Fakta dan juga data resmi negara yang menyebut bahwa masih ada belasan juta anak putus sekolah, dan hampir 10 juta Gen-Z menganggur karena putus sekolah serta tidak berkeahlian, menjadi indikator yang menjelaskan rendahnya efektivitas pemanfaatan anggaran pendidikan yang sangat besar itu.
Seperti diketahui, kewajiban negara mengalokasi anggaran pendidikan 20 persen dari total nilai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mulai direalisasikan sejak APBN tahun 2019, dengan nilai Rp487,9 triliun.
Tahun 2020, anggaran pendidikan naik menjadi Rp508,1 triliun dan alokasi tahun 2021 mencapai Rp549,5 triliun. Sedikit menurun pada 2022 dengan alokasi APBN sebesar Rp542,831 triliun. Besaran alokasi anggaran pendidikan menyentuh level baru dalam APBN 2023, Rp612,2 triliun. Tahun 2024 ini, ada kenaikan cukup besar, mencapai Rp660,8 triliun.
Terhitung sejak 2019 hingga tahun ini, total alokasi anggaran pendidikan sangatlah besar, dan patut dipahami sebagai kerja dan upaya negara membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan punya kompetensi, inovatif, berintegritas, dan kompetitif sesuai kebutuhan zaman.
Rancangan anggaran pendidikan berpijak pada kehendak bersama untuk memberi perhatian dan dorongan pada peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan. Juga pemerataan kualitas pendidikan melalui peningkatan distribusi guru, peningkatan sarana-prasarana pendidikan, hingga peningkatan kualitas PAUD.
Rancangan anggaran itu juga mendorong peningkatan akses pendidikan di semua jenjang pendidikan. Negara juga berupaya meningkatkan kualitas sarana-prasarana penunjang kegiatan pendidikan di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan. Tak kalah pentingnya adalah upaya penguatan konektivitas pendidikan vokasi dengan pasar kerja.
Selain itu, ada alokasi anggaran untuk perluasan program beasiswa, memajukan kebudayaan, penguatan mutu perguruan tinggi serta pengembangan riset dan inovasi. Tujuan dalam merancang anggaran pendidikan memang sangat strategis dan ideal.
Bahkan wewenang pusat dan daerah coba dipadukan. Anggaran pendidikan dalam APBN itu ditempatkan dalam tiga alokasi, yakni belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah dan pembiayaan investasi.
Setelah enam tahun upaya negara dengan dana ribuan triliun rupiah bagi pengembangan pendidikan generasi muda bangsa, kini tentu saja layak untuk mengedepankan pertanyaan tentang pencapaian atau apa saja yang sudah dihasilkan? Kewajiban negara-bangsa bagi pembangunan jiwa-raga segenap warga negara memang mencatatkan progres, sebagaimana tercermin pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Sepanjang periode 2010-2022, IPM Indonesia rata-rata meningkat 0,77 persen per tahun.
Namun, ketika menyoroti pembangunan manusia Indonesia itu dari aspek pendidikan anak dan remaja, harus diterima kenyataan bahwa masyarakat memang merasakan progres sektor pendidikan nasional belum signifikan. Faktanya memang terdengar dan terlihat pahit.
Betapa tidak, masih begitu banyak keluarga merasa tidak nyaman karena harus berjuang ekstra keras agar putera-puteri mereka bisa mendapatkan akses atau diterima di sekolah terdekat.
Menyekolahkan anak, bagi sebagian orang tua, masih dirasakan sebagai kewajiban keluarga yang teramat sulit. Pada setiap awal tahun ajaran baru, akan selalu terdengar keluhan banyak keluarga tentang kesulitan mendapatkan akses bagi anak mereka diterima di sekolah. Kesulitan jutaan anak mendapatkan tempat di sekolah untuk belajar tentu saja menghadirkan akibat yang amat memprihatinkan.
Menurut data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) yang diolah Bappenas pada 2022, anak-remaja usia sekolah (7-18 tahun) yang tidak bersekolah mencapai 4.087.288 anak.
Jumlah ini memperlihatkan peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2021 yang jumlah mencapai 3.939.869 anak. Rinciannya, sebanyak 491.311 anak usia sekolah drop out pada tahun ajaran baru. Dan, sebanyak 252.991 anak putus sekolah di tengah jenjang. Dan tak kurang dari 238.320 anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada tahun ajaran baru.
Juga tercatat sedikitnya 3.356.469 anak usia sekolah sudah drop out pada tahun-tahun ajaran sebelumnya. Melengkapi gambaran itu, Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini sudah memublikasi data tentang 10 juta remaja atau generasi Z (Gen-Z) yang tidak melanjutkan sekolah dan tidak bekerja. Tidaklah bijaksana jika data-data resmi ini hanya menjadi bahan obrolan atau sekadar diratapi.
Sebagai persoalan, data dan fakta ini patut direspons dengan penuh kebijaksanaan. Mewujudkan tanggung jawab dan kewajibannya seturut titah konstitusi, negara harus segera melakukan intervensi dengan solusi yang tepat agar belasan juta anak-remaja itu siap menghadapi masa depan mereka yang boleh jadi bakal sarat tantangan. Mereka layak memperoleh pendidikan yang memadai agar punya kompetensi ketika memasuki dunia kerja yang terus berubah.
Dengan memaknai data dan fakta tadi, gagasan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih dengan prioritas program membuka akses seluas-luasnya bagi anak-remaja usia sekolah untuk mengenyam pendidikan menjadi sangat relevan.
Jika priortas program ini bisa direalisasikan, setidaknya akan menyelamatkan masa depan puluhan juta anak-remaja yang saat ini tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Modal dasar untuk membiayai program ini sudah ada, yakni kewajiban negara mengalokasikan 20 persen dari total nilai APBN untuk anggaran pendidikan yang sudah dimulai sejak 2019. Fakta dan data tentang belasan juta anak-remaja putus sekolah hendaknya dijadikan indikator sekaligus pijakan untuk evaluasi, untuk kemudian berupaya meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran yang nilainya per tahun mencapai ratusan triliun rupiah itu.
Urgensi penyesuaian kurikulum pendidikan bagi anak-remaja pun hendaknya menjadi perhatian para ahli dari tim transisi Prabowo. Anak-remaja saat ini, atau Gen-Z, sudah menapaki Revolusi Industri 4.0, era ketika hampir semua aspek dalam kegiatan ekonomi dan industri berevolusi dengan mengadopsi teknologi digital, integrasi sistem, kecerdasan buatan dan konektivitas. Dampaknya, lanskap dunia kerja era terkini pun berubah, karena membutuhkan angkatan kerja dengan kompetensi seturut kebutuhan Industri 4.0.
Literasi digital dalam proses pendidikan anak-remaja perlu diintensifkan, agar generasi muda Indonesia mampu membangun kompetensi mereka seturut kebutuhan zamannya.
Sekarang dan di kemudian hari, permintaan dan kebutuhan lapangan kerja Indonesia idealnya bisa dipenuhi oleh tenaga kerja lokal, tidak lagi tenaga kerja asing. Syarat utamanya, negara harus peduli dalam pendidikan anak dan remaja, dengan memberi mereka ruang dan peluang untuk membangun kompetensi sesuai kebutuhan zaman.
*Penulis adalah Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur
BERITA TERKAIT: