Sebelum itu, besaran perimbangan untuk Dana Desa adalah minimal 10 persen.
Menurut data Kementerian Keuangan pada 2023, dana desa dari 2015 sampai 2023 terus mengalami tren peningkatan. Tercatat alokasi Dana Desa tahun 2015 sebesar Rp20,77 triliun, dan pada 2023 sebesar Rp70 triliun. Tren kenaikan itu sempat mengalami penurunan pada 2022.
Total, Dana Desa telah menghabiskan anggaran kurang lebih Rp600 triliun dalam kurun waktu 2015-2023. Dalam hal ini Pemerintah juga menyepakati
Loan Agreement atau Perjanjian Pinjaman kepada World Bank sebesar 300 juta dolar AS.
Dana tersebut digunakan untuk Program Nasional Pembangunan Masyarakat (PNPM). Bahkan yang terakhir digunakan hampir 60 ribu desa di seluruh Indonesia. Untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi desa dengan memberikan kesempatan bagi desa mengelola sumber daya lokal secara mandiri, menciptakan peluang usaha, serta memperkuat ekonomi masyarakat desa.
Namun demikian, kemiskinan di pedesaan masih terlihat meski Dana Desa berhasil menurunkan jumlah orang miskin dari 17,3 juta (2014) menjadi 11,74 juta (2023). Penurunan ini tidak selalu mencerminkan kesejahteraan, karena ketimpangan ekonomi tetap tajam.
Indeks kemiskinan yang mencerminkan ketimpangan, stagnan sejak 2014. Yakni 0,57 persen. Meski sempat naik ke 0,63 persen pada 2018, lalu turun lagi ke 0,51 persen pada 2023. Semakin tinggi indeks, semakin tajam ketimpangannya.
Kritik UU Desa dan Implementasinya Berdasarkan Analisis SosiologiRevisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menghadirkan pertanyaan mendalam tentang efektivitas alokasi dana desa dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan di pedesaan. Dengan menggunakan perspektif sosiologi dan teori-teori dari para ahli, seperti Pierre Bourdieu mengenai modal sosial dan ekonomi, serta
Anthony Giddens dengan konsep strukturasi, analisis ini berusaha mengkritik secara sistematis implementasi UU Desa.
1. Ketimpangan Struktural dan Kapitalisasi Dana Desa
Menurut Bourdieu, modal sosial dan ekonomi menjadi penggerak kekuasaan. Dana Desa yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan, kerap menjadi alat kapitalisasi elite desa. Kepala desa dan kelompok tertentu lebih diuntungkan, sementara mayoritas masyarakat terpinggirkan.
Contohnya, alokasi dana untuk proyek besar seperti infrastruktur sering tak berdampak langsung pada masyarakat miskin, tetapi dimanfaatkan elite untuk keuntungan pribadi yang akhirnya memperparah ketimpangan sosial.
2. Dana Desa dan Masalah Dualisme Sosial Ekonomi
Anthony Giddens dalam teori Strukturasi menyatakan bahwa struktur (aturan dan sumber daya) dapat membentuk perilaku aktor sosial. Dalam konteks ini, struktur pengelolaan dana desa menciptakan dualisme sosial-ekonomi. Satu sisi mendukung pembangunan, namun di sisi lain memperkuat hierarki sosial.
Meski Dana Desa berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 17,3 juta (2014) menjadi 11,74 juta (2023), angka tersebut tidak merefleksikan peningkatan kesejahteraan yang merata. Indeks keparahan kemiskinan (0,51 persen pada 2023) menunjukkan bahwa ketimpangan di pedesaan masih tajam.
Artinya, kelompok masyarakat yang berada di garis kemiskinan ekstrem tetap mengalami kesulitan, bahkan ketika angka kemiskinan absolut menurun. Hal ini menandakan ketimpangan sistemik dalam distribusi manfaat dari Dana Desa.
3. Ketergantungan pada Asing: Perspektif Ketergantungan (
Dependency Theory)
Menurut
Dependency Theory, pinjaman luar negeri seperti 300 juta dolar AS dari Bank Dunia mencerminkan ketergantungan yang merugikan Indonesia. Desa belum mandiri dan masih terjebak dalam jejaring global, sementara dana yang seharusnya memberdayakan masyarakat sering tidak tepat sasaran.
4. Problematika Representasi Kemiskinan
Penurunan penduduk miskin dari 17,3 juta ke 11,74 juta sering diklaim sebagai keberhasilan, tetapi menurut Wallerstein, statistik tidak selalu mencerminkan realitas. Banyak yang hanya berpindah dari "miskin absolut" ke "nyaris miskin" tanpa peningkatan kualitas hidup.
Stagnannya indeks keparahan kemiskinan sejak 2014 menunjukkan distribusi manfaat yang tidak merata. Kesenjangan ekonomi tetap menjadi tantangan besar tanpa perubahan mendasar dalam distribusi dana.
5. Kritik terhadap Masa Jabatan Kepala Desa
Perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun membuka peluang lahirnya oligarki lokal. Dalam teori Max Weber tentang birokrasi, kekuasaan yang terlalu lama dipegang oleh satu individu atau kelompok seringkali menimbulkan efek negatif, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan lemahnya akuntabilitas. Struktur kekuasaan yang berpusat pada kepala desa ini juga mempersulit upaya kontrol oleh masyarakat.
Kesimpulan: Reformasi Berbasis Paradigma Baru1. Redistribusi Dana Desa: Pemerintah harus memastikan mekanisme distribusi dana yang lebih transparan dan adil agar dana benar-benar menyentuh masyarakat miskin.
2. Penguatan Akuntabilitas: Memperpendek masa jabatan kepala desa atau memperketat pengawasan terhadap penggunaannya.
3. Pemberdayaan Mandiri: Mengurangi ketergantungan pada pinjaman asing dan meningkatkan inisiatif lokal melalui pengembangan kapasitas masyarakat.
4. Evaluasi Berbasis Data: Menggunakan indikator yang lebih komprehensif, seperti kualitas hidup, bukan hanya angka kemiskinan absolut. Dengan pendekatan ini, diharapkan Dana Desa tidak hanya menjadi alat statistik
keberhasilan, tetapi benar-benar mampu menciptakan desa yang sejahtera dan mandiri.
Penulis adalah kader GMNI Yogyakarta
BERITA TERKAIT: