Ketika korupsi tidak tertangkap, maka uang hasil korupsi bertumpuk. Sebagian disimpan atas nama anak, istri, atau anggota keluarga lainnya. Sebagian lagi digunakan untuk beli aset seperti tanah, rumah, apartemen, atau kendaraan. Sebagian dibuat usaha, atas nama anggota keluarga. Atau penyertaan modal di perusahaan pihak ketiga seperti artis, dan lainnya. Ada juga diinvestasikan di pasar modal.
Begitulah modus koruptor menyimpan harta hasil korupsi. Transaksi perbankan juga dipecah-pecah dalam jumlah kecil-kecil, untuk mengelabui pengawas keuangan.
Semua transaksi keuangan dan transaksi barang (yang mencurigakan) dilaporkan kepada PPATK, oleh setidaknya 21 kategori pihak pelapor yang terdiri dari 16 kategori penyedia jasa keuangan dan 5 kategori penyedia barang. Seperti perusahaan atau agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan, dan lainnya.
Setelah melalui analisis dan pemeriksaan, PPATK mendapat gambaran profil apakah transaksi orang bersangkutan masuk kategori normal atau diduga ada indikasi pencucian uang.
Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Hasil Pemeriksaan (LHP) kemudian diberikan kepada instansi-instansi pemerintah yang berkepentingan untuk menyelidiki dan menyidik lebih lanjut. Termasuk kepada aparat penegak hukum: KPK, Kepolisian, Kejaksaan.
Oleh karena itu, ketika pelaku korupsi tertangkap OTT, penegak hukum terkejut mengetahui harta yang bersangkutan sangat besar, jauh lebih besar dari kasus korupsi yang disangkakan. Seperti yang terjadi pada Gayus atau Angin Prayitno. Mereka kemudian juga dituntut dengan tindak pidana pencucian uang.
Sekali lagi, dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan bukan ilusi. Buktinya, Rafael Alun sekarang menjadi tersangka dan ditahan KPK atas kasus gratifikasi. Padahal Rafael Alun tidak tertangkap tangan (OTT). Artinya tidak ada barang bukti uang suap. Bagaimana bisa jadi tersangka?
KPK bisa menetapkan Rafael Alun menjadi tersangka karena mempunyai bukti kuat transaksi keuangan yang sudah dianalisis dan diperiksa PPATK. Transaksi keuangan tersebut tampaknya melibatkan perusahaan konsultan pajak milik Rafael Alun, serta aliran dananya.
Dengan demikian, laporan PPATK cukup akurat untuk diadakan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut, untuk kemudian ditetapkan menjadi tersangka.
Sehingga Mahfud tidak perlu membentuk Satgas TPPU. Satgas ini malah menjadi hambatan untuk usut tuntas dugaan pencucian uang yang melibatkan 491 pegawai Kementerian Keuangan ini.
Pertama, Satgas melibatkan Kejaksaan dan Kepolisian. Apakah artinya pembentukan satgas ini sebagai upaya untuk menghambat penyidikan dari aparat penegak hukum?
Kejaksaan atau Kepolisian sebaiknya usut tuntas dugaan pencucian uang di Kemenkeu berdasarkan laporan PPATK, dan tidak perlu gabung Satgas TPPU.
Kedua, Kementerian Keuangan tidak mempunyai kredibilitas sama sekali untuk terlibat penyelidikan atau penyidikan terhadap dugaan pencucian uang yang melibatkan pegawainya.
Karena, kasus pencucian uang ini patut diduga kuat berasal dari korupsi atau gratifikasi yang melibatkan banyak pihak di Kementerian Keuangan. Seperti terbukti pada kasus Gayus Tambunan yang menyeret 27 nama.
Kemudian, dari persidangan Angin Prayitno terungkap, gratifikasi dibagi ke banyak pihak, 50 persen untuk direktur dan kepala subdirektorat, dan 50 persen sisanya untuk tim pemeriksa pajak. Apa artinya? Korupsi kolektif?
Tidak heran, Angin Prayitno ditangkap bersama tim pemeriksa pajak ketika itu.
Karena korupsi dilakukan secara terstruktur dan sistematis, melibatkan banyak pihak, maka Kementerian Keuangan tidak bisa dipercaya untuk melakukan penyidikan dugaan pencucian uang ini.
Kementerian Keuangan terbukti melindungi oknum yang melakukan korupsi atau menerima gratifikasi, seperti yang terjadi di banyak kasus sebelumnya. Antara lain kasus Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno. Keduanya dilindungi dengan cara diberhentikan, dengan menggunakan alasan menegakkan peraturan tentang disiplin PNS.
Enak sekali, terbukti korupsi tetapi hanya dikenai sanksi disiplin?
Dengan menggunakan laporan PPATK, Denok dan Totok terbukti menerima gratifikasi Rp500 juta, dan sanksinya hanya diberhentikan.
Tidak heran, laporan PPATK selama ini hanya dipendam saja, tidak ada kasus yang terbongkar.
Oleh karena itu, Satgas TPPU hanya untuk pembenaran seolah-olah dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan sudah ditindaklanjuti, agar mereka semua bisa lolos dari jerat hukum.
Untuk itu, rakyat menolak pembentukan Satgas TPPU dan menuntut aparat penegak hukum bertindak secara profesional sesuai undang-undang tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
BERITA TERKAIT: