Maksudnya adalah politik identitas. Digunakan politikus kita sejak satu dekade lalu sampai kini, demi mendapat dukungan rakyat agar ia jadi penguasa. Dan, selama ini sukses.
Dikutip dari buku “Sejarah Sosial Pendidikan Islam” (Guepedia, Juni 2022) ditulis Tim Penyusun, bahwa politik identitas adalah: Pengakuan terhadap seseorang atau kelompok yang menjadi satu kesatuan menyeluruh, ditandai masuk atau terlibat dalam satu kelompok atau golongan tertentu.
Penggabungan dalam kelompok tersebut tidak terlepas dari adanya rasa persamaan yang didasari oleh sebuah identitas. Biasanya identitas agama, suku, golongan profesi, dan lainnya.
Politik identitas menghasilkan ujaran kebencian. Itu kata Prof Atwar Bajari dalam orasi ilmiah pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran di Grha Sanusi Hardjadinata, Kota Bandung, Jabar, Rabu (8/3/2023).
Prof Atwar: ”Peningkatan ujaran kebencian di medsos semakin mengkhawatirkan. Pengguna mudah sekali terpancing melemparkan kebencian berkaitan dengan masalah politik, program pemerintah, dan urusan agama.”
Ia mengutip data. Di media sosial Facebook, ujaran kebencian sangat tinggi. Pada triwulan I-2020, terdapat 9,6 juta konten ujaran kebencian. Sementara di Twitter, muncul dua kata kunci perpecahan kelompok.
Kelompok pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin identik dengan ”kecebong”, sedangkan pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai ”kampret”.
Kesimpulan, perpecahan kelompok di masyarakat seperti dikatakan Ganjar, memang akibat politik identitas. Perpecahan kelompok paling nyata terbukti pada peristiwa ‘Doa Mengancam Allah’ oleh Neno Warisman di hadapan ratusan ribu massa 212 di Lapangan Monas, Jakarta, Rabu, 30 Januari 2019.
Neno kepleset berdoa dalam konteks Perang Badar untuk kampanye Pilpres yang bukan perang. Doa itu sangat menghebohkan. Lebih menghebohkan lagi, setelah Presiden Jokowi mengangkat Prabowo Subianto jadi Menteri Pertahanan RI, sampai sekarang. Bahkan, Prabowo bakal maju jadi Capres lagi. Apakah kampanye Pilpres 2024 bakal memicu ujaran kebencian lagi?
Dikutip dari United Nations bertajuk: “The Holocaust did not start with the gas chambers, but with hate speech against a minority”, mengungkap lima peristiwa dahsyat dunia yang dimulai dari ujaran kebencian. Sebagai berikut:
1) Holocaust. Adolf Hitler, pemimpin Nazi Jerman awalnya mengucapkan kebencian kepada kaum Yahudi. Ujaran kebencian itu terus diulang-ulang di tahun 1937.
Dilanjut, Nazi mengeluarkan peraturan menutup media massa independen Jerman, diganti dengan radio dan media cetak yang dikendalikan negara. Terus menyebarkan ujaran kebencian, antisemit, stereotip rasis, disinformasi, dan kebohongan. Dari pidato langsung, berubah ke radio. Jauh lebih dahsyat.
Rakyat Jerman mau-tidak mau ikut mendukung. Setidaknya, membiarkan ujaran kebencian berlanjut. Akhirnya, sekitar enam juta warga Yahudi dibantai tentara Nazi. Hebatnya Hitler, waktu itu ia merahasiakan pembantaian tersebut dari rakyat Jerman. Tapi lama-lama menyebar.
Tak kurang, Presiden Amerika Serikat, Dwight D. Eisenhower, melihat langsung lokasi pembantaian. Ia datang dari Washington, AS, ke kamp konsentrasi Ohrdruf, Distrik Gotha, negara bagian Thuringia, Jerman, awal April 1945. Cuma sekitar sepuluh menit ia melihat tumpukan ratusan ribu mayat, lalu menghindar dengan wajah pucat.
2) Genosida Kamboja. Pol Pot, nama aslinya Saloth Sar. Lahir 19 Mei 1925 di Provinsi Kompong Thom, Kamboja, meninggal 15 April 1998 di dekat Anlong Veng, sepanjang perbatasan Kamboja-Thailand. Ia pemimpin politik Khmer yang memimpin rezim totaliter Khmer Merah (1975–1979) di Kamboja yang membantai jutaan rakyat Kamboja.
Sebelum Pol Pot berkuasa, pada 1970-an (Pol Pot usia 45), ia memimpin gerakan Khmer Merah kampanye propaganda yang intens untuk memobilisasi penduduk pedesaan untuk merebut kekuasaan.
Ia sangat gencar menyebar kebencian secara sistematis menjuluki para intelektual, warga kota yang kritis, juga etnis dan agama minoritas Kamboja, sebagai “musuh” rakyat Kamboja.
Diperkirakan 1,5 hingga 2 juta orang Kamboja tewas di bawah rezim Khmer Merah yang komunis dari tahun 1975 hingga 1979.
3) Genosida terhadap Tutsi di Rwanda. Etnis Tutsi di Rwanda jumlahnya terbesar ke dua. Jumlah terbesar pertama adalah etnis Hutu, nomor tiga etnis Twa. Politisi yang hendak merebut kuasa, gencar melancarkan ujaran kebencian kepada Tutsi. Mengadu agar etnis Hutu menghabisi Tutsi.
Pidato ujaran kebencian disiarkan oleh Radio Libre des Mille Collines yang terkenal. Menghasut etnis Hutu, boleh membunuh etnis Tutsi. Pada 1994 komporan itu meledak.
Perang saudara meletus. Sekitar sejuta orang etnis Tutsi dibunuh secara sistematis dalam waktu kurang dari tiga bulan. Diperkirakan 150.000 hingga 250.000 wanita juga diperkosa.
4) Genosida Srebrenica di Bosnia dan Herzegovina. Di wilayah mayoritas Serbia, propaganda nasionalis terus-menerus melalui media massa yang dikendalikan partai, menjelekkan penduduk Muslim Bosnia, dan kelompok lain, sebagai musuh fundamentalis yang kejam yang diisukan akan menghabisi Serbia yang Kristen.
Juli 1995, hanya dalam hitungan hari, pasukan Serbia membunuh 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim Bosnia di kota Srebrenica, sebuah kantong Muslim di Bosnia timur, kendati tergolong "area aman" di bawah perlindungan PBB.
Perang Bosnia menyebabkan lebih dari 100.000 orang tewas dan 20.000 hilang.
5) Pengungsi Rohingya di Myanmar. Ujaran kebencian dan misinformasi bernada menghina, dilontarkan terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar dari 2012 hingga 2017. Akibatnya ratusan ribu etnis Rohingya dibantai.
Misi Pencari Fakta Internasional Independen di Myanmar didirikan Dewan Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB merilis laporan propaganda kebencian yang meluas yang dipimpin oleh pejabat negara, politisi, militer, dan pemimpin agama.
Tidak ada data jumlah kematian. Tapi diperkirakan ratusan ribu tewas, dan puluhan ribu wanita Rohingya diperkosa.
Agustus 2018, lebih dari 725.000 Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh. Padahal, Bangladesh meskipun mayoritas Muslim tapi penduduknya miskin. Sehingga kedatangan etnis Rohingya ke sana menciptakan krisis besar di sana.
Di Indonesia, kampanye politik identitas sudah mencapai ke ujaran kebencian. Tinggal satu langkah lagi bakal menuju konflik berdarah. Tapi belum sampai pada pembantaian.
Pidato Ganjar: “Bangsa ini pernah terjadi pembelahan karena perbedaan pilihan (Pilpres dan Pilkada DKI Jakarta). Bangsa ini pernah terjadi situasi yang tidak nyaman, karena kita terlalu banyak membicarakan apa sukumu, apa agamamu, apa golonganmu.”
Maka, Ganjar melarang pendukungnya melakukan ujaran kebencian, dan tidak ada politik identitas. “Buang jauh-jauh itu semua,” tegasnya.
Sesungguhnya, hukum pidana Indonesia tidak menyebutkan politik identitas. Kalau tidak dilarang Undang-undang, maka boleh dilakukan. Ganjar pun tidak mengatakan melarang politik identitas untuk Capres lain. Tidak. Sebab, ia tidak berhak melarang Capres melakukan politik identitas.
Politik identitas mirip teknik marketing dalam menjual suatu barang. Teknik marketing harus mempelajari tipologi calon konsumen yang jadi sasaran. Calon konsumen berpendidikan tinggi harus digunakan teknik tinggi. Begitu juga sebaliknya.
Ujung tombak marketing adalah salesman-salesgirl. Marketer menginstruksikan kepada salesman-salesgirl, untuk calon konsumen pendidikan rendah wajib digunakan teknik marketing cara rendah. Begitu juga sebaliknya.
Bukti di masa lalu, politik identitas sukses gemilang di Indonesia. Dan, tidak melanggar hukum. Juga tidak ada yang melarang. Artinya, konsumen politik Indonesia cocok dengan teknik itu.
Tapi, yang kurang diperhitungkan politisi adalah kesadaran masyarakat, setelah memilih presiden idola mereka. Kalau pun presiden pilihan mereka menang, hanya sorak-sorai di hari kemenangan. Setelah itu kembali ke ‘habitatnya’ lagi.
Pekerja kembali bekerja. Penganggur tetap menganggur. Si miskin tetap miskin. Si kaya tambah kaya akibat investasi. Pensiunan tetap siap menyongsong kematian. Politik identitas tidak mengubah apa-apa.
Penulis adalah wartawan senior
BERITA TERKAIT: