Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kembali ke Masa Lalu: Perang Dingin Eropa Abad 21

OLEH: INDRA KUSUMAWARDHANA*

Selasa, 19 Maret 2024, 09:34 WIB
Kembali ke Masa Lalu: Perang Dingin Eropa Abad 21
Militer Rusia/Net
DOSEN ilmu politik Universitas Chicago John Mearsheimer pada 1990 pernah menulis artikel kontroversial bahwa Eropa di masa mendatang tidak akan menjadi kawasan damai dan stabil melainkan justru sebaliknya. Ia bahkan mengingatkan bahwa kawasan itu kemungkinan besar akan mengalami situasi yang lebih buruk dibanding situasi pada Perang Dunia II (Mearsheimer, 1990).

Ramalan itu menjadi kenyataan ketika Rusia menginvasi Ukraina pada September 2022 silam. Perang ini sampai sekarang belum usai dan justru menyeret negara-negara Barat ke dalam konfrontasi tanpa akhir dengan Rusia. NATO secara terang-terangan menyuplai bantuan militer ke Ukraina yang memicu perlawanan Rusia makin keras. Pada pertengahan tahun 2023 lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengancam akan meluncurkan serangan nuklir apabila Barat nekat mengirimkan pasukannya ke Ukraina.

Belakangan, sejumlah negara Eropa yang tadinya berkomitmen pada politik netralitas mengubah haluan kebijakan luar negerinya dengan bergabung ke NATO. Finlandia resmi bergabung pada April 2023 dan menyusul tetangganya Swedia pada Maret 2024. Keputusan kedua negara ini mudah dipahami mengingat ancaman Rusia di Eropa makin membesar.

Perang Dingin 2.0

Meningkatnya ketegangan di Eropa pasca invasi Rusia ke Ukraina menciptakan situasi yang mirip dengan Perang Dingin. Perang Rusia-Ukraina menjadi proxy war antara Rusia dan negara-negara Barat sebagaimana dulu Uni Soviet yang berkonflik dengan AS usai Perang Dunia II. Kecondongan politik Ukraina ke negara-negara Barat menjadikan benua biru itu tak sedamai kelihatannya. Negara-negara Eropa dari hari ke hari semakin cemas dengan situasi dan meningkatkan kewaspadaan.

Belum lama ini, pemerintahan Joe Biden berencana menempatkan kembali senjata nuklirnya di Inggris. Menurut harian The Telegraph, rencana itu disusun AS dengan tujuan “meningkatkan postur pertahanan AS di Eropa untuk merespons perubahan lingkungan keamanan” (Telegraph, 2024).

Sebagai balasan, seorang anggota senior parlemen Rusia (Duma) mengusulkan kepada Moskow agar menempatkan senjata nuklirnya di negara-negara sekutu Rusia yang berdekatan dengan AS seperti Kuba, Venezuela, dan Nikaragua (Newsweek, 2024).

Kekhawatiran Eropa akan risiko eskalasi perang membuat negara-negara meningkatkan anggaran pertahanannya. Menurut NATO, pada 2023 anggaran pertahanan negara-negara Eropa secara umum terjadi kenaikan 11 persen yang menjadikannya kenaikan anggaran militer paling signifikan sejak 10 tahun terakhir (NATO, 2024). Menurut data dari SIPRI, pasca invasi Rusia ke Ukraina belanja senjata negara-negara Eropa melonjak dua kali lipat sejak lima tahun terakhir dimana Ukraina menjadi importir senjata terbesar keempat di dunia dengan lebih dari 30 negara penyuplai senjata ke negara itu (SIPRI, 2023).

Instabilitas keamanan di Eropa pada gilirannya mengubah wajah Uni Eropa yang tadinya digadang-gadang sebagai zona damai yang hanya memfokuskan pada kerjasama ekonomi alih-alih militer menjadi institusi yang termiliterisasi. Beberapa waktu lalu parlemen Uni Eropa merilis dokumen strategi pertahanan Uni Eropa atau European Defence Industrial Strategy (EDIS) sebagai roadmap menjadikan Uni Eropa sebagai institusi yang ‘siap perang’ (ready for war).

Dalam pidato tahun 2023, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyatakan bahwa komitmen memperkuat pertahanan Eropa melawan ancaman Rusia merupakan salah satu dari ‘panggilan sejarah’ (call of history) lembaga itu (European Commission, 2023).

Paradigma Keamanan

Pepatah mengatakan “sejarah selalu berulang.” Untuk saat ini, Eropa sedang mengulangi peristiwa di masa lampau saat kawasan itu dirundung konflik dan peperangan. Eropa saat ini bukan Eropa pasca Perang Dunia II ketika negara-negara yang dulunya saling berperang bersepakat membentuk zona kerjasama ekonomi yang dikenal dengan Komunitas Ekonomi Eropa, cikal bakal Uni Eropa. Saat itu, negara-negara Eropa bersepakat mengubur sejarah kelam di masa perang dan melangkah ke depan demi kemakmuran bersama.

Namun dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina, komitmen tadi meluntur. Paradigma ekonomi yang mendasari Uni Eropa bergeser ke paradigma keamanan. Pergeseran paradigma Uni Eropa ini mencerminkan cara pandang realisme politik internasional bahwa hubungan antarnegara selalu diliputi benturan kepentingan dan perang. Uni Eropa tadinya percaya bahwa kerjasama ekonomi dapat melunturkan ambisi negara untuk berperang. Nyatanya, mereka keliru menafsirkan dunia karena tidak ada yang bisa mencegah perang antarnegara.

Saat ini perang sedang membayangi negara-negara Eropa. Walaupun tak semua negara Eropa menempatkan Rusia sebagai musuh nomor satu, namun persepsi ancaman tetap tinggi. Menurut perkiraan NATO, resiko eskalasi perang antara Rusia melawan NATO bukan skenario yang dibesar-besarkan. Kemungkinan itu tetap ada sekalipun kecil.

Paradigma realisme politik menekankan pada keamanan negara sebagai prioritas kepentingan nasional. Ketidakpastian akan prospek perang Rusia-Ukraina membuat negara-negara Eropa mau tak mau harus memperkuat pertahanan diri mereka. Setiap negara pasti berusaha ingin mempertahankan diri (survival) di tengah kondisi ketidakpastian internasional (Waltz, 1979).

20 tahun lalu, penulis aliran neokonservatif Amerika Robert Kagan menulis buku berjudul Of Paradise and Power: America and Europe in the New World Order. Di bukunya itu, Kagan membedakan antara budaya strategis Eropa dan Amerika. Menurutnya, budaya strategis Eropa adalah liberalisme-republikan ala Immanuel Kant yang berorientasi pada kemakmuran dan perdamaian. Sebaliknya, budaya strategis Amerika adalah realisme ala Thomas Hobbes yang berorientasi pada logika militer dan ancaman (Kagan, 2003).

Dikotomi Kagan itu kini tak lagi relevan. Eropa saat ini justru mengadopsi filosofi Amerika dengan orientasinya pada keamanan. Eropa sedang mengalami gelombang balik sejarah. Semoga dunia selamat dari malapetaka kemanusiaan akibat pilihan politik yang tidak arif.

*Penulis adalah dosen hubungan internasional, Universitas Pertamina

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA