Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Operasi Siaga Tempur Praktik Kejahatan Politik Apartheid, Genosida di Depan Mata

OLEH: MARTHEN GOO*

Rabu, 26 April 2023, 15:41 WIB
Operasi Siaga Tempur Praktik Kejahatan Politik Apartheid, Genosida di Depan Mata
Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono saat konferensi pers peningkatan operasi Nduga, Papua sebagai Siaga Tempur beberapa waktu lalu/Ist
Mewujudkan Papua Tanah Damai melalui “Perundingan” itu seperti menanti mentari terbit dari barat untuk Indonesia. Praktik pendekatan yang berbeda dengan di Aceh, di mana, negara sudah membuktikan bahwa perundingan sesungguhnya dapat dilakukan.

Selain itu perintah Pancasila, tentu juga perintah konstitusional. Sayangnya, negara mempraktikkan rasialisme. Aceh perundingan dapat dilakukan dikarenakan sesama melayu. Praktik pemisahan warna kulit.

Jika negara dikelolah oleh orang-orang yang menghormati Pancasila, konstitusi yang intinya bicara soal hak asasi manusia, tentu cara bermartabat akan dilakukan sebagai wujud dari tujuan nasional, yakni mewujudkan perdamaian dengan mekanisme damai dan menghormati hak asasi manusia.

Musyawarah untuk mufakat adalah perintah konstitusional dan prinsip pancasilais. Sayangnya, aspek-aspek itu tidak dipegang.

Jaringan Damai Papua (JDP) sejak berdirinya hingga sekarang selalu menawarkan penyelesaian masalah Papua melalui dialog. Mekanisme demokrasi dalam penyelesaian masalah yang ditawarkan oleh JDP.

Sementara, Indonesia juga dikenal sebagai negara republik yang mestinya mengedepankan demokrasi yang diamanatkan oleh Pancasila dan konstitusi. Sayangnya, walau JDP pernah meyakinkan Presiden soal pentingnya perdamaian di Papua melalui dialog, tidak diindahkan.

Mengabaikan Perundingan dan Dialog, Pendekatan Militer dan Operasi Dilakukan Terus, Dugaan Genosida Bagi Penduduk Asli

Negara ini dipimpin oleh orang-orang yang belum memahami dan mengerti Pancasila dan konstitusional, sehingga, pendekatan kekerasan, pendekatan militer, pendekatan operasi yang selalu dikedepankan.

Dulu Gus Dur saat menjadi Presiden, setidaknya selama kepemimpinannya, cukup berhasil menghadirkan perdamaian di Papua. Kenapa selain Gus Dur tidak bisa diwujudkan? Sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial.

Saat Gus Dur walau tidak pernah ada dialog/perundingan, karena Tim-100 berjumpa Presiden itu sesungguhnya adalah sampaikan-aspirasi, karena di sana tidak ada kesepakatan politik yang terjadi.

Namun, kepemimpinan Gus Dur sedikit memberikan harapan hidup bagi orang Papua di Indonesia. Perdamaian saat itu terjadi dikarenakan (1) Gus Dur mengembalikan fungsi TNI/Polri dan dikembalikan ke barak; (2) Demokrasi dibuka; (3) Masyarakat ada diberikan ruang.

Pendekatan kebijakan Gus Dur cukup menciptakan ruang perdamaian di Papua. Indonesia mempunyai pengalaman dan bisa dijadikan referensi. Walau di lain pihak, tidak menghentikan monopoli dan pendudukan. Minimal ada ruang kemanusiaan yang dilakukan Gus Dur untuk memberikan rasa aman, nyaman bagi orang Papua.

Hal itu berbeda dengan Presiden-presiden lainnya. Pendekatan militer dengan wajah keamanan dilakukan dan berdampak pada pelanggaran HAM.

Kali ini, kita dikagetkan dengan peningkatan Siaga Tempur. Sebelum Siaga Tempur saja, ketika operasi militer dilakukan, rakyat sipil jadi korban. Baik korban langsung atapun korban saat di pengungsian, belum lagi harta benda mereka yang hilang.

Masa depan mereka juga tidak ada gambaran. Impian hari esok hilang dalam pengungsian. Mereka dilarang memikirkan hari esok, dilarang memikirkan ekonomi dan pendidikan, semua tenggelam dalam situasi yang diciptakan.

Bahkan dalam pengungsian pun, negara tidak hadir melindungi mereka. Negara abai. Semestinya ketika negara abai, Komnas Ham menetapkan negara melakukan “Kejahatan Genosida”.

Karena ketika mereka mengungsi, mereka tercabut dari tempat tinggalnya, nasib mereka dalam ancaman. Dan berpotensi punah atau adanya Menstrea. Sementara poin genosida dalam UU No. 26/2000 menjelaskan punahnya sebagaian/seluruh penduduk, mengakibatkan penderitaan fisik, memindahkan secara paksa.

Dari perspektif hukum, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid seperti yang dirilis Jubi, “Ketentuan Pasal 17 UU TNI mensyaratkan perlu adanya keputusan Presiden dan persetujuan politik DPR RI untuk melakukan pengerahan kekuatan militer. Peningkatan status operasi penyelamatan pilot Susi Air menjadi Siaga Tempur adalah bentuk pengerahan kekuatan militer, karena Panglima TNI telah mengerahkan pasukan TNI dari Jawa dan Sumatera ke Papua”.

Usman menambahkan, “Panglima TNI tidak memiliki kewenangan untuk secara sepihak mengerahkan kekuatan militer TNI dan meningkatan status operasi pasukan yang dikerahkan dari luar Papua itu. UU TNI telah membatasi kewenangan Panglima TNI agar hanya dapat menggunakan atau ‘to use’ kekuatan militer, bukan mengerahkan atau ‘to deploy’ kekuatan militer. Kewenangan pengerahan kekuatan militer ada pada Presiden, itu pun membutuhkan persetujuan dari DPR RI”. (Jubi/April 2023).

Atas dasar adanya ancaman serius terhadap orang/bangsa Papua, rumpun melanesia, yang mengarah kepada genosida, sementara negara masih terus melakukan pendekatan militer, gereja-gereja di Papua; tokoh-tokoh agama dan adat; kaum intelektual selalu menyeruhkan dialog/perundingan untuk wujudkan Papua tanah damai. Bahkan TPN/OPM juga menyeruhkan perundingan.

Mestinya negara yang taat pada Pancasila dan konstitusi mengedepankan perundingan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Dalam perundingan, mekanismenya adalah selalu bicara masalah-masalah dan menyepakati solusi.

Perundingan tidak pernah bicara tujuan. Itu mekanisme formal dalam perundingan dan itu juga prinsip-prinsip dalam resolusi konflik. Sehingga, negara ataupun siapa pun, dia tidak bisa sembunyi di narasi, “itu untuk Papua merdeka atau Indonesia merdeka”.

Operasi Siaga Tempur Dapat Dilihat sebagai Tindakan atau Praktik Kejahatan Politik Apartheid

Jika kita melihat pengertian apartheid, tentu memiliki arti secara umum adalah pemisahan golongan didasarkan pada warna kulit. Sehingga, ini bagian dari praktik-praktik rasialisme yang harus dikritisi agar dihentikan.

Karena praktik-praktik politik apartheid tersebut dapat dilihat dengan (1) Perundingan/dialog bagi melanesia tidak pernah dilakukan; (2) Operasi dan pendekatan militer selalu dilakukan sejak 1962 hingga saat ini; (3) Demokrasi ditutup; (4) Pendekatan militer dan peningkatan status tidak sesuai ketentuan hukum dan lainnya.

Atau, hal lain lagi adalah (4) Partisipasi rakyat tidak pernah ada; (5) Tanah adat dikuasai tanpa adanya komunikasi atau musyawarah untuk mufakat; (6) Menteri di Jakarta hampir 99,99% adalah Melayu; (7) Presiden dan Wakil presiden selalu Melayu; (8) Menteri strategis seperti pertahanan, Polhukam, luar negeri, dan lainnya tidak bisa ditemukan orang melanesia; dan banyak hal lain yang menunjukan praktik rasialisme (apartheid), bukan kebhinekaan atau pancasilais.

Kembali ke Siaga Tempur, tentu itu diketahui Presiden, apalagi TNI/Polri berada di bawah presiden secara langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden. Walau operasi tersebut bertentangan dengan hukum seperti dijelaskan Usman.

Di sisi lain, TPN/OPM selalu meminta digelarnya perundingan. Dua posisi yang berbeda. TPN/OPM meminta ruang demokrasi untuk duduk dan bicara, palinglima mengedepankan siaga tempur.

Menurut Natalius Pigai di Twiternya, 18  April 2023, “5 kali perintah lebih dari siaga tempur, ‘Operasi Militer’. Deploy TNI skala besar hanya rakyat dibunuh bukan TPN/OPM, artinya pembasmian ras Papua. Buka dialog damai”.

Mestinya pendekatan demokratis, pancasilais, konstitusionalis, bukan cara-cara yang merendahkan martabat manusia. Jika TPN/OPM mengusulkan perundingan, mestinya negara yang lebih dulu menawarkan perundingan.

Pertanyaannya, kenapa negara memilih pendekatan operasi siaga tempur walau tidak memenuhi ketentuan hukum, sementara masyarakat sipil akan korban berjatuhan dan berpotensi terjadi genosida karena mereka akan kehilangan kehidupan mereka dari sumber hidup mereka, rumah dan tempat mereka, kebudayaan mereka; anggota TNI/Polri atau TPN/OPM juga akan korban dan hanya akan meninggalkan anak dan istri atau keluarga mereka?

Dampak akan meluas. Rakyat sipil akan jadi korban. Ancaman genosida di depan mata. Apakah dengan ancaman genosida, SDA penduduk asli akan gampang dikuasai/diambil? Apa motif dibalik pendekatan operasi siaga tempur, sementara di lain pihak, TPN/OPM mendesak perundingan?

Bukankah perintah konstitusi itu “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”? Bukankah genosida, rasialisme dan politik apartheid itu adalah tindakan penjajahan?

Hentikan praktik-praktik politik apartheid dengan pendekatan negara karena warna kulit dan praktik-praktik rasialisme atau melawan Pancasila dan konstitusional dengan pendekatan operasi militer yang berdampak pada kejahatan genosida.

Wujudkan penghormatan pada Pancasila dan konstitusi melalui perundingan untuk wujudkan Papua tanah damai. Hanya melalui cara bermartabat, tidak lagi akan ada korban, sandera dan kejahatan kemanusiaan lainnya. rmol news logo article

*Aktivis Kemanusiaan, Peminat HTN dan Anggota PapuaItuKita
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA