Angsuran untuk membayar bunga utang pemerintah pusat mencapai Rp 437,4 triliun tahun 2023 dan Rp 497,3 triliun tahun 2024. Sementara itu belanja pegawai pemerintah pusat sebesar Rp 432,5 triliun tahun 2023 dan Rp 481,4 triliun tahun 2024.
Ketika belanja pemerintah pusat hendak dijauhkan, minimal diperlunak dari penindakan terhadap kegiatan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam proses kontestasi capres dan cawapres, maupun proses meningkatkan pendapatan negara, maka tidak terbayangkan tentang seberapa besar beban berat yang musti dipikul oleh generasi muda dan penduduk pra-sejahtera, yang kesejahteraannya tertekan oleh besarnya komitmen untuk membayar bunga utang kepada pada kreditur.
Akan tetapi, utang akan berdampak semakin buruk, apabila “dikemplang”. Angsuran membayar bunga utang yang besar, merupakan konsekuensi terhadap pembesaran belanja pemerintah pusat dalam menangani pandemi covid-19, pemulihan perekonomian, membesarkan pendanaan program jaring pengaman sosial, dan besarnya kegencaran pembangunan infrastruktur, serta percepatan pembangunan ibukota nusantara.
Kebocoran dan pengabaian terhadap ketepatan belanja pemerintah pusat itu, setidaknya bukan hanya terkesan “membiarkan” persoalan belanja pegawai untuk juga mengurusi masa depan dari para pegawai honorer dan sukarelawan, yang terkesan terkatung-katung. Juga terhadap permintaan petugas kelurahan yang ingin diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sungguh buruk, apabila status guru dan petugas kesehatan masih “terkatung-katung” sebagai pegawai honorer dan sukarelawan di tengah kendala besarnya angsuran bunga utang, yang yield besar.
Di samping itu, pekerjaan rumah tentang besarnya angsuran bunga utang dan belanja pegawai pemerintah pusat, yang terkesan semakin menekan upaya menghadirkan peran pemerintah.
Politik APBN tersebut dewasa ini telah sangat menggerus harapan-harapan untuk membangun ekspor pangan. Yang terjadi justru semakin menjauh dari surplus pangan.
Semakin memustahilkan penolakan terhadap impor pangan, yang realita impor pangan justru semakin membesar. Liberalisasi APBN terkesan telah semakin menjauhkan romantisme keberpihakan pada modernisasi pembangunan tanaman pangan.
Itulah pilihan keberpihakan terhadap politik anggaran, yang perlu kembali terbangkitkan, yakni ketika pembangunan pertanian tanaman pangan memerlukan pemberdayaan. Sebab, dewasa ini masih sungguh sulit melipatgandakan produksi pangan secara lebih efisien tanpa keberpihakan terhadap reaktualisasi dan modernisasi pertanian.
Kemudian pemberlakuan harga keekonomian pada sektor pangan justru semakin meningkatkan ketergantungan impor pangan.
Penulis adalah eneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), yang juga pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: