Oleh karena itu, banyak orang mengatakan bahwa orang-orang Uyghur ini memiliki paras yang mirip dengan bangsa Turki. Mereka memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang panjang. Akan tetapi, saat ini mereka sedang mengalami tantangan yang cukup berat. Tantangan yang mereka hadapi yakni tindakan represif yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap mereka, melalui kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan dan secara tidak langsung menyiksa etnis Uyghur.
Tiongkok menentang segala tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada mereka, yang mengatakan bahwa mereka melakukan tindakan represif dan genosida terhadap etnis uyghur. Mereka mengklaim bahwa yang mereka lakukan bukanlah tindakan represif ataupun genosida, akan tetapi merupakan sebuah pendidikan dan pembelajaran terkait pencegahan tindakan ekstrimisme dan separatisme.
Namun, masyarakat internasional banyak menganggap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur merupakan tindakan penyiksaan dan genosida. Laporan-laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia menunjukkan bahwa kamp-kamp ini sebenarnya adalah pusat penahanan massal, di mana Uyghur dan anggota minoritas etnis lainnya mengalami penyiksaan, indoktrinasi politik, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Di samping itu, kebijakan-kebijakan seperti pemantauan ketat, pengawasan digital, dan pengendalian ketat terhadap kebebasan beragama telah membatasi kehidupan sehari-hari masyarakat Uyghur secara drastis.
Tindakan Represif Pemerintah Tiongkok terhadap Etnis UyghurDalam beberapa tahun terakhir, tindakan represif yang diterapkan oleh pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur di wilayah Xinjiang telah menjadi sorotan utama komunitas internasional. Mengklaim bahwa langkah-langkah ini diperlukan untuk memerangi ekstremisme dan memastikan stabilitas, pemerintah Tiongkok sebenarnya telah menerapkan kebijakan yang dianggap oleh banyak pengamat sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Penahanan massal di Kamp-Kamp "Pendidikan Ulang" telah terjadi sejak 2017. Di mana pemerintah Tiongkok telah mendirikan kamp-kamp penahanan yang disebut sebagai pusat "pendidikan ulang" atau "pelatihan vokasi." Namun, berbagai laporan dan testimoni dari mantan tahanan menunjukkan bahwa kamp-kamp ini sebenarnya adalah fasilitas penahanan massal di mana orang Uyghur mengalami penyiksaan, indoktrinasi politik, dan perlakuan buruk lainnya. Penahanan sering dilakukan tanpa proses hukum yang jelas, dan banyak orang Uyghur ditahan hanya karena identitas etnis atau keyakinan agama mereka.
Kebijakan penahanan massal ini telah menyebabkan banyak keluarga Uyghur terpisah. Anak-anak sering kehilangan orang tua mereka yang ditahan, dan orang dewasa harus menghadapi beban emosional serta praktis akibat kehilangan anggota keluarga. Pemisahan keluarga ini memperburuk trauma yang dialami oleh komunitas Uyghur.
Kekerasan dan penyiksaan juga kerap dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur. Laporan dari mantan tahanan mengungkapkan bahwa kekerasan fisik dan psikologis, termasuk penyiksaan dan kekerasan seksual, adalah praktik umum di dalam kamp-kamp tersebut.
Selain itu, ada laporan mengenai pemaksaan untuk meninggalkan agama mereka, serta perlakuan kasar dari petugas kamp. Kondisi di dalam kamp sangat buruk, dengan
overcrowding, kekurangan makanan dan perawatan medis, serta lingkungan yang sangat menekan.
Pemerintah Tiongkok juga telah melakukan pengawasan massal dan pelanggaran privasi menerapkan sistem pengawasan yang sangat canggih dan menyeluruh di Xinjiang. Teknologi seperti kamera pengenalan wajah, pemantauan digital, dan sistem pelacakan yang komprehensif digunakan untuk memantau aktivitas masyarakat Uyghur.
Pengawasan ini menciptakan iklim ketakutan dan membatasi kebebasan pribadi, dan rang-orang Uyghur dipaksa untuk hidup di bawah tekanan konstan dari pemerintah.
Kebijakan pemerintah Tiongkok secara sistematis membatasi praktik keagamaan dan budaya Uyghur. Pelarangan salat, puasa Ramadan, serta perayaan Idul Fitri dan Idul Adha menjadi bagian dari kebijakan tersebut. Banyak masjid dan situs-situs budaya dihancurkan atau diubah fungsinya. Dan penggunaan bahasa Uyghur di sekolah-sekolah semakin dibatasi. Upaya ini berfungsi untuk menghapuskan identitas budaya dan agama Uyghur.
Selain itu, proyek-proyek infrastruktur besar dan ekspansi ekonomi di Xinjiang sering kali dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat Uyghur. Proyek-proyek ini sering menyebabkan penggusuran, disposesi tanah, dan kerugian ekonomi bagi penduduk lokal. Keuntungan ekonomi dari proyek-proyek ini lebih banyak dinikmati oleh pihak luar dan pengembang, sementara masyarakat Uyghur tidak memperoleh manfaat yang adil.
Adapun korban dari tindakan represif dan genosida yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur ini banyak dari kaum perempuan, banyak perempuan Uyghur yang ditahan di kamp-kamp penahanan pemerintah Tiongkok, di dalam kamp-kamp tersebut mereka harus merasakan pahitnya penyiksaan, mereka diperkosa dan dipaksa untuk melakukan sterilisasi yang bertujuan agar perempuan Uyghur tidak dapat hamil dan melahirkan. Sehingga, etnis Uyghur tidak akan berkembang biak di Xinjiang.
Kebijakan-kebijakan represif pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur tidak hanya merupakan penahanan paksa dan sterilisasi saja. Akan tetapi masih banyak tindakan-tindakan represif pemerintah Tiongkok untuk menghabiskan etnis Uyghur di Xinjiang, China.
Perjuangan Perempuan Uyghur dalam Memperjuangkan KeadilanPerempuan Uyghur menghadapi tantangan yang unik dan mendalam dalam konteks penindasan ini. Mereka bukan hanya berjuang melawan kekerasan sistemik dan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga berhadapan dengan diskriminasi gender yang memperburuk situasi mereka.
Perempuan Uyghur merupakan pejuang yang paling gigih dalam memperjuangkan hak-hak dan keadilan untuk etnis Uyghur. Banyak perempuan Uyghur melakukan diaspora ke berbagai wilayah di seluruh dunia, dengan tujuan untuk
mengadvokasi mengenai tindakan represif dan genosida yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur.
Perempuan Uyghur yang masih berada di Xinjiang, banyak dari mereka yang ditahan di kamp-kamp penahanan massal. Mereka diperlakukan seperti budak, banyak dari mereka yang dilecehkan, diperkosa, dinikahkan paksa, dan bahkan mereka semua dipaksa untuk mengikuti salah satu program yakni program sterilisasi. Program ini merupakan program pemaksaan untuk pemasangan Intrauterine Device (IUD) secara paksa, IUD di Indonesia
dikenal sebagai KB Spiral.
Di sisi lain, perempuan yang berhasil melakukan diaspora ke berbagai negara juga tidak lepas dari pengawasan ketat yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok. Pemerintah Tiongkok melakukan pengawasan melalui pengawasan digital seperti pengawasan media sosial, email, dan aplikasi yang memiliki fungsi untuk berkomunikasi lainnya.
Selain itu, Pemerintah Tiongkok juga melakukan pengawasan melalui negara-negara tempat di mana etnis Uyghur tinggal, pemerintah Tiongkok memberikan penekanan terhadap negara-negara yang menampung etnis Uyghur, tekanan yang dilakukan yakni tekanan diplomasi, di mana Pemerintah Tiongkok memberikan ancaman untuk tidak lagi melakukan hubungan diplomasi terhadap negara tersebut, jika negara tersebut tidak melakukan pengawasan dan pembatasan aktivitas terhadap diaspora etnis Uyghur.
Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat diaspora perempuan Uyghur di berbagai negara untuk menyuarakan penderitaan yang mereka alami dari Pemerintah Tiongkok. Perempuan Uyghur di beberapa negara turut aktif mengikuti kegiatan-kegiatan internasional, dengan tujuan agar mendapatkan celah untuk menyuarakan penindasan dan genosida Uyghur.
Perempuan Uyghur juga telah memberikan kesaksiannya di depan Kongres Amerika Serikat dan di depan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai penderitaan yang mereka alami di tempat mereka tinggal yakni di Xinjiang. Beberapa perempuan Uyghur juga sudah memberanikan diri untuk angkat bicara di hadapan media-media Internasional mengenai kondisi etnis Uyghur dan menyoroti kamp-kamp penahanan yang dibuat oleh Pemerintah Tiongkok untuk menyiksa etnis Uyghur.
Salah satu perempuan Uyghur telah menyuarakan penderitaannya selama ia berada di Xinjiang, di hadapan media Amerika, VOA. Ia mengaku telah mendapatkan tindakan kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang membuat rahimnya harus diangkat setibanya di Amerika.
Selain itu, Perempuan Uyghur juga telah melakukan beberapa aksi di ibukota di berbagai negara untuk menyuarakan mengenai tindakan represif dan genosida yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur di Xinjiang. Seperti pada 2021, ratusan perempuan Uyghur di Turki, khususnya di Istanbul, melakukan demonstrasi yang dilakukan di sepanjang laut Bosporus. Mereka menyuarakan mengenai kamp-kamp penahanan dan upaya genosida yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok.
Meskipun Pemerintah Tiongkok terus melakukan pengawasan terhadap diaspora Uyghur, akan tetapi hal tersebut tidak membuat perempuan Uyghur goyah dalam menyuarakan hak-hak dan keadilan bagi etnis Uyghur. Di beberapa platform media sosial, salah satunya seperti pada akun TikTok @osmanali, salah seorang perempuan
Uyghur telah menceritakan mengenai kamp-kamp penahanan China, yang membuat ia dan keluarganya kehilangan kontak untuk saling berkomunikasi.
Meskipun dianggap sebagai kaum yang paling sulit untuk menyuarakan isu Uyghur, hal tersebut tidak mematahkan semangat perempuan Uyghur dalam menyuarakan tindakan represif dan genosida Tiongkok terhadap etnis Uyghur.
Demi mendapatkan hak-hak dan keadilan untuk etnis Uyghur, perempuan-perempuan Uyghur terus melakukan berbagai tindakan dan aksi nyata agar isu Uyghur tersebut dapat menjadi perhatian masyarakat internasional, dan memberikan hukuman atau sanksi terhadap Pemerintah Tiongkok agar mereka dapat menghentikan tindakan represif terhadap etnis Uyghur.
Penulis adalah Sekretaris Jenderal OIC Youth Indonesia, Aktivis Muslim
BERITA TERKAIT: