Namun ketika aksi massa sampai di Gambir, aksi protes itu lantas berubah dengan peristiwa berdarah. Aksi protes itu mencoba dibubarkan oleh militer dengan tindak kekerasan hingga tank dikerahkan untuk membubarkan, mengejar, dan menakut-nakuti aksi massa itu. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan peristiwa “Gambir Berdarah”.
Peristiwa Gambir Berdarah ini menjadi titik balik penting dalam gerakan oposisi terhadap rezim Orde Baru. Ia menjadi aksi massa terbesar setelah Tritura dan menjadi momen bersatunya kekuatan oposisi dari beragam unsur yang dizalimi kekuasaan Orde Baru.
Akan tetapi, dari peristiwa Gambir inilah tekanan demi tekanan kian menghujani para aktivis PDI Pro Mega. Posisi PDI Pro Mega semakin terbuka sebagai oposisi diametral kekuasaan Orde Baru. Dan risiko yang paling sulit adalah terputusnya akses pendanaan partai yang selama ini diberikan oleh negara.
Pascaperistiwa Gambir, dana operasional yang sebelumnya diterima setiap bulan oleh partai dari Sekretariat Negara yang berkisar Rp7,5 juta (1992-1997) dan Rp125 juta (1997-1999), diputus dan dialihkan kepada DPP PDI kubu Soerjadi yang didukung pemerintah.
Begitu pula dengan dana sumbangan dari anggota partai yang duduk di DPR juga terhenti. Kalangan menengah, baik pengusaha maupun profesional, tak berani mendekat apalagi memberi sumbangan. Karena dianggap musuh negara, maka semua kalangan takut akan ancaman rezim kekuasaan otoriter Orde Baru apabila membantu Gerakan PDI Pro Mega. Dengan demikian, para pengurus PDI Pro Mega tidak bisa lagi mengakses sumber dana dari negara dan manapun, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun ketika tekanan semakin keras dan akses pendanaan ditutup rapat, PDI Pro Mega bukan malah lemah dan mati, justru akar rumput PDI Pro Mega mengalami radikalisasi. Sebuah proses yang tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh rezim Orde Baru. Akar rumput PDI Pro Mega yang semakin militan ini kemudian menciptakan sebuah model pembiayaan politik yang survival dengan semangat gotong royong. Sehingga muncul istilah dana perjuangan atau dana gotong royong.
Pembiayaan gotong royong ini bukan datang dari sumbangan sekelompok pengusaha,
money laundry atau sindikat bisnis penguasa. Melainkan datang dari kalangan kelas ekonomi bawah, seperti supir bajaj, tukang becak, pekerja informal ataupun pedagang kecil di pasar tradisional. Mereka menyumbangkan apa yang mereka punya seperti air mineral, beras, sayuran, indomie, gula, teh, kopi, sampai ikan asin.
Dari partisipasi aktif akar rumput ini, kemudian lahir dapur-dapur umum yang dikelola oleh ibu-ibu simpatisan akar rumput PDI Pro Mega. Model pendanaan akar rumput dengan skema swadana yang dikelola dengan swakelola inilah yang menopang Gerakan PDI Pro Mega sehingga menjadi ancaman penting rezim Orde Baru.
Model pembiayaan gotong royong kemudian berkembang menjadi locus penting dalam sejarah politik Indonesia yaitu lahirnya Posko Gotong Royong. Mulanya pendirian Posko Gotong Royong dibentuk oleh akar rumput PDI Pro Mega untuk mengantisipasi dampak kerusuhan Mei 1998. Namun seiring berjalannya waktu, Posko Gotong Royong berkembang menjadi ruang konsolidasi baru antara fungsionaris partai dengan massa akar rumput.
Dan tak bisa dipungkiri eksistensi Posko Gotong Royong menjadi elemen penopang terbentuknya mesin partai di akar rumput hingga punya kontribusi penting terhadap kemenangan PDI Perjuangan pada Pemilu 1999.
Posko Gotong Royong menjadi pusat gravitasi politik gerakan PDI Pro Mega, baik aktivitas konsolidasi maupun kampanye partai. Tak jarang aktivitas layaknya pembuatan atribut yang berkaitan dengan partai seperti gambar Bung Karno, gambar Megawati, bendera Banteng, kaos partai, dan lainnya, dikerjakan atau disablon secara mandiri bergotong royong di Posko Gotong Royong.
Bahkan tak jarang, kampung-kampung di sekitar Posko Gotong Royong dihiasi dengan segala rupa terkait PDI Pro Mega seperti tembok kampung dihiasi mural Bung Karno dan Megawati, gapura kampung yang dipenuhi spanduk bertuliskan “Anda memasuki Kampung Banteng”, “Zona Pro Mega”, dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan secara swadana dan swakelola.
Menjelang Pemilu 1999, di seluruh Indonesia diperkirakan sudah berdiri kurang lebih 500 ribu Posko yang berdiri aktif hingga tingkat dusun dan RT/RW. Sebuah mesin pengornisasian politik raksasa yang bukan tumbuh karena mobilisasi amplop, doorprize, atau konser dangdut dan sembako. Melainkan partisipasi aktif warga hingga warga rela mengorbankan apa yang dimilikinya (swadana) dan mengelolanya secara mandiri (swakelola) untuk perjuangan bersama partai.
Sebuah pola pengorganisasian yang eksentrik di tengah kebijakan politik
floating mass Orde Baru yang mencoba mengamputasi kesadaran politik rakyat bawah. Posko Gotong Royong muncul layaknya oase bagi pendidikan politik rakyat yang nyata dan konkret.
Menariknya, Posko Gotong Royong tak hanya melahirkan pendanaan partai yang bersifat swadana dan swakelola. Melainkan juga melahirkan pengamanan swakarsa. Kelahiran Satgas tak bisa dilepaskan dari eksistensi Posko Gotong Royong dimana Posko Gotong Royong menjadi basis rekrutmen anggota satgas. Hingga semua perlengkapan satgas dari seragam, sepatu sampai baret dibiayai secara swadana oleh Posko Gotong Royong.
Posko pun akhirnya bukan hanya menjadi ruang pertemuan vertikal antara pengurus partai di tingkat atas dengan pengurus tingkat bawah. Namun telah berkembang menjadi ruang pertemuan horizontal antara mereka pengurus dan kader partai dengan masyarakat luas. Bahkan tak jarang posko menjadi ruang aktivitas sosial masyarakat umum. Posko menjadi ruang milik rakyat.
Orde Baru pun tumbang dan PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 berhasil menjadi pemenang pemilu dengan meraih suara 33,74 persen, perolehan tertinggi dalam sejarah pemilu partai banteng. Dan kemenangan ini bukan diraih karena pulung penguasa, bukan karena tingginya approval rating penguasa.
Melainkan karena militansi akar rumput yang menyatu dengan partai. Terbukti, dari laporan keuangan partai politik KPU 1999, sumber utama dana kampanye PDI Perjuangan dalam pemilu 1999 berasal dari dana
grassroots yang mencapai 81,10 persen dari total penerimaan partai.
Maka wajar jika pada HUT PDI Perjuangan yang ke-51 kemarin, Megawati Soekarnoputri mengungkapkan ketika PDIP berhadapan dengan rezim otoriter yang tidak segan menggunakan segala cara maka rakyatlah penopang kita. Megawati menyebutnya dengan istilah akar rumput.
Rumput menjadi simbol dari kehidupan yang tidak pernah menyerah. Ia menyebut rumput dapat tetap tumbuh dalam kondisi apapun.
"Rumput tidak pernah menyerah. Serta dapat tumbuh di manapun, ia mampu tumbuh di gunung tanah gersang, tanah subur, dan juga di laut,” ujar Megawati.
Di tengah demokrasi kita yang berada di ambang krisis layaknya era Orde Baru dan politisasi Bansos-BLT yang bisa meracuni kesadaran akar rumput, pidato Megawati Soekarnoputri tak bisa dipahami semata-mata sebagai romantisme historis, namun sebuah upaya reactivating the past. Terutama upaya membangkitkan kembali “akar rumput” yang bukan hanya menopang partai banteng ini melainkan berdasarkan literasi historis telah menjadi identitas eksistensial partai ahli waris Marhaenis ini.
Penulis adalah Ketua Umum DPP GMNI
BERITA TERKAIT: