Pertama, Munas yang diadakan Agustus lalu kini dianggap cacat hukum, dengan kasus yang terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yakni Perkara 868/Pdt.G/2024/PN Jkt.Brt. Kejadian ini menimbulkan keraguan mengenai legitimasi kepengurusan yang terpilih, memicu ketegangan di kalangan kader.
Kedua, banyak kader Partai Golkar merasa kecewa dengan keputusan DPP mengenai rekomendasi calon kepala daerah.
Banyak anggota yang berharap mendapatkan dukungan langsung dari DPP, namun kenyataannya rekomendasi mengarah ke pilihan dari luar partai. Situasi ini menciptakan ketidakpuasan yang luas di internal partai.
Ketiga, ketidakjelasan mengenai kepengurusan DPP menjadi isu penting. Dua bulan setelah Munas, kepengurusan yang lengkap belum juga diumumkan, menyebabkan kebingungan dan spekulasi di kalangan anggota.
Dalam menghadapi semua ini, penyelesaian sengketa internal seharusnya mengikuti mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Mahkamah Partai menjadi lembaga penting untuk menyelesaikan berbagai perselisihan. Prosedur penyelesaian yang jelas harus ditegakkan agar kader merasa didengarkan dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat, meskipun pihak yang tidak puas masih memiliki opsi untuk mengajukan keberatan ke pengadilan negeri. Ini menunjukkan pentingnya mekanisme internal yang kuat dalam menjaga integritas partai.
Dengan harapan agar semua aturan di AD/ART dan peraturan partai ditegakkan secara adil, kader Partai Golkar menginginkan keterlibatan nyata dalam pengambilan keputusan.
Dalam menghadapi tantangan ini, Partai Golkar diharapkan dapat memperkuat solidaritas dan semangat bersama demi kejayaan di masa depan.
Penulis adalah Ketua Forum Golkar Garis Keras (GGK)
BERITA TERKAIT: