer baik secara struktural maupun kultural; (2) berkurangnya perbedaan di dalam tugas-tugas tantara berdasarkan cabang tugas, pangkat dan peran tempur versus peran pendukung; (3) perubahan dalam tujuan militer, yakni dari tujuan melakukan pertempuran ke tujuan misi-misi yang tidak dianggap sebagai tujuan militer dalam pengertian tradisional. Hubungan media dan militer kian bersahabat, militer membutuhkan media untuk meraih dukungan publik dan politik; (4) kekuatan militer lebih banyak dipakai dalam misi-misi internasional yang disahkan oleh entitas di luar negara bangsa dan (5) internasionalisasi kekuatan militer itu sendiri, misalnya dengan munculnya "Eurocorps", "Divisi Multinasional" dan "Bina Nasional" di negara-negara anggota NATO.
Bagaimana dengan TNI? Di Indonesia, sejak 10 Tahun terakhir ada kegamangan dari elit TNI untuk mengambil langkah-langkah strategis bertindak dalam konteks ranah Operasi Militer Perang era "Postmodern" maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP) di "Bawah Kendali Operasi" otoritas sipil yaitu Kepolisian sesuai dengan UU No 34 Tahun 2004.
TNI mendefinisikan bahwa Ancaman Perang hanya fokus kepada Ancaman Militer yang dilakukan oleh negara lain, dengan demikian metode penangkalan yang dilakukan TNI dilakukan sebagaimana pendekatan "Militer Modern" maupun Militer "Era "Modern Akhir" dengan pendekatan "Perang Tradisional".
Demikian juga dengan Operasional OMSP saat ini di Bawah Kendali Operasi" otoritas Sipil yaitu Kepolisian yang merujuk kepada UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Fenomena ini menimbulkan persepsi bahkan berdampak sangat buruk tentang Peran TNI di masyarakat dan dampaknya bisa kita rasakan saat ini.
Di Papua misalnya, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ditangani oleh TNI dengan menggelar "Operasi Militer Khusus", bahkan "Operasi Militer Perang" secara rinci tidak tertuang dalam UU No 34 Tahun 2004, padahal era milenium Istilah (diksi) Perang mengalami perluasan makna. Istilah Perang Asimetrik (Asymetric Warfare) lepas dari pengamatan TNI. Di Papua misalnya, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) hanya melakukan protes menuntut haknya bahwa keadilan, kesejahteraan, pendidikan masyarakat Papua sangat tertinggal belum tertangani dengan baik oleh pemerintah, dan TNI menggunakan pendekatan militer (Cooersif Actions) untuk menghentikan gerakan tersebut.
Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa "Perang" menurut persepsi TNI adalah Perang menurut definisi "Era-Westphalia", definisi "Revolusi Perancis", "PD II" dan berakhir hingga "Perang Dingin" selesai 1991 dan tidak memasukkan ancaman" Perang Non Konvensional" (ancaman ekonomi, politik dan ancaman lingkungan sosial). Ini kesalahan "geneologis" dan "epistimologis" yang sangat fatal dan harus ditafsir kembali oleh TNI.
Demikian juga dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa tahun terakhir dan puncaknya terungkap terjadi pada tahun 2025 yang merugikan keuangan negara, bahkan memperlemah kekuatan nasional kita sebagai Bangsa, misal maraknya perdagangan Narkoba di berbagai daerah yang merusak masa depan bangsa, maraknya penggalian tambang liar di berbagai daerah bahkan melibatkan warga negara asing, korupsi tambang timah merugikan negara 300 T, manipulasi emas 1000-Ton di Kementerian ESDM, kasus Sambo, klaim Pemerintah China tentang 9 garis putus (
nine dot lines) di Laut China Selatan, pencetakan dan peredaran triliunan rupiah uang palsu di Makassar, Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK II dan Pemasangan pagar laut membentang sepanjang 30 km di perairan Kabupaten Tangerang Selatan-Banten menjadi perhatian dan perbincangan masyarakat luas. Pertanyaan saya ajukan -- Dimana peran "Intelijen Strategis" yang tugas utama adalah mencegah terjadinya Pendadakan Strategis "Strategic Surprise"
Saya menganalisis seluruh peristiwa ini dari pandangan seorang analis intelijen militer, bahwa peristiwa ini tidak terjadi dengan sendirinya, peristiwa ini terjadi "by design", direncanakan dengan sangat sempurna. Saya juga melihat ada semacam kegamangan dari institusi TNI untuk mengambil inisiatif dan langkah-langkah pencegahan maupun penindakan dalam melaksanakan Tugas Pokok OMP, maupun OMSP sesuai dengan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Apa yang Harus Dilakukan TNI?
Untuk mengambil inisiatif dan memainkan peran TNI di era milenium ke-3 yaitu "TNI-Postmodern" akan mengalami hambatan dan tantangan khususnya dari elit politik nasional maupun aktivis Pro Demokrasi mengingat peristiwa masa lalu yang menimbulkan trauma dan kesedihan yang mendalam di masyarakat sebab selama 32 Tahun Rezim Orde Baru yang authoritarian dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto (1966-1998) mendapat dukungan penuh dari TNI yang berdampak buruk, menelan korban harta-benda dan bahkan jiwa yang harus ditanggung oleh masyarakat, menimbulkan segregasi gejolak politik dan ketidak-percayaan di masyarakat. Puncaknya adalah Reformasi Politik 1997-1998 yang meregulasi peran TNI di ranah Politik.
Ide tentang "TNI Postmodern" merupakan suatu keniscayaan sejarah untuk memperbaiki kondisi bahkan menyelamatkan NKRI melawan ancaman Perang Non Tradisional. Ide peran TNI-Postmodern, saya diskusikan berlarut dengan berapa pihak termasuk di kalangan senior TNI (Purn). Ide ini juga saya kembangkan melalui diskusi, tulisan di berbagai madia bahwa Amandemen atau Revisi UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI sebaiknya ditunda menunggu pelantikan Presiden terpilih Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto untuk memunculkan wacana, diskursus-dengan melakukan diskusi berlarut dengan intern TNI dan para pakar bagaimana seharusnya OMP dan OMSP bisa dilaksanakan dan menempatkan OMP-OMSP berada dalam satu kendali dan satu Komando yaitu kendali "TNI Postmodern".
Saya menilai bahwa OMP maupun OMSP yang tertuang dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI bersifat pejoratif-artikulatif- spekulatif mempunyai beragam tafsir dan pada akhirnya sangat merugikan Institusi TNI dalam melaksanakan tugas yang berdampak kepada melemahnya kekuatan nasional kita sebagai bangsa. Kata kunci atau pesan yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana OMP dan OMSP harus dalam satu kendali, yaitu kendali "TNI Postmodern".
*Penulis adalah Analis Intelijen, Politik dan Keamanan Internasional, saat ini bekerja sebagai "Kelompok Ahli Badan Pengarah Papua".
BERITA TERKAIT: