MK hanya mengurusi keberatan terhadap hasil perhitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya paslon, atau penentuan untuk dipilih kembali pada pilpres (Pasal 475 ayat (2)).
Persoalannya adalah kuasa hukum paslon Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud bermaksud menggiring MK keluar dari ketentuan UU Pemilu di atas, yaitu bukan mengenai penetapan perolehan suara hasil pilpres, juga aspek yang sama sekali tidak memengaruhi penentuan terpilihnya paslon.
Di samping itu paslon yang kalah pilpres, menginginkan pilpres ulang secara nasional untuk dipilih pada pilpres dengan tanpa menyertakan paslon Prabowo dan Gibran.
Dengan kata lain adalah tim kuasa hukum dari paslon yang kalah pilpres bermaksud membangun konstruksi ketentuan hukum yang sama sekali baru, yakni dengan maksud mengubah sama sekali ketentuan dari Pasal 475 UU Pemilu 7/2017.
Mereka menolak penataan kewenangan untuk MK. Menolak MK hanya mengurusi keberatan terhadap hasil perhitungan suara, yang memengaruhi penentuan terpilihnya paslon.
Hal itu, karena hasil penetapan suara pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa paslon Anies-Muhaimin memperoleh 40,97 juta suara. Paslon Prabowo-Gibran meraih 96,21 juta suara. Paslon Ganjar-Mahfud memperoleh 27,04 juta suara.
Implikasinya adalah berdasarkan ketentuan Pasal 475 UU Pemilu 7/2017, maka paslon Anies-Muhaimin perlu membuktikan minimal 55,24 juta suara untuk melampaui perolehan suara paslon Prabowo Gibran.
Demikian pula terlebih untuk paslon Ganjar-Mahfud memerlukan pembuktian minimal 69,17 juta suara untuk melampaui perolehan suara paslon Prabowo dan Gibran.
Dengan kata lain, sungguh amat sangat sulit untuk kuasa hukum paslon Anies Muhaimin, terutama paslon Ganjar-Mahfud untuk memengaruhi penentuan terpilihnya suara paslon. Termasuk juga kepentingan mengonstruksikan pilpres ulang untuk dipilih kembali pada pilpres.
Hal ini, karena klausul penentuan untuk dipilih kembali pada pilpres mensyaratkan untuk MK terlebih dahulu memutuskan mengurusi keberatan terhadap hasil perhitungan suara, yang memengaruhi penentuan terpilihnya paslon.
Di samping itu, usaha tim kuasa hukum paslon untuk mendorong MK mengambil keputusan keluar dari kewenangan UU Pemilu 7/2017 sungguh bukanlah solusi. Hal itu, karena MK sungguh-sungguh semestinya tidak akan pernah bersedia melanggar penataan kewenangan dalam UU Pemilu.
Suara sebanyak 96,21 juta pemilih paslon Prabowo dan Gibran sebagai populasi suara mayoritas pun di dunia nyata sungguh amat sangat sulit untuk di-nol-kan begitu saja, sebagaimana harapan dari tim kuasa hukum paslon yang kalah pilpres.
Sulit di-nol-kan, karena pilpres telah dilaksanakan secara berjenjang sejak Tempat Pemungutan Suara (TPS), kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, dan nasional.
Di samping itu KPU telah melaksanakan masukan dari Bawaslu untuk melakukan perhitungan ulang, rekapitulasi ulang, pemilu ulang, dan pemilu susulan untuk setiap TPS, yang jika telah diputuskan oleh mekanisme Bawaslu sebagai konsekuensi telah terjadi pelanggaran pemilu 2024.
Tim kuasa hukum paslon yang kalah pilpres terkesan lebih tertarik terhadap persoalan pelanggaran pemilu dari temuan pelanggaran pemilu dan laporan pelanggaran pemilu. Dalam hal ini, kedua jenis pelanggaran tersebut merupakan kewenangan dari Bawaslu sebagaimana ditata pada Pasal 454.
Kemudian tim kuasa hukum juga mempersoalkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, yang merupakan ranah kewenangan DKPP (Pasal 457). Selanjutnya, penyelesaian pelanggaran administratif pemilu merupakan kewenangan Bawaslu (Pasal 461).
Penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan kewenangan Bawaslu (Pasal 467), pengadilan tata usaha negara (Pasal 470), pengadilan tata usaha negara pemilu (Pasal 471), maupun Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu (Pasal 472).
Persoalan yang bersifat mendasar adalah tim kuasa hukum paslon yang kalah, itu membawa masalah pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administratif, dan penyelesaian sengketa proses pemilu kepada MK.
Hal itu dibandingkan tim kuasa hukum yang kalah pilpres untuk secara tertib hukum mengikuti penataan penyelesaian kelembagaan pelanggaran pemilu, dengan mengikuti ketentuan UU Pemilu 7/2017.
Bahkan yang bersifat lebih fatalistik adalah tim kuasa hukum bukannya mempersoalkan para penyelenggara pemilu, melainkan mempersoalkan pemerintah, yang berada di luar urusan persoalan pelanggaran penyelenggara pemilu 2024. Pemerintah bukanlah sebagai penyelenggara pemilu.
Singkat kata, MK nantinya akan membuktikan tentang sejarah apakah MK mengikuti konstruksi penabuhan suara gendang dari tim kuasa hukum dari paslon yang kalah dan MK keluar dari semua ketentuan yang telah diatur dalam UU Pemilu 7/2017.
Pilihan berikutnya adalah MK merupakan pemutus akhir yang bersifat final, yang juga berfungsi sebagai kanalisasi dari pendukung paslon yang kalah dan masih sedang marah besar, untuk mengurangi ketidaksiapan kalah pilpres sebagai langkah hukum yang terakhir.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: