Bayangkan, dalam sidang ketujuh di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin 11 November 2024, jaksa menuntut Supriyani bebas. Tuntutan ini tampak berpihak pada keadilan. Namun, jaksa tetap menyatakan bahwa "pemukulan" telah terjadi, meskipun tindakannya tak bisa dianggap sebagai tindak pidana.
Jaksa tampak ingin memuaskan semua pihak: publik yang menganggap Supriyani terzalimi, namun juga mengakomodasi tuduhan dari pihak polisi yang menuding guru tersebut menganiaya anaknya. Tuntutan ini seperti komedi absurd --di satu sisi membebaskan, di sisi lain tetap menjerat.
Tuntutan bebas tersebut pada dasarnya tidak membuat Supriyani benar-benar bebas. Jaksa tetap "memvonis" Supriyani melakukan kekerasan, meski “tanpa niat jahat.” Hal ini menciptakan stigma yang bisa membuat Supriyani selamanya berlabel sebagai guru pemukul. Bukankah ini yang diinginkan polisi yang juga orang tua siswa?
Di tingkat pusat, Kapolri turut turun tangan, memerintahkan pemeriksaan terhadap polisi yang diduga memeras Supriyani dengan permintaan uang damai sebesar Rp50 juta. Kapolsek dan Kanit Reskrim Baito bahkan dicopot lebih dulu karena diduga turut terlibat dalam permainan ini, menunjukkan adanya masalah moral di institusi kepolisian pada berbagai tingkatan.
Kapolri berjanji akan memecat polisi yang terbukti memeras Supriyani. Janji yang patut diapresiasi, jika benar-benar terealisasi. Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah juga telah berjanji untuk mengangkat Supriyani sebagai guru non-ASN. Mengapa tidak sekalian mengangkatnya sebagai ASN? Apakah terlalu sulit?
Pemandangan pengadilan terhadap Supriyani ini memperlihatkan sebuah ironi hukum yang pahit. Betapa seorang guru honorer yang setiap hari berjuang mengajar di pelosok, di Sekolah Dasar Negeri Baito yang terpencil, mendadak harus menghadapi tuntutan hukum, tuntutan sosial, dan permainan politik.
Jika kita renungkan, kasus ini mengungkapkan ironi peradilan di negeri kita. Bagaimana bisa seorang jaksa yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran mengeluarkan tuntutan bebas namun tetap mencantumkan tuduhan kekerasan? Mengapa tidak sekalian saja jaksa memeriksa kembali kebenaran di balik tuduhan dan klaim “pemukulan” tersebut?
Kalau memang tidak ada niat jahat, lalu mengapa masih dicantumkan dalam dakwaan? Di sini terlihat permainan narasi yang ambigu dan nyaris parodik, di mana keputusan dibuat bukan untuk menegakkan hukum, tetapi untuk menjaga citra dan kepentingan tertentu. Kita pantas bertanya, ada apa di balik ini semua?
Kasus Supriyani ini mengingatkan kita pada kenyataan pahit patgulipat hukum. Di negeri ini, mereka yang berada di bawah hirarki sosial--guru honorer, buruh, rakyat kecil—sering kali terperangkap dalam permainan hukum yang lebih melayani kepentingan golongan tertentu ketimbang keadilan sejati.
Rakyat sungguh muak melihat semua permainan ini. Sudah saatnya jaksa, polisi, dan hakim di pengadilan berhenti bermain dagelan hukum dan mulai bekerja untuk memberikan keadilan yang sesungguhnya, bukan hanya simbolis.
Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an
BERITA TERKAIT: