Usai revolusi 'People Power' 1986, keluarga Marcos melarikan diri ke Hawaii. Namun, setelah kematian Marcos Senior tahun 1989, keluarga ini diperbolehkan Presiden Corazon Aquino, untuk kembali ke Filipina.
Sejak itu, Marcos Junior (Bongbong) mulai terjun ke dunia politik di Filipina. Pelan namun pasti, ia menjadi politikus lalu senator, selanjutnya jadi capres Filipina 2022. Berpasangan dengan Sara-Duterte Carpio sebagai calon wakil presiden. Sara putri Rodrigo Duterte, penguasa Filipina saat Pemilu berlangsung.
Bongbong memperoleh dukungan penuh Rodrigo Duterte, ayah Sara. Jaringan Duterte memainkan peran penting terutama memperkuat upaya semua fakta kebobrokan zaman ayah Bongbong dulu. Tim kampanye Bongbong memakai media sosial untuk mendistorsi sejarah kelam pemerintahan diktator Marcos.
Bongbong tahu, sebagian besar pemilih Pilpres Filipina adalah anak muda. Mereka belum lahir ketika diktator Marcos berkuasa dengan tangan besi.
Kemenangan Bongbong juga bisa dilihat dari dukungan warga daerah asal keluarga Marcos. Berkat tim media Bongbong, keluarga ini terpoles seolah tak punya dosa masa lalu. Mereka mengubah gambaran zaman Marcos lewat trik distortif. Tak sesuai fakta sejarah. Bahwa fakta sejarah menunjukkan Filipina era Marcos justru berada di titik nadir demokrasi, pelanggaran HAM berat serta korupsi merajalela.
Bongbong memframing ulang semua itu. Hasilnya, pemilih Filipina menganggap zaman Marcos sebagai abad keemasan.
Trik framing ulang ternyata juga dilakukan di Indonesia saat ini. Caranya, melalui survei menilai hasil kinerja rezim. Survei ini telah digelar beberapa waktu lalu. Tujuannya, memframing ulang kinerja rezim.
Hasil survei menyebut masyarakat puas pada kinerja rezim, lalu survei pun disebar agar publik percaya keberhasilan rezim. Padahal, fakta terjadi sebaliknya. Masyarakat justru merasa kinerja rezim tak beres. Terbukti dari harga kebutuhan pokok yang acap tak terkendali.
Cara pikir pendukung Bongbong-Duterte juga sangat mirip dengan cara pikir pendukung status-quo di Indonesia. Pendukung Duterte dan Bongbong menganggap hasil kerja rezim yang sedang berkuasa sudah baik, maka perlu dilanjutkan.
Idem ditto dengan para pendukung status-quo disini yang ingin melanjutkan zona nyaman mereka melalui klaim, bahwa situasi sudah baik. Tak ada kekurangan apalagi kesalahan.
Kesamaan-kesamaan itu jelas bukan kebetulan belaka. Realpolitik antara Filipina dan Indonesia relatif sama, ketika rezim penguasa ingin tetap mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Termasuk cara memanipulasi sejarah kepada Generasi Z, meninabobokan generasi pemilih pemula dengan konten-konten gemoy di media sosial dan melabrak aturan main.
Penulis adalah peneliti di Surabaya
BERITA TERKAIT: