KPK menyimpulkan berdasar hasil penyelidikan, Letkol Afri yang di-OTT saat makan soto di restoran soto di Jatisampurna, Bekasi, biasa setor uang hasil suap kepada komandan, yakni Henri Alfiandi.
Uang suap yang di-OTT KPK, tersimpan dalam goodie bag, berada di bagasi mobil Afri, yang parkir di depan restoran soto, tempat Afri sedang makan. Ketika Afri ditangkap, lalu petugas menggeledah mobil. Ketemulah uang Rp 999,7 juta.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung KPK, Rabu (26/7) menjelaskan kronologi OTT, begini:
Ada informasi masuk ke KPK, bahwa bakal ada penyerahan uang suap dari pihak perusahaan swasta kepada pejabat Basarnas. Info lengkap dengan lokasi penyerahan uang dan waktu penyerahan.
KPK mempelajari mendalam info tersebut. Setelah penyidik KPK yakin kebenarannya, dibentuk tim penyergap. Langsung bertugas melakukan pengintaian.
TKP ternyata di lingkungan Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Tepatnya di area parkir sebuah bank di lingkungan Mabes TNI. Diduga, penyuap mencairkan uang tunai, tidak melalui transfer yang gampang dilacak PPATK.
Selasa, 25 Juli 2023 sekitar pukul 14.00 WIB penyerahan uang suap. Dari pihak perusahaan swasta kepada Afri. Setelah penyerahan uang mereka berpisah.
Tim KPK segera meringkus tiga orang di TKP. Yakni, Marilya, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGS). Erna, SPV Treasury PT IGS. Herry W, supir Marilya. Langsung diangkut menuju Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, untuk diperiksa.
Tim KPK lainnya mengejar Afri, yang ternyata makan di restoran soto di kawasan Jatiraden, Jatisampurna, Bekasi. Ditangkap di sana. Juga, langsung dibawa ke Gedung KPK. Setelah diperiksa, Afri diserahkan ke Puspom TNI untuk ditahan, menunggu penyidikan perkara.
Penyidik KPK kemudian melakukan interogasi, dilanjut pengembangan penyidikan. Maka terungkap rangkaian dugaan korupsi berupa suap, dari perusahaan swasta pemenang tender proyek Basarnas.
Ketika empat orang tersangka ditangkap, wartawan minta konfirmasi kepada Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi. Dijawab Henri: “Belum ada konfirmasi.”
Ternyata kemudian KPK menyatakan, Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi juga tersangka penerima suap. Tapi belum ditahan.
Dalam penyidikan lanjut, kemudian KPK menetapkan delapan tersangka lagi. Total 11 tersangka dalam perkara ini.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menjelaskan pokok perkara. Bahwa, perkara ini terkait pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Total nilai korupsi yang disangkakan kepada Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas sejak 2021 sampai 2023 senilai Rp 88,3 miliar.
Dugaan korupsi, antara lain, berupa suap, terkait pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan bencana. Proyek tersebut nilai Rp 9,9 miliar sumber dana APBN.
Alexander Marwata menjelaskan, dugaan korupsi itu berupa pengkondisian pemenang tender. Pejabat Basarnas mengkondisikan agar proyek-proyek itu dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan yang memberi fee (suap) kepada pihak pejabat Basarnas sebesar 10 persen.
Sama seperti umumnya korupsi sejenis, tender diatur sedemikian rupa. Sebelum pelaksanaan tender, sudah disepakati besaran fee (suap) antara pihak peserta tender dengan pihak Basarnas.
Setelah tender dimenangkan perusahaan yang sudah berkomitmen memberi suap, barulah suap dibayarkan. Antara lain, uang yang disita aparat KPK saat OTT di restoran soto.
Presiden Joko Widodo sudah menyindir perkara ini, dalam Youtube Sekretariat Presiden. Meskipun Jokowi tidak secara langsung menyebut korupsi di Basarnas.
Dikatakan Jokowi, perlu perbaikan sistem terus-menerus di semua kementerian dan lembaga negara. Untuk menghindari korupsi. Contohnya, e-katalog. Sekarang sudah lebih dari 4 juta produk, yang sebelumnya cuma 40 ribu.
Jokowi: “Kalau ada yang melompati sistem, lalu mengambil sesuatu dari situ, lalu kena OTT KPK, ya... hormati proses hukum yang ada.”
Menko Polhukam, Mahfud MD kepada pers, Kamis (27/7) mengomentari langsung perkara dugaan korupsi di Basarnas, dikatakan begini:
"Bagus, KPK bisa mencermati itu. Bahwa semua yang melanggar aturan dan merugikan keuangan negara itu korupsi. Tentu ada jumlah, (untuk masuk kategori menimbulkan kerugian negara) jumlahnya minimal Rp 1 miliar dari yang didugakan. Tapi kalau sifatnya penyuapan, gratifikasi, tidak harus sampai Rp 1 miliar sudah dianggap korupsi.”
Korupsi di Indonesia seperti tak ada habisnya. Koruptor tidak pernah takut korupsi. Meski sudah sangat banyak contoh koruptor ditangkap dan dipenjara. Mengapa begitu?
JD Collins, K. Uhlenbrock dan P. Rodriguez dalam karya mereka berjudul "
Why firms engage in corruption: A top management perspective" (2009) menyatakan, menyelidiki korupsi sulit. Menyelidiki motif orang melakukan korupsi, lebih sulit lagi.
Umumnya, orang menyimpulkan secara sederhana, motif korupsi akibat keserakahan pelaku korupsi, atau keluarga pelaku korupsi.
Karya tiga pakar korupsi itu menyebutkan tiga isu utama, yakni: korupsi sulit didefinisikan, sulit diamati, dan sulit untuk diukur.
Dengan simpulan begitu, bisa dikatakan pekerjaan aparat KPK sangat sulit. Mereka berjuang dalam tugas mulia mencegah dan memberantas korupsi. Karena korupsi menghancurkan negara, membuat rakyat tetap miskin seperti kondisi Indonesia sekarang.
Suap, bagian dari korupsi. Sangat banyak terjadi di Indonesia.
David E. Osborne dalam karyanya berjudul, “
An exploration of extortion. Journal of Financial Crime” (2013) menyatakan, suap terkait tender proyek, gampang ketahuan. Karena sifat dasar manusia, antara lain, iri.
Ketika sebuah perusahaan swasta memberi suap kepada pejabat dalam tender proyek pengadaan barang dan jasa, dapat segera terbaca. Apalagi jika tender dilakukan secara transparan. Misal, e-katalog seperti dikatakan Presiden Jokowi.
Dalam tender versi kuno pun, setelah pemenang tender diumumkan, maka mereka yang kalah bakal menyelidiki, siapa si pemenang, bagaimana ia bisa menang? Tujuannya untuk analisis jika perusahaan yang kalah akan ikut tender lagi di waktu mendatang.
Penyelidikan itu bakal sampai pada titik yang mencurigakan. Setidaknya, dugaan ada sesuatu persekongkolan antara pihak peserta tender dengan pihak penentu pemenang tender. Ini logika sederhana.
Jika logika sederhana ini dilanjutkan dengan penyelidikan lebih mendalam, maka bakal ditemukan celah yang mendekati suatu persekongkolan rahasia antara pemenang tender dengan penentu pemenang tender.
Lebih mengerucut lagi, bakal ditemukan dugaan yang mengarah transaksional. Jelasnya, suap dari pemenang tender dengan penentu pemenang tender. Lebih detil lagi, bakal diketahui, kapan pembayaran uang suap itu dilaksanakan.
David E. Osborne, pakar strategi hukum di Amerika Serikat kelahiran 1 Juni 1951. Ia dulu penasihat senior Wakil Presiden Gore pada 1993. Kini ia direktur proyek
Progressive Policy Institute tentang
Reinventing America's Schools.
Ia menulis, suap sangat merugikan rakyat. Rakyat sebagai pembayar pajak, yang uang hasil pajak masuk ke kas negara, kemudian uang itu digunakan untuk aneka proyek, yang ternyata dikorupsi, dengan cara suap.
Proyek dengan suap pasti menghasilkan pekerjaan yang buruk. Padahal, hasil proyek itu untuk kepentingan masyarakat. Alhasil, rakyat dirugikan.
Analisis Osborne itu persis diterapkan dalam kasus korupsi di Basarnas. Bahwa KPK menerima laporan masyarakat tentang dugaan suap di proyek pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan bencana.
Info itu biasanya akurat. Karena pasti berasal dari orang di lingkaran tender tersebut. Paham proses yang terjadi.
Jika tidak, bagaimana mungkin aparat KPK bisa tahu persis pelaksanaan pembayaran uang suap? Lengkap, tempat dan waktu penyerahan uang. Menghasilkan OTT.
OTT pastinya memalukan Indonesia di mata dunia. Juga mengerikan bagi calon investor asing yang akan invest di Indonesia. Ngeri ditangkap KPK.
Karena, seumpama calon investor itu bersih, tidak korup, tapi dipaksa memberi suap oleh pejabat publik Indonesia yang korup, dan investor terpaksa memberi demi tujuan bisnis, maka selesai-lah sudah reputasi mereka. Di situ ngerinya.
BERITA TERKAIT: