Indonesia berjanji untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara mandiri dan hingga 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Indonesia juga berupaya untuk mencapai
net-zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat jika memungkinkan.
Dalam konteks diplomasi internasional, Indonesia secara konsisten mengangkat pentingnya implementasi komitmen ini, terutama di forum-forum multilateral seperti Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP).
Pada COP26 di Glasgow (2021), Indonesia menegaskan komitmennya untuk mengakhiri deforestasi dan mempercepat transisi energi bersih, meskipun tantangan domestik seperti ekonomi dan pembangunan masih menjadi hambatan.
Indonesia telah menempatkan transisi energi terbarukan sebagai salah satu prioritas dalam upaya diplomasi hijau. Pemerintah telah menargetkan bauran energi yang lebih bersih, dengan target 23 persen energi terbarukan pada tahun 2025.
Meskipun target ini masih dianggap ambisius mengingat dominasi penggunaan batu bara dalam pembangkitan energi, upaya diplomasi internasional Indonesia difokuskan pada menarik investasi asing dan kerjasama internasional dalam sektor energi terbarukan.
Indonesia juga terlibat dalam berbagai inisiatif global, seperti
Clean Energy Ministerial (CEM) dan
Mission Innovation, untuk mempercepat penggunaan energi bersih melalui inovasi teknologi dan kerjasama internasional.
Indonesia memanfaatkan posisi diplomatiknya untuk menarik teknologi dan investasi dari negara-negara maju, yang diharapkan dapat mendukung transisi energi bersih di tingkat nasional.
Selain itu, Indonesia telah memanfaatkan berbagai forum internasional dan regional untuk memajukan agenda diplomasi hijau. Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan anggota penting dalam ASEAN, Indonesia telah memainkan peran sentral dalam memajukan inisiatif lingkungan di tingkat regional.
Indonesia sering menjadi motor penggerak bagi ASEAN dalam isu-isu terkait perubahan iklim, pengelolaan sumber daya alam, dan energi terbarukan. Di tingkat global, Indonesia menjadi bagian dari
Group of Twenty (G20) dan aktif dalam
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Pada Presidensi G20 Indonesia di tahun 2022, salah satu fokus utamanya adalah pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, di mana Indonesia mendorong transisi energi hijau sebagai bagian dari pemulihan pasca-pandemi.
Pengembangan konsep ekonomi biru dalam konteks diplomasi hijau, yang bertujuan untuk mengelola sumber daya kelautan secara berkelanjutan.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia berperan penting dalam perlindungan ekosistem laut dan pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Indonesia mempromosikan ekonomi biru dalam berbagai forum internasional, seperti
Our Ocean Conference, di mana negara ini berkomitmen untuk memperluas kawasan konservasi laut, meningkatkan penegakan hukum untuk melawan penangkapan ikan ilegal, serta melestarikan ekosistem terumbu karang dan mangrove yang penting untuk mitigasi perubahan iklim.
Walaupun komitmen internasional Indonesia sangat kuat, implementasi di tingkat domestik masih menghadapi kendala, termasuk kepentingan ekonomi jangka pendek, ketergantungan pada batu bara, dan tantangan tata kelola hutan.
Dalam konteks hukum, Pada Oktober 2021, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mencakup salah satu instrumen penting untuk mitigasi perubahan iklim, yakni penerapan pajak karbon.
UU HPP mengatur beberapa hal terkait dengan pajak karbon sebagai instrumen carbon pricing, di antaranya pengenaan Pajak Karbon. Pajak Karbon akan dikenakan pada entitas yang menghasilkan emisi karbon yang besar. Tarif awal yang ditetapkan adalah Rp30.000 per ton CO2e (karbon dioksida ekuivalen).
Selain pajak karbon, Pemerintah Indonesia juga sedang mempersiapkan peraturan terkait nilai ekonomi karbon (NEK) yang akan mendukung implementasi perdagangan karbon (
carbon trading) di dalam negeri. Pada Presiden Peraturan (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon, dijelaskan bahwa perdagangan karbon adalah mekanisme untuk memberikan nilai pada pengurangan emisi karbon, baik melalui skema domestik maupun internasional. Perpres ini mencakup beberapa hal:
- Mekanisme Perdagangan Karbon: Peraturan ini mengatur tentang pengembangan pasar karbon di Indonesia, di mana entitas yang menghasilkan emisi di bawah batas yang ditentukan dapat menjual "kredit karbon" kepada entitas lain yang melebihi batas emisinya.
- Tujuan Perpres NEK: Perpres ini dirancang untuk membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030, sesuai dengan komitmen dalam Perjanjian Paris. Selain itu, NEK akan mendorong pembiayaan proyek-proyek ramah lingkungan melalui pasar karbon dan insentif ekonomi.
- Implementasi Awal: Perdagangan karbon di Indonesia direncanakan akan dimulai secara bertahap, dengan sektor energi sebagai uji coba pertama, terutama pembangkit listrik yang menggunakan batu bara. Jika berhasil, mekanisme ini akan diperluas ke sektor industri lainnya, seperti manufaktur dan pertanian.
Penerapan kebijakan
carbon pricing dan komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon memiliki potensi yang signifikan untuk meningkatkan minat investasi dan mendorong pengembangan ekonomi biru di Indonesia.
Kebijakan ini sejalan dengan upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan, dan Indonesia dapat memanfaatkan momen ini untuk menarik investasi hijau dan memperluas sektor ekonomi yang terkait dengan keberlanjutan lingkungan.
Komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon melalui penerapan pajak karbon dan mekanisme perdagangan karbon dapat membuka akses lebih luas ke pembiayaan hijau. Beberapa lembaga keuangan internasional dan investor besar, termasuk bank pembangunan multilateral seperti
World Bank dan
Asian Development Bank, memberikan pendanaan khusus untuk proyek-proyek yang mendukung mitigasi perubahan iklim dan transisi energi hijau.
Dengan menerapkan kebijakan
carbon pricing, Indonesia dapat meningkatkan daya saing internasional di mata para investor yang semakin mengedepankan faktor keberlanjutan dalam keputusan investasi mereka.
Perusahaan dan negara yang menunjukkan komitmen serius terhadap pengurangan emisi karbon akan lebih menarik bagi investor ESG (
Environmental, Social, and Governance), yang mencari proyek-proyek dengan dampak positif terhadap lingkungan dan sosial.
Komitmen yang jelas terhadap mitigasi perubahan iklim dan penerapan kebijakan karbon juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam forum-forum internasional seperti G20, ASEAN, dan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP), yang pada gilirannya dapat memperluas akses negara ini ke investasi internasional dan teknologi hijau.
*
Penulis adalah alumnus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang aktif sebagai peneliti Indonesia Indicator
BERITA TERKAIT: