Paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memperoleh 72,24 juta suara (59,73 persen). Paslon Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar memperoleh 26.46 juta suara (21,88 persen). Paslon Ganjar Pranowo dan Mahfud MD memperoleh suara sebesar 22,25 juta suara (18,39 persen).
Persoalannya kemudian adalah aktivis gerakan pro demokrasi, anti pelanggaran etika, dan anti pelanggaran moralitas sebagai gerakan kampus dari kalangan akademisi (dan terutama sebagian guru besar) kembali menyatakan keberatan terhadap hasil pilpres. Mereka berkumpul di Universitas Gajah Mada dan terkesan menolak hasil rekapitulasi sementara pilpres di atas.
Guru besar terkesan menolak pemilu pilpres (dan pileg) sebagai Pemilu 2024. Hal itu karena pemilu 2024 diyakininya melanggar etika dengan diperkenankannya Gibran sebagai cawapres dari capres Prabowo. Juga karena DKPP telah memperingatkan KPU RI telah melakukan pelanggaran berat beberapa kali (4 kali).
Demikian pula terhadap Bawaslu RI. Aparatur penegak hukum diyakini mengintimidasi Kepala Desa (Kades) dan Kepala Kelurahan (Kalur), misalnya dengan menekan dana bantuan desa dan bansos. Juga pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) bertindak tidak netral.
Intimidasi dan ketidaknetralan tersebut diyakini oleh gerakan ini telah membuat hasil pemilu terjadi seperti di atas, yang memenangkan Prabowo-Gibran. Demikian pula pengangkatan pejabat sementara kepala daerah. Termasuk dengan penggelontoran bansos berat dan perapelan dana bantuan langsung tunai.
Sebenarnya gerakan akademisi telah dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemilu 14 Februari 2024. Akan tetapi data rekapitulasi hasil
real count KPU tetap memenangkan paslon Prabowo-Gibran. Demikian pula setelah pengumuman hasil hitung cepat.
Yang paling menarik adalah setelah hasil
real count dari 120,93 juta pemilih, bermaksud hendak dibatalkan oleh gerakan akademisi tersebut di atas. Dapat dibayangkan bahwa keyakinan pilihan politik dari 120,93 juta pemilih seakan dinihilkan dan dimentahkan oleh gerakan akademisi.
Minoritas hendak mementahkan suara mayoritas, atas dasar penghormatan posisi guru besar dalam kampus, yang hendak dipaksakan diberlakukan terhadap pemilu 2024.
Persoalan ditambahkan oleh informasi pengamat teknologi informasi, yang menyatakan bahwa KPU bekerja sama dengan pihak asing Alibaba dalam kegiatan
cloud data.
Informasi ini dijadikan sebagai informasi yang memojokkan KPU. Pada kenyataannya apabila perseorangan ingin mengetahui lokasi
IP address berdasarkan tutorial YouTube, maka dengan sangat mudah diketahui bahwa lokasi
IP address alamat email berada di luar negeri.
Begitulah kenyataannya, dimana senantiasa ketidakmandirian dalam teknologi informasi menghendaki adanya kerja sama dengan negara-negara yang lebih maju.
Persoalannya, jika kondisi kekurangan kemampuan keilmuan teknologi informasi yang bersifat mendasar seperti itu dipersalahkan pada KPU, maka informasi yang serba bernada negatif seperti ini menguatkan konstruksi ketidakpercayaan terhadap kredibilitas KPU.
Konstruksi ketidakpercayaan yang senantiasa dikobarkan untuk mendelegitimasi hasil rekapitulasi
real count KPU bertujuan untuk menolak Pemilu 2024. Juga terutama untuk dijadikan instrumen memakzulkan Presiden Joko Widodo menggunakan mekanisme hak angket.
Hal ini terjadi, karena jika pihak yang kalah pilpres (dan pileg) sungguh sulit menang, jika menggunakan mekanisme Mahkamah Konstitusi (MK). UU Pemilu 7/2017 tidak memberikan ruang kepada pihak yang kalah, selama pihak yang kalah menggunakan alasan-alasan sebagaimana telah disebutkan di atas.
Oleh karena itu gerakan kampus menghendaki penyelesaian kekalahan Pilpres menggunakan jalur hak angket. Sekalipun ditutup-tutupi, hak angket sesungguhnya akan mudah berujung bagaikan bola liar untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo.
Tetap memakzulkan sekalipun mekanisme pemakzulan sungguh amat sangat sulit dapat ditempuh secara sangat cepat sebelum berakhirnya periode jabatan Presiden Joko Widodo. Meskipun demikian gerakan kampus mengusulkan untuk menggunakan mekanisme pengadilan rakyat.
Usulan mekanisme pengadilan rakyat mengingatkan tentang tragedi eksekusi orang-orang kaya raya dipersalahkan dalam pengadilan singkat, yang mereka kemudian digantung pada periode kepemimpinan Mao Zedong (Mao tse Tung) dalam sejarah di Tiongkok.
Di Indonesia, pada periode berkuasanya komunisme, maka mekanisme pengadilan rakyat pernah dipraktikkan untuk menghakimi para pejabat pemerintahan, yang dituduh bersalah oleh sekelompok orang berpaham komunisme. Pejabat tadi dihukum mati melalui pengadilan singkat, bahkan tanpa pengadilan.
Periode masa kelam pengadilan rakyat di Indonesia tersebut di atas, kiranya bukanlah mekanisme hukum yang diakui di Indonesia dewasa ini. Oleh karena itu pihak-pihak yang mengusulkan metoda dan mekanisme Pengadilan Rakyat untuk mencari Solusi tuduhan kecurangan Pemilu 2024 perlu menjelaskan lebih konkret.
Yang amat disayangkan adalah belum ada ketegasan dari pemerintah dalam menyikapi semua euforia dari pihak-pihak yang kalah dalam pilpres berselimutkan demokrasi, sekalipun mekanisme Pemilu 2024 telah memperbaiki dalam bentuk pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang, dan pemilu susulan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: