Di awal kelahirannya, Wantimpres dikenal sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA kemudian diubah menjadi Wantimpres pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kini pada masa peralihan kekuasaan kepemimpinan nasional dari Presiden Jokowi ke Presiden terpilih Prabowo Subianto, lembaga (Wantimpres) diusulkan kembali menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Usulan tersebut diketahui disampaikan dalam Rancangan Perubahan Undang-Undang 19/2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
Revisi UU Wantimpres tersebut menuai pro dan kontra, baik di kalangan politisi, akademisi, aktivis, dan negarawan. Ada yang mempertanyakan urgensi revisi UU tersebut, ada pula yang berpandangan bahwa revisi UU tersebut sebagai upaya mengakomodasi kelompok pendukung.
Ada aja juga yang menilai RUU disebut sebagai langkah ikhtiar menata nomenklatur ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik sesuai dengan tuntutan zaman.
Terlepas dari pro dan kontra itu, yang harus diperhatikan adalah fungsi dan asas manfaatnya dalam memberikan pertimbangan dan nasihat kepada Presiden untuk menjalankan pemerintahan yang baik.
Diketahui, tugas dari Wantimpres yakni memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara. Pemberian nasihat dan pertimbangan tersebut wajib dilakukan Wantimpres baik diminta ataupun tidak oleh Presiden.
Penyampaian nasihat dan pertimbangan tersebut dapat dilakukan secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan pertimbangan seluruh anggota dewan.
Berdasarkan tugas Wantimpres tersebut di atas, maka penting dalam RUU tersebut harus ada penambahan klausul yang mengatur tentang anggota Wantimpres/DPA diisi oleh representasi dari wilayah atau daerah di Indonesia.
Sehingga apa yang terjadi di setiap wilayah atau daerah bisa disampaikan langsung kepada Presiden sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik di wilayah atau daerah setempat.
*Penulis adalah aktivis sekaligus Direktur Eksekutif Advokasi Institute
BERITA TERKAIT: