Persoalannya adalah jumlah pembiayaan utang pemerintah sebesar Rp 696,3 triliun dan kebutuhan untuk membayar bunga utang sebesar Rp 441,4 triliun untuk APBN 2023.
Sementara itu total utang publik Indonesia sebesar Rp 14,4 ribu triliun per triwulan IV tahun 2022, sedangkan PDB Indonesia harga berlaku tahun 2022 sebesar Rp 19,6 ribu triliun.
Secara umum rasio utang publik terhadap PDB harga berlaku tahun 2022 sebesar 73,5 persen.
Akibatnya, haruskah kita memberlanjutkan gaya hidup
flexing dalam pemilu 2024, dimana pemilu itu memerlukan pendanaan patungan oleh pemerintah menggunakan anggaran APBN dan APBD dari sumber keuangan selama 3 tahun, yakni tahun 2022-2025. Itu di tengah kondisi beban besar utang yang untuk publik sebenarnya sudah besar.
Model pemilu 2024 bukan hanya memerlukan pendanaan dari anggaran yang memilih defisit anggaran dan berutang besar, melainkan juga masih memerlukan pendanaan yang juga besar untuk para calon peserta pemilu 2024.
Haruskah pemerintah Indonesia wajib meniru model gaya hidup pemerintahan Amerika Serikat, yang telah puluhan kali rajin menaik-naikkan ambang batas utang untuk mencegah gagal bayar utang?
Apakah diujung pemerintahan akankah mulai muncul kesadaran publik untuk lebih menyehatkan keuangan pemerintah dan keuangan publik dengan memperbaiki perilaku gaya hidup
flexing, termasuk dalam memberlakukan model pemilu?
Walaupun Kementerian Keuangan telah melaporkan optimisme surplus anggaran untuk triwulan I tahun 2023 dan mencetak rekor sejarah surplus keuangan, namun masih ada perjalanan anggaran menuju triwulan II-IV.
Bukankah sungguh amat sangat mudah untuk menyajikan pelaporan keuangan yang surplus, selama berbagai pengeluaran ditunda pembayarannya dan/atau diperkecil nilainya, serta dipindahkan pembebanannya, misalnya ke BUMN-BUMN menggunakan penugasan dan mengharapkan BI melanjutkan berbagi sebagaimana ketika pemerintah menghadapi pandemi Covid-19.
Cara sederhana itu, misalnya Tunjangan Hari Raya dan gaji ke 13 diberikan sebesar gaji pokok saja berdasarkan kepangkatan dan golongan dibandingkan dibayarkan berikut tunjangan-tunjangan.
Cara lain adalah merapel-rapel gaji honorer guru dan tunjangan serdos dengan perhitungan yang minimalis. Demikian pula dengan memberlakukan deregulasi kenaikan kepangkatan dan golongan ruang, namun diikuti peningkatan kualitas seleksi yang semakin meningkat dan meningkat.
Juga tidak kunjung menjawab permintaan Kades dan aparat pemerintahan desa yang ingin menjadi ASN. Meskipun demikian, perilaku pemerintahan yang senantiasa memaksimumkan anggaran, bahkan terkesan senantiasa mewariskan persoalan-persoalan anggaran dan utang itu tidaklah sama dibandingkan pemikiran ekonom.
Peneliti Indef dan Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: